Sesungguhnya telah banyak kajian dan penelitian oleh para ahli baik antopologi, filologi maupun arkeologi yang membahas soal asalusul masyarakat, budaya dan pesebarannya di berbagai belahan benua. Dalam cakupan yang luas tentang asal-usul manusia modern yang mendiami nusantara ini, para ahli banyak mengemukakan hal itu atas dasar perbandingan budaya yang masih bisa diamati hingga sekarang. Antropologi banyak menyandarkan kajian dan kesimpulannnya pada manusia dan generalisasi tingkah laku yang hidup dan berkembang di masa lampau dan hingga masa kini masih bertahan diantara penduduk di dunia yang masih dapat diamati. Ahli filologi banyak menyandarkan pada kesamaan-kesamaan bunyi bahasa yang digunakan oleh penduduk-penduduk di dunia. Sementara itu para ahli arkeologi bertumpu pada berbagai keragaman dan kesamaan tinggalan budaya materi manusia masa lampau di berbagai belahan benua. Dari berbagai pendekatan ilmu itulah kemudian para ahli menarik kesimpulan tentang asal-usul suku bangsa, budaya dan persebarannya di dunia.
Tampaknya diantara para ahli seringkali memberikan kesimpulan yang berbeda menyangkut asal-usul manusia di suatu tempat atau wilayah. Ini karena sudut pandang yang berbeda ataupun berbagai penelitian yang berlangsung masih perlu tindaklanjut. Berbagai teori migrasi telah banyak dikenalkan oleh para ahli. Namun lagi-lagi banyak tesis penulisan yang tersedia tak cukup memberi kita kepuasaan, sehingga di masa-masa akan datang masih perlu mengkaji lanjut hal itu. Meski begitu, hingga saat ini berbagai teori, analisis maupun kesimpulan menyangkut asal-usul masyarakat Nusantara yang telah berkembang sampai kondisi sekarang ini, sudah cukup memberikan petunjuk dan hingga saat ini belum ada tesis baru yang menyangkal.
Dalam hipotesisnya Asikin (2000) menuliskan, teori-teori migrasi yang selama ini dianut menunjukkan bahwa nenek moyang orang Indonesia berasal dari ras Autro-Melanosoid. Ras ini menyebar dari arah timur ke barat. Pendapat ini mengungkapkan budaya lukisan cadas berasal dari benua Australia yang merupakan cikal bakal ras Austromelanosoid. (Nurani, 2000).
Adapun migrasi manusia melalui rute ini ditengarai dengan menyebarnya kebudayaan Austronesia di pulau-pulau di sekitar Pasifik, seperti ditunjukkan oleh penggunaan bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia, serta ditemukannya sisa-sisa budaya yang mengenal pemakaian alat-alat batu muda (neolitik) yang berupa beliung batu persegi (Bellwood, 1978). Dari faktor bahasa, Parera menuliskan, hampir seluruh daerah Indonesia Bagian Barat ,bahasanya secara generik rumpun berdasarkan pengelompokkan bahasa menurut genetik, termasuk subrumpun bahasa Austronesia Barat Daya (termasuk kelompok Sulawesi Selatan, Muna-Butung, Bima-Sumba, dll), sedangkan pada wilayah Indonesia Timur meliputi kelompok-kelompok Ambon-Timor, Sula-Bacan, dan kelompok Halmahera Selatan – Irian Barat (Papua) termasuk subrumpun Bahasa Austronesia Timur (Jos Daniel Parera, 1986 dalam Mawardi, 2005)
Masyarakat Indonesia, sejak masa prasejarah tepatnya masa megalithik telah mengenal tradisi pemujaan leluhur dengan menggunakan medium batu-batu besar. Menurut Reinsfeld wilayah Papua telah menerima pengaruh megalithik dari Asia Tenggara melalui 2 (dua) jurusan. Pengaruh pertama datang dari barat melalui Kepulauan Indonesia sebelah selatan, lewat kepulauan Maluku menuju bagian barat Papua. Pengaruh kedua menyebar ke Mikronesia sebelum membelok ke arah barat menuju daerah Sepik di Papua Nugini melalui Filipina, Sulawesi Utara dan Halmahera. Berdasarkan teori Rainsfeld, orang-orang migran ini membawa unsur-unsur kebudayaan seperti budaya dan tradisi megalithik, kepandaian membuat barang tembikar, kapak persegi, adat istiadat mengayau dan adat upacara kematian, cerita-cerita asal-usul nenek moyang ( Asikin, 2000)
Namun teori berbeda dikemukakan oleh Von Heine Geldern (1945), yang bertolak belakang dengan pendapat diatas. Ia justru mengatakan bahwa penghuni benua Australoids, nenek moyangnya berasal dari Indonesia, hal ini dihubungkan melalui jalur laut dari sektor Indonesia barat, tengah, timur dan pasifik yang menjadi sarana utama dalam persebaran budaya bangsa Austronesia dan perkembangan religi serta teknologi. Sejak masa neololitik dan dilanjutkan masa perundagian budaya Austronesia telah tersebar ke bagian barat sampai Madagaskar (Pierre Verin dan Henry Wrigt, 1999 dalam Sukendar 2001). Persebaran bangsa Austronesia yang memanfaatkan laut telah bayak dibahas oleh ahli bangsa Jerman Von Heine Geldren, Vander Hoop (1938) dan Heekeren (1958). Sementara laut dan peranannya dalam migrasi bangsa di daerah Indoensia Timur sampai Pasifik telah dibahas oleh tokoh seperti Lilley, Mattew Springs, Roger Blench dan lain-lain (ibid).
Lautan Indonesia timur sampai bibir pasifik membawa budaya beliung persegi. Menurut Peter Bