Bagaimana terapi yang dilakukan pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)?

Pada awalnya tujuan terapi PPOK yang utama adalah meredakan atau menghilangkan gejala penyakit. Saat ini tujuan terapi PPOK yaitu termasuk juga memperbaiki fungsi paru atau memperlambat kerusakan fungsi paru, dan untuk mencegah terjadinya eksaserbasi. Kebanyakan dari obat-obatan untuk PPOK adalah secara inhalasi.

Standar terapi untuk PPOK termasuk didalamnya yaitu bronkodilator inhalasi, β-agonis atau antimuskarinik (antikolinergik), dan ICS atau Inhaled Corticosteroid (kortikosteroid inhalasi). Sedangkan untuk terapi secara oral tidak umum digunakan untuk terapi PPOK, yaitu obat golongan methylxanthine (misalnya teofilin), penghambat phosphodiesterase-4 (misalnya roflumilast), dan kortikosteroid (misalnya prednisone atau prednisolone) (Han &Lazarus, 2016).

Pengobatan PPOK dengan menggunakan obat yang diberikan secara inhalasi membutuhkan pengetahuan, kepahaman, dan kemampuan untuk menggunakan alat inhalasi (inhaler). Beberapa alat yang dapat digunakan misalnya metered-dose inhalers (MDIs), dry powder inhalers (DPIs), nebulizer, dan berbagai alat bantu tambahan lainnya. Hal ini perlu diperhatikan mengingat pasien PPOK memungkinkan untuk memiliki penyakit penyerta lain (termasuk keadaan fisik dan mental) yang dapat sangat mempengaruhi kemampuan pasien dalam menggunakan alat-alat untuk terapi tersebut (Williams & Bourdet, 2014).

Pilihan terapi yang diberikan untuk pasien PPOK harus berdasarkan pemeriksaan mengenai tingkat keparahan obstruksi saluran napas, gejala, frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan hambatan fungsional lain pada pasien, termasuk juga mengenai kemampuan finansial pasien. Pilihan terapi diputuskan tidak hanya berdasarkan tingkat keparahan obstruksi jalan napas, namun juga berdasarkan pada pedoman dari Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) yaitu obstruksi saluran napas (tingkat GOLD), berdasarkan persentase FEV1, gejala (berdasarkan skala dyspnea dari mMRC atau dari CAT) serta berdasarkan resiko eksaserbasi. Dengan metode tersebut, pasien akan dikatergorikan ke dalam kelas A, B, C, dan D (Lihat Tabel Kombinasi Penaksiran PPOK) yang selanjutnya dapat ditentukan terapi yang spesifik yang berdasarkan rekomendasi dari GOLD (Han & Lazarus, 2016).

Tabel Manajemen Farmakologi PPOK menunjukkan rekomendasi farmakoterapi untuk PPOK beradasarkan klasifikasi GOLD 2013 yang dapat membantu menentukan manajemen yang tepat untuk PPOK, dapat digunakan untuk farmakoterapi pasien secara individual berdasarkan keadaan fungsional spesifik paru-paru pasien, frekuensi gejala dan tingkat keparan, serta resiko eksaserbasi (Williams & Bourdet, 2014).

Kelompok Pasien Rekomendasi pilihan pertama Pilihan alternatif Terapi lain yang memungkinkan
A SAMA prn Atau SABA prn LAMA Atau LABA Atau SABA dan SAMA Teofilin
B LAMA Atau LABA LAMA dan LABA SABA dan/atau SAMA Teofilin
C ICS+LABA Atau LAMA LAMA dan LABA atau LAMA dan PDE4 inh atau LABA dan PDE4 inh SABA dan/atau SAMA Teofilin
D ICS+LAMA dan/atau LAMA ICS dan LABA dan LAMA atau ICS dan LABA dan PDE4 inh atau LAMA dan LABA atau LAMA dan PDE4 inh Karbosistein SAMA dan/atau SAMA Teofilin
Tabel Manajemen Farmakologi PPOK (Han & Lazarus, 2016)
Catatan :
  • LABA : Long-Acting Beta 2 Agonis
  • LAMA : Long-Acting Muskarinik Antagonis
  • SAMA : Short-Acting Muskarinik Antagonis
  • SABA: Short-Acting Beta 2 Agonis
  • ICS : Inhaled Corticosteroid
  • PDE4 inh : Phosphodiesterase-4 inhibitor

1. Bronkodilator

Bronkodilator direkomendasikan untuk semua pasien PPOK. Golongan obat yang termasuk bronkodilator di antaranya β-agonis, antimuskarinik (antikolinergik), dan methylxantine. Berbeda dengan asma, kerusakan atau obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversibel sedangkan pada asma bersifat reversibel (Han & Lazarus, 2016).

Bronkodilator secara umum bekerja dengan merelaksasi otot polos saluran napas, sehingga dapat mengurangi hambatan saluran napas. Pada pasien PPOK, manfaat klinis bronkodilator di antaranya yaitu meningkatkan kapasitas aktivitas, mengurangi penjebakan udara di dalam paru-paru, serta meredakan gejala seperti dispnea. Namun, penggunaan bronkodilator dapat tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada peningkatan fungsi paru yang dipantau dengan nilai FEV1. Pada studi klinis penggunaan secara regular dari long-acting bronkodilator inhalasi (LABA atau antikolinergik) atau ipratropium berkaitan dengan perbaikan status kesehatan pasien. Begitu juga dengan penggunaan secara regular tiotropium dapat menurunkan tingkat eksaserbasi (Williams & Bourdet, 2014). Respon bronkodilator pada pasien dapat sangat bervariasi dan menunjukkan hasil spirometri yang berda-beda.

Dalam suatu studi pada 1.552 pasien yang menderita PPOK diuji dengan albuterol, ipratropium atau kombinasi keduanya dalam empat kali kesempatan selama tiga bulan menunjukkan sebanyak 37% sampai 56% meningkatkan nilai FEV1 sebanyak 15% dalam empat kesempatan tersebut (Han & Lazarus, 2016).

Efek samping yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan bronkodilator pada pasien PPOK sangat tergantung pada efek farmakologis dan dosis terapi masing-masing pasien dikarenakan kebanyakan pasien PPOK merupakan orang tua yang berpotensi memiliki penyakit komorbid lain. Resiko terjadinya efek samping dan interaksi obat pada pasien PPOK lebih besar dibandingkan dengan pasien asma (Williams & Bourdet, 2014).

Bronkodilator dibedakan menjadi short-acting bronkodilator (bronkodilator kerja singkat) dan long-acting bronkodilator (bronkodilator kerja lama). Terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang memiliki riwayat gejala yang ‘sebentar-sebentar’ adalah short-acting bronkodilator dimana golongan bronkodilator kerja singkat ini terdapat dua pilihan golongan yaitu β2-agonis dan antikolinergik (Williams & Bourdet, 2014).

Short-acting sympathomimetics (β2-agonis) dalam mekanisme kerjanya dibedakan berdasarkan selektivitasnya, rute pemberian, dan DOA atau duration of action. β2-agonis membuat otot polos saluran pernapasan mengalami dilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP). cAMP bertanggung jawab dalam relaksasi otot polos bronkial sehingga dapat menimbulkan efek bronkodilatasi. Selain itu, β2-agonis juga dapat meningkatkan klirens mukosiliari. Bentuk sediaan yang tersedia yaitu inhalasi, oral, dan parenteral. Sedangkan rute yang sering digunakan adalah rute inhalasi.

Penggunaan sediaan oral dan parenteral pada PPOK jarang dipakai karena tidak lebih efektif jika dibandingkan dengan MDI atau DPI, di sisi lain efek samping sediaan parenteral lebih besar yaitu dapat menyebabkan takikardia dan tremor bagian tangan. Pada pasien PPOK, β2-agonis digunakan karena memiliki efek yang cepat meskipun hanya dapat sedikit memperbaiki nilai FEV1. Namun, β2-agonis dapat memperbaiki gejala gangguan pernapasan dan memperbaiki toleransi olahraga. Terapi dengan β2-agonis dibutuhkan untuk meredakan gejala dengan cepat dan memiliki lama masa kerja yaitu 4 sampai 6 jam. Obat- obat yang termasuk golongan ini di antaranya albuterol, levalbuterol, dan pirbuterol (Williams & Bourdet, 2014).

Short-acting antikolinergik dapat menyebabkan efek bronkodilatasi dengan menghambat secara kompetitif reseptor kolinergik yang berada pada otot polos bronkial. Aktivitas tersebut akan menurunkan aktivitas cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dengan menghalangi asetilkolin yang akan berikatan dengan reseptor muskarinik dan dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkial. Reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos saluran napas yaitu reseptor M1, M2, M3. Aktivasi reseptor M1 dan M3 oleh asetilkolin akan menyebabkan efek bronkokronstriksi, namun aktivasi reseptor M2 akan menghambat pelepasan asetilkolin lebih lanjut. Contoh obat golongan ini yaitu ipratropium dan atropine (Williams & Bourdet, 2014).

Ipratropium merupakan obat short-acting antikolinergik yang utama digunakan di United States. Antropin memiliki struktur tersier dan dapat diabsorbsi lewat rute peroral maupun lewat mukosa saluran pernapasan, sedangkan ipratropium memiliki struktur kuartener yang menyebabkan absorbsinya sedikit. Karena faktor absorbsi yang buruk dari ipratropium tersebut, sehingga efek samping sistemik seperti nausea, retensi urin, dan takikardia lebih kecil dibandingkan dengan atropin. Ipratropium tersedia dalam bentuk MDI dan bentuk larutan untuk inhalasi. Selain itu, ipratropium juga tersedia dalam bentuk MDI yang dikombinasikan dengan albuterol dan sebagai larutan untuk nebulisasi 200 mcg/ml. Sediaan tersebut akan mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam waktu 1,5 sampai 2 jam dan lama masa kerjanya yaitu 4 sampai 6 jam. Ipratropium memiliki onset of action yang lebih pendek namun lebih lama masa kerjanya dibandingkan dengan β2-agonis.

Hasil penelitian dari Lung Health Study menunjukkan bahwa terapi dengan ipratropium tidak memberikan hasil yang bagus pada fungsi paru. Dosis yang direkomendasikan untuk ipratropium adalah 2 isapan empat kali sehari. Selama pasien tidur, ipratropium juga menunjukkan perbaikan saturasi oksigen arteri dan meningkatkan kualitas tidur. Efek samping yang sering dilaporlkan terkait penggunaan ipratropium yaitu mulut kering, nausea, dan rasa logam pada mulut (Williams & Bourdet, 2014).

Bronkodilator golongan long-acting antikolinergik yaitu tiotropium bromida yang telah digunakan di United States sejak tahun 2004. Obat golongan ini bekerja dengan menghalangi asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos saluran napas dan kelenjar mukus sehingga akan mencegah terjadinya bronkokonstriksi dan menekan sekresi mukus. Tiotropium diketahui memiliki mekanisme yang lebih selektif jika dibandingkan dengan ipratropium dalam hal memblok reseptor muskarinik, serta memiliki masa kerja yang lebih lama. Ikatan obat dengan reseptor tiotropium pada paru- paru manusia diketahui 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan ipratropium dan dapat mencegah bronkokonstriksi lebih dari 24 jam (Williams & Bourdet, 2014).

Tiotropium yang diberikan lewat inhalasi akan diabsorbsi secara minimal dan dapat mencapai sirkulasi sistemik dalam waktu 30 menit, dan mencapai konsentrasi puncak setelah 3 jam. Tiotropium dapat digunakan sebanyak satu kali sehari dikarenakan efek bronkodilatasinya yang dapat bertahan setidaknya selama 24 jam. Dosis yang direkomendasikan yaitu 18 mcg secara inhalasi satu kali sehari. Efek samping yang pernah dilaporkan yaitu mulut kering, konstipasi, retensi urin, takikardia, penglihatan kabur, dan gejala presipitasi dari glaukoma sudut sempit. Tiotropium memperbaiki fungsi paru dan dispnea, frekuensi eksaserbasi, sehingga demikian dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Williams & Bourdet, 2014).

Selain penggunaan bronkodilator short-acting atau long-acting secara tunggal, bronkodilator kombinasi keduanya juga sering digunakan untuk manajemen terapi pasien PPOK. Kombinasi bronkodilator tersebut diberikan untuk pasien yang memiliki perkembangan penyakit cukup cepat dan gejala yang terus memburuk dari waktu ke waktu. Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme kerja yang berbeda akan menurunkan dosis masing-masing golongan obat yang dikombinasikan, sehingga akan menurunkan kemungkinan terjadinya efek samping yang dapat disebabkan oleh masing-masing obat. Kombinasi short-acting dan long- acting β2-agonis dengan ipatropium menunjukkan efek penurunan gejala dan perbaikan fungsi pasru. Sedangkan kombinasi albuterol dan ipratopium (Combivent) tersedia dalam bentuk MDI yang bermanfaat untuk terapi penjagaan kronik dari PPOK di United States (Williams & Bourdet, 2014).

Golongan obat yang juga termasuk dalam golongan bronkodilator yaitu methylxanthine. Methylxanthine contohnya teofilin dan aminofilin, telah digunakan untuk terapi PPOK kurang lebih selama 5 dekade terakhir dan saat itu sebagai obat lini pertama. Peran tersebut kemudian tergantikan dengan adanya long-acting β-agonis dan antikolinergik inhalasi. Methylxantine menghasilkan efek bronkodilatasi melalui beberapa mekanisme yaitu :

  • menghambat enzim fosfodiesterase, sehingga akan meningkatkan cAMP,
  • menghambat proses masuknya ion kalsium ke dalam otot polos,
  • melawan kerja prostaglandin,
  • menstimulasi katekolamin endogen,
  • menghambat reseptor adenosine, dan
  • menghambat pelepasan berbagai mediator dari mast sel dan leukosit (Williams & Bourdet, 2014).

Teofilin digunakan dalam pengobatan PPOK untuk pasien yang intoleransi terhadap bronkodilator inhalasi. Teofilin masih sering digunakan sebagai alternatif terapi secara inhalasi karena memiliki mekanisme kerja ganda yaitu member efek bronkodilatasi dan antiinflamasi, serta memungkinkan untuk digunakan secara sistemik untuk saluran napas periferal. Penggunaan teofilin dalam jangka panjang untuk PPOK menunjukkan hasil yaitu perbaikan fungsi paru, termasuk kapasitas vital (VC), FEV1, menit ventilasi, dan pertukaran gas. Secara subjektif, teofilin diketahui dapat menurunkan dispnea, meningkatan toleransi olahraga, serta memperbaiki sistem pernapasan pada pasien PPOK. Selain itu, efek lain yang dapat ditimbulkan dari pemakaian teofilin yaitu dapat memperbaiki secara keseluruhan kapasitas fungsional pasien PPOK termasuk dapat memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan tekanan arteri paru-paru (Williams&Bourdet, 2014).

Penggunaan methylxanthine secara regular pada pasien PPOK menunjukkan hasil yang menguntungkan namun juga yang merugikan terhadap perkembangan jalannya penyakit. Namun, methylxanthine dapat digunakan sebagai tambahan pada rencana terapi untuk pasien yang tidak menunjukkan hasil yang baik pada penggunaan bronkodilator. Dalam suatu studi menunjukkan bahwa penambahan teofilin dalam kombinasi albuterol dengan ipratropium dapat bermanfaat untuk PPOK yang stabil dikarenakan adanya efek bronkodilator yang sinergis dari obat-obat tersebut. Kombinasi salmeterol dengan teofilin juga dilaporkan dapat memperbaiki fungsi paru dan mengurangi dispnea dibandingkan penggunaan secara tunggal obat-obatan tersebut (Williams & Bourdet, 2014).

Dalam penggunaan methyllxanthine dengan agen bronkodilator laini untuk pasien PPOK, harus dilakukan monitoring terkait dengan parameter yang menunjukkan efikasi teofilin untuk PPOK seperti nilai FEV1. Parameter subjektif seperti perasaan membaik atas gejala seperti dispnea dan toleransi olahraga akan sangat penting untuk diketahui dari pasien sebagai monitoring aseptabilitas methylxanthine untuk pasien PPOK (Williams & Bourdet, 2014).

Dosis yang sering digunakan untuk terapi pada pasien PPOK yaitu 400 sampai 900 mg. Penyesuaian dosis secara umum harus dibuat berdasarkan hasil konsentrasi dalam serum. Setiap kali dosis telah ditetapkan, konsentrasi serum harus dimonitor sebanyak satu kali atau dua kali dalam setahun, kecuali apabila keadaan pasein memburuk, adanya penggunaan obat lain yang berinteraksi dengan teofilin, atau dideteksi terjadinya toksisitas pada pasien. Efek samping yang paling sering terjadi pada penggunaan teofilin yaitu berkaitan dengan sistem gastrointestinal, sistem kardiovaskular, dan berhubungan dengan sistem saraf pusat. Sedangkan yang termasuk efek samping ringan oleh penggunaan methylxanthine yaitu dyspepsia, nausea, muntah, diare, sakit kepala, pusing, dan takikardia. Toksisitas yang lebih serius yaitu aritmia dan kejang (Williams & Bourdet, 2014).

Secara ringkas, terapi farmakologi yang diberikan kepada pasien PPOK dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Berikut adalah rekomendasi farmakoterapi berdasarkan klasifikasi kelompok PPOK yang menyajikan terapi yang direkomendasikan untuk pasien PPOK berdasarkan tingkat keparahan penyakit dengan sistem klasifikasi 4 tingkat.

Tingkat 1 (Ringan) dan Tingkat 2 (Sedang)

  • Penghindaran faktor resiko; vaksinasi influenza vaksinasi pneumococcal
  • Ditambah bronkodilator kerja pendek apabila dibutuhkan
  • Ditambah terapi regular dengan satu atau lebih bronkodilator kerja lama
  • Ditambah rehabilitasi

Tingkat 3 (Berat) dan Tingkat 4 (Sangat Berat)

  • Ditambah glukokortikoid inhalasi jika eksaserbasi berulang
  • Ditambah oksigen jangka panjang jika ada gagal napas kronik
  • Dipertimbangkan untuk tindakan pembedahan

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid untuk PPOK masih diperdebatkan mengenai manfaat dan efek yang dihasilkan dalam penggunaannya untuk PPOK. Namun, yang dapat dipastikan adalah penggunaan kronik kortikosteroid secara sistemik harus dihindari sebisa mungkin (Williams & Bourdet, 2014).

Mekanisme antiinflamasi dari kortikosteroid pada kasus PPOK yaitu (a) dengan mengurangi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, (b) menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan © menghambat prostaglandin. Saat ini, penggunaan kortikosteroid pada pasien PPOK meliputi (a) short-term sistemik digunakan untuk eksaserbasi akut dan (b) terapi secara inhalasi digunakan untuk kronik PPOK yang stabil. Pada pasien PPOK dengan nilai FEV1 <60%, penggunaan kortikosteroid secara regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, serta memperbaiki kualitas hidup pasien dan mengurangi frekuensi eksaserbasi (Williams & Bourdet, 2014).

Kortikosteroid inhalasi disarankan penggunaannya untuk meminimalkan efek sistemik. Inhaled corticosteroid (ICS) telah diketahui dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, dan kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi terutama pada pasien dengan nilai prediksi FEV1 kurang dari 60%. Peningkatan nilai FEV1 yang dapat dicapai dengan penggunaan ICS (50 sampai 100 ml) tergolong lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan bronkodilator. Sedangkan pengurangan terjadinya eksaserbasi oleh penggunaan ICS lebih signifikan dibandingkan dengan penggunaan long-acting β-agonis (LABA) yaitu sekitar 20% sampai 25%. ICS diketahui relatif lebih aman dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik, efek samping yang sering muncul karena penggunaan ICS adalah oral candidiasis dan dysphonia, namun dapat diatasi dengan menjaga kebersihan alat dapat dengan membilas mulut atau berkumur terlebih dahulu. Penurunan densitas tulang juga dilaporkan setelah penggunaan triamsinolon dalam jangka waktu yang lama, namun studi yang lain menunjukkan bahwa penggunaan budesonid dan flutikason tidak menimbulkan efek samping tersebut (Han & Lazarus, 2016). Kortikosteroid inhalasi berkaitan dengan resiko terserangnya pneumonia pada pasien PPOK, serta withdrawal dari terapi inhalasi kortikosteroid dapat memicu eksaserbasi pada beberapa pasien (GOLD, 2015).

Saat ini rekomendasi penggunaan kortikosteroid inhalasi atau ICS adalah untuk pasien PPOK dengan resiko eksaserbasi yang tinggi (kelompok C dan D) yang tidak dikontrol dengan bronkodilator inhalasi. Penggunaan ICS diharapkan mampu mencegah atau memperlambat penurunan FEV1, meredakan gejala, mengurangi perburukan eksaserbasi, dan memperbaiki kualitas hidup (Williams & Bourdet, 2014).

Penggunaan glukokortikoid inhalasi lebih dipilih untuk mencegah efek samping sistemik. Beclomethason, budesonida, flunisonida, fluticason, mometason, dan triamsinolon adalah contoh dari glukokortikoid inhalasi. Beclomethason dengan dosis harian empat hisapan (400 mcg/dL) dua kali sehari ekivalen dengan 10-15 mg prednisone oral. Jika pasien memerlukan pengobatan prednisone dan diberikan inhalasi dengan dosis standar, dosis yang lebih tinggi lebih efektif yaitu dengan flutikason inhalasi dosis sampai 2000 mcg/dL (Boushey, 2007).

Dosis yang sering digunakan untuk terapi PPOK berkisar pada dosis sedang sampai dosis tinggi. Efek samping yang sering timbul dari penggunaan ICS yaitu suara parau, sakit tenggorokan, oral candidiasis, dan kulit memar atau kemerahan. Sedangkan efek samping yang lebih berat yaitu supresi adrenal, osteoporosis, dan katarak dilaporkan terjadi pada penggunaan kortikosteroid secara sistemik. oleh karena itu diperlukan monitoring yang ketat terhadap pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama (Williams & Bourdet, 2014).

Kortikosteroid sistemik jarang digunakan, biasanya digunakan untuk terapi PPOK dengan eksaserbasi. Pada pasien dengan penyakit yang stabil, bahkan saat memburuk, resiko efek samping dari penggunaan kortikosteroid sistemik lebih besar daripada manfaat yang diberikan. Penggunaan kronis kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan resiko kematian. Apabila diperlukan kortikosteroid sistemik, maka harus digunakan dosis yang paling rendah (Han & Lazarus, 2016).

Berikut ini contoh kortikosteroid yang digunakan pada PPOK.

1. Beclomethasone

Gambar Beclomethasone dipropionate

Beclomethasone memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunosupresan seperti kortikosteroid pada umumnya dengan menghambat pelepasan berbagai sitokin, dan banyak digunakan secara klinik. Supresi adrenal dapat terjadi pada pasien yang diterapi dengan beclomethasone dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama. Namun, hal ini tidak terjadi pada pasien yang diterapi dengan dosis harian kurang dari 1,5 mg (Sweetman, 2009). Beclomethasone memiliki aktivitas antiradang karena adanya substituen Cl pada atom C nomor 9 dan gugus metil (CH3) pada atom C nomor 16.

Pada umumnya adanya substitusi Cl pada posisi 9α dapat meningkatkan aktivitas mineralokortikoid (Siswandono & Soekardjo, 2008).

  • Farmakokinetik dan Farmakodinamik
    Secara umum, beclomethasone diabsorbsi di dalam traktus gastrointestinal. Untuk penggunaan lokal seperti topikal maupun inhalasi, beclomethasone juga diabsorbsi dengan baik dan akan didistribusikan ke jaringan secara cepat. Metabolisme beclomethasone terjadi di liver dan juga di beberapa jaringan lain seperti gastrointestinal dan paru-paru. Jumlah yang diekskresikan lewat urin sangat sedikit, sedangkan yang paling utama diekskresikan melalui feses (Sweetman, 2009).

  • Dosis dan Bentuk Sediaan
    Beclomethasone dipropionate memiliki aktivitas seperti glukokortikoid pada umumnya, diketahui digunakan secara topikal dan dapat memberi pengaruh pada paru-paru tanpa memberi efek sistemik. Pada umumnya digunakan secara inhalasi, dalam bentuk aerosol MDI sebagai profilaksis asma. Penggunaan dosis di United Kingdom untuk penggunaan secara aerosol konvensional yaitu 400 mcg perhari yang dalam dosis terbagi 2 sampai 4 dosis sebagai dosis penjagaan. Jika diperlukan, 600 sampai 800 mcg dosis dapat digunakan secara inhalasi perhari tergantung dari respon pasien (Sweetman, 2009).

  • Efek samping
    Efek samping yang diketahui oleh karena penggunaan beclomethasone yaitu terjadinya supresi adrenal, candidiasis, penurunan densitas tulang hingga osteoporosis, pulmonary eosinophilia, hingga terjadinya hipersensitivitas. Selain itu, beclomethasone yang merupakan glukokortikoid dapat memnimbulkan efek samping seperti penggunaan kortikosteroid lainnya yaitu Gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid (Sweetman, 2009).

2. Budesonid

Gambar Struktur Kimia Budesonid

Budesonid memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunosupresan seperti kortikosteroid pada umumnya dengan menghambat pelepasan berbagai sitokin, dan banyak digunakan secara klinik. Struktur kimia budesonid dapat dilihat pada Gambar 2.3 di atas. Dosis tinggi budesonid secara inhalasi berkaitan dengan efek supresi adrenal. Absorbsi secara sistemik dapat diperoleh dengan penggunaan melalui nasal, terutama setelah penggunaan dosis tinggi dan dalam jangka panjang. Dosis oral budesonid harus dikurangi dalam pemakaiannya untuk pasien dengan gangguan hepar (Sweetman, 2009).

  • Interaksi Obat
    Interaksi budesonid dengan obat-obatan lain menyerupai interaksi obat golongan kortikosteroid secara umum yaitu terjadinya gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid (Sweetman, 2009).

  • Farmakokinetik dan Farmakodinamik
    Farmakokinetik Budesonid memiliki aktivitas seperti glukokortikoid pada ummnya. Secara umum, budesonid diabsorbsi di dalam traktus gastrointestinal. Untuk penggunaan lokal seperti topikal maupun inhalasi, budesonid juga diabsorbsi dengan baik dan akan didistribusikan ke jaringan secara cepat. Budesonid diabsorbsi secara cepat dan hampir dalam jumlah yang utuh bila digunakan secara oral. Namun, availabilitasnya dalam sirkulasi sistemik sangat kecil yaitu hanya sekitar 10% dikarenakan adanya metabolism lintas pertama di liver. Kebanyakan kortikosteroid di dalam sirkulasi secara ekstensif berikatan dengan protein plasma, yaitu terutama dengan globulin dan sedikit dengan albumin. Ikatan budesonid-globulin merupakan ikatan yang memiliki afinitas yang tinggi namun berkapasitas rendah. Sedangkan ikatan dengan albumin merupakan ikatan yang rendah afinitasnya namun tinggi kapasitasnya. Budesonid diketahui memiliki waktu paruh selama 2 sampai 4 jam (Sweetman, 2009).

  • Dosis dan Bentuk Sediaan
    Dosis budesonid yaitu 400 mcg perhari yang dibagi menjadi 2 dosis dalam bentuk aerosol MDI, untuk penyakit yang lebih parah dosis dapat ditingkatkan sampai 1,6 mg sampai 2 mg perhari. Dosis penjagaan disarankan sebesar kurang dari 400 mcg perhari tetapi tidak kurang dari 200 mcg perhari (Sweetman, 2009).

  • Efek Samping
    Efek samping yang dilaporkan oleh karena penggunaan budesonid yaitu terjadinya penurunan densitas tulang hingga osteoporosis, efek psikotik, dan terjadinya hipersensitivitas. Selain itu, budesonid yang merupakan glukokortikoid dapat menimbulkan efek samping seperti penggunaan kortikosteroid lainnya yaitu gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid (Sweetman, 2009).

3. Fluticasone

Fluticasone banyak digunakan karena aktivitasnya sebagai antiinflamasi dan imunosupresan. Secara umum aktivitasnya mirip dengan kortikosteroid yang lain. Efek antiinflamasi fluticasone disebabkan karena adanya pemasukan substituen 9α-F yang dapat meningkatkan aktivitas glukokortikoid. Hal tersebut dikarenakan adanya gugus yang bersifat penarik elektron tersebut dapat menimbulkan efek induksi pada gugus 11β-OH sehingga senyawa menjadi lebih asam dan kemampuan interaksi obat-reseptor, yang melibatkan ikatan hidrogen, menjadi lebih baik; serta dapat melindungi gugus 11β-OH dari proses oksidasi metabolik (Siswandono & Soekardjo, 2008).

  • Efek Samping
    Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi pada penggunaan fluticasone sebagai antiinflamasi. Di samping itu juga dilaporkan efek samping lain yang jarang terjadi pada penggunaan fluticasone yaitu kondisi eosinofilik dan sindrom Churg-Strauss yang terumata muncul setelah penggunaan fluticasone secara oral. Meskipun data menunjukkan bahwa penggunaan fluticasone secara inhalasi memiliki efek sistemik yang sangat kecil pada dosis terapeutik, namun suatu studi menunjukkan bahwa penggunaan fluticasone propionate dalam dosis tunggal 250, 500 dan 1000 mcg secara inhalasi dapat mengakibatkan produksi plasma kortisol yang menurun, dan menimbulkan efek penekanan pada hypothalamic-pituitary-adrenal-axis (Sweetman, 2009).

  • Farmakokinetik dan Farmakodinamik
    Fluticasone propionate diabsorbsi dalam jumlah sedikit dari traktus gastrointestinal dikarenakan mengalami metabolism lintas pertama. Bioavailabilitas fluticasone secara oral diketahui hanya sekitar 1%. Sedangkan interaksi fluticasone dengan obat-obatan lain secara umum sama dengan kortikosteroid yang lain (Sweetman, 2009).

  • Dosis dan Bentuk Sediaan
    Untuk terapi PPOK, fluticasone dapat digunakan dalam bentuk serbuk atau aerosol inhalasi yang diberikan dengan dosis 500 mcg sebanyak dua kali sehari. Biasanya fluticasone digunakan dalam bentuk kombinasi dengan salmeterol untuk mengurangi eksaserbasi (Sweetman, 2009).

4. Metil prednisolon

Metil prednisolon banyak digunakan di bidang klinis karena aktivitasnya yaitu sebagai antiinfalamasi. Namun, di samping efek antiinflamasinya, metil prednisolon juga memiliki efek penekan sistem imun, seperti halnya kortikosteroid lainnya (Sweetman, 2009).

Penggunaan metil prednisolon secara injeksi intravena dalam dosis besar dapat menyebabkan gagal kardiovaskular. Metil prednisolon lebih tidak disukai bila dibandingkan dengan prednisolon karena menyebabkan retensi sodium dan air. Interaksi metil prednisolon dengan obat-obatan lain menyerupai interaksi obat golongan kortikosteroid secara umum yaitu terjadinya gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid (Sweetman, 2009).

  • Farmakokinetik dan Farmakodinamik
    Secara normal, metil prednisolon didistribusikan ke jaringan tubuh dengan cepat setelah penggunaan peroral. Waktu paruh metil prednisolon yaitu 3,5 jam atau lebih. Sedangkan waktu paruh metil prednisolon di dalam jaringan lebih lama yaitu berkisar selama 18 sampai 36 jam (Sweetman, 2009).

  • Dosis dan Bentuk Sediaan
    Metil prednisolon memiliki aktivitas yang secara general sama dengan kortikosteroid lainnya. Dosis 4 mg metil prednisolon sebagai agen antiinflamasi setara dengan 5 mg dosis prednisolone. Apabila digunakan secara oral, metil prednisolon biasanya diberikan dalam rentang dosis inisial 4 sampai 48 mg perhari, tetapi untuk penyakit akut yang berat dosis metil prednisolon dapat ditingkatkan sampai 100 mg sehari. Sedangkan untuk penggunaan parenteral dalam kondisi intensif atau darurat, metil prednisolon sodium suksinat dapat diberikan dengan rute intramuscular atau intravena dengan rentang dosis yang setara dengan 10 sampai 500 mg dosis metil prednisolon (metil prednisolon sodium suksinat 53 mg setara dengan metil prednisolon 40 mg) (Sweetman, 2009).

5. Mometasone

Pengaturan dosis mometasone belum jelas dan dapat berbeda- beda pada masing-masing negara. United Kingdom mengizinkan produk dengan inisial dosis 400 mcg secara inhalasi satu kali sehari pada malam hari untuk penyakit ringan sampai sedang. Dosis penjagaan yaitu 200 mcg satu atau dua kali sehari. Untuk penyakit yang lebih berat, dosis dapat ditingkatkan menjadi 400 mcg dua kali sehari dan dititrasi sampai dosis efektif terendah apabila gejala sudah terkontrol (Sweetman, 2009).

6. Prednisone

Prednisone merupakan kortikosteroid inert yang secara biologis diubah menjadi glukokortikoid kortikosteroid prednisolone di liver. Prednisone memiliki hubungan kimia yang sama dengan prednisolone. Konversi prednisone menjadi prednisolone telah dilaporkan terganggu prosesnya pada penyakit liver kronik (Sweetman, 2009).

  • Farmakokinetik dan Farmakodinamik
    Prednisolone dan prednisone keduanya diabsorbsi di saluran cerna, namun pednisolone terdapat dalam bentuk yang telah termetabolisme sedangkan prednisone harus dikonversikan terlebih dahulu menjadi prednisolone. Secara umum, proses konversi tersebut berlangsung cepat sehingga hampir tidak terdapat perbedaan farmakokinetik antara keduanya. (Sweetman, 2009).
    Konsentrasi tertinggi prednisolone sekitar 1 sampai 2 jam setelah pemakain secara oral, dengan waktu paruh 2 sampai 4 jam. Proses absorbsi prednisolone dipengaruhi oleh adanya makanan di dalam saluran cerna. Secara ekstensif prednisolone berikatan dengan protein plasma, meskipun leboh sedikit daripada hidrokortison (kortisol). Volume distribusi dan klirens prednisolone dilaporkan meningkat dari dosis rendah sampai dosis sedang. Pada dosis sangat tinggi, klirens berubah menjadi tersaturasi. Prednisolone diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit terkonjugasi, dengan bentuk prednisolone yang tidak berubah dalam proporsi cukup besar (Sweetman, 2009).

  • Dosis
    Apabila digunakan secara oral, prednisoloe digunakan dalam dosis 2,5 sampai 60 mg perhari dalam dosis terbagi, dosis tunggal setelah sarapan atau makan pagi, atau digunakan sebagai dosis ganda sebagai pengganti. Dosis pengganti pada waktu dini hari akan mengakibatkan penekanan yang kurang pada hypothalamic-pituitary axis, tetapi dosis tersebut tidak adekuat sebagai dosis control. Untuk penggunaan secara parenteral, bentuk yang digunakan biasanya adalah bentuk ester sodium fosfat. Rute pemberian yang digunakan yaitu injeksi intravena atau infuse atau injeksi intramuskular (Sweetman, 2009).

  • Interaksi Obat
    Interaksi prednisone dengan obat-obatan lain menyerupai interaksi obat golongan kortikosteroid secara umum yaitu terjadinya gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid (Sweetman, 2009).

Penghambat Phosphodiesterase-4

Phosphodiesterase4 (PDE4) merupakan enzim fosfodiesterase utama yang dapat ditemukan pada sel otot polos saluran napas dan sel inflamasi, dimana enzim tersebut bertanggung jawab untuk mendegradasi cAMP. Hambatan pada PDE4 akan menghasilkan efek relaksasi otot polos saluran napas dan menurunkan aktivitas dari sel inflamasi serta mediator seperti TNF-α dan IL-8. Salah satu penghambat PDE4 yaitu roflumilast, yang diterima sejak Februari 2011 untuk mengurangi resiko eksaserbasi pada pasien dengan PPOK yang berat. Ketika digunakan sebagai monoterapi atau terapi tunggal ataupun digunakan sebagai tambahan dalam terapi dengan bronkodilator inhalasi, obat ini dapat meningkatkan FEV1 walaupun tidak signifikan dan dapat menurunkan terjadinya eksaserbasi sampai sekitar 15%. Pasien PPOK kelas 3 tidak dianjurkan menggunakan roflumilast bersamaan dengan ICS (Williams & Bourdet, 2014).

Dosis roflumlast yaitu 500 mcg peroral satu hari sekali. Efek samping utama meliputi penurunan berat badan dan neuropsikiatrik yaitu pikiran ingin bunuh diri, insomnia, gelisah, dan yang lebih buruk dalah depresi (Williams & Bourdet, 2014).

Terapi Penggantian α1-antitripsin (AAT)

Pada pasien yang mengalami defisiensi AAT berhubungan emfisema, terapi yang diberikan difokuskan untuk mengurangi faktor resiko seperti merokok, terapi simptomatik dengan bronkodilator, dan sebagai tambahan yaitu dengan penggantian AAT. Berdasarkan hubungan antara konsentrasi serum AAT dengan resiko perkembangan emfisema, penambahan AAT bertujuan untuk menjaga konsentrasi serum tetap berada di atas threshold yang aman sepanjang interval dosis. Regimen dosis yang direkomendasikan untuk AAT adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sebanyak satu kali dalam seminggu dengan kecepatan 0,08 ml/kg/menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Produk yang tersedia yaitu Prolastin-C (Talecris), Aralast-NP (Baxter), Zemaira (CSL Behring), dan Glassia (Kamata). Sedangkan efek samping yang pernah dilaporkan adalah sakit kepala, pusing, nausea, dispnea, dan demam (Williams & Bourdet, 2014).

GOLD merekomendasikan obat-obatan untuk pasien PPOK yang dirangkum pada Tabel II.5 tentang obat-obatan yang digunakan untuk pasien PPOK berikut.

Obat Inhaler (mcg) Larutan untuk nebulizer (mg/ml) Oral Vial untuk injeksi (mg) Duration of Action (jam)
β-2 Agonis
Short Acting
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0.05% (Sirup) 4-6
Levalbuterol 45-90 (MDI) 0.21, 0.42 6-8
100, 200 (MDI & DPI) 5 5 mg (Pil), 0.024% (Sirup) 0.1, 0.5 4-6
Terbutaline 400, 500 (DPI) 2.5, 5 mg (Pil) 4-6
Long-Acting
Arformoterol 0.0075 12
Formoterol 4.5-12 (MDI & DPI) 0.01 12
Indacaterol 75-300 (DPI) 24
Salmeterol 25-50 (MDI & DPI) 12
Tulobuterol 2 mg (trans dermal) 24
Antikolinergik
Short-Acting
Ipratropium bromida 20,40 (MDI) 0.25-0.5 6-8
Oxitropium bromida 100 (MDI) 1,5 7 - 9
Long-Acting
Aclidinium bromida 322 (DPI) 12
Glycopyrronium bromida 44 (DPI) 24
Tiotropium 18 (DPI), 5 (SMI) 24
Umeclidium 62.5 (DPI) 24

Catatan :

  • MDI : Metered dose inhaler ;
  • DPI : Dry powder inhaler;
  • SMI : Soft mist inhaler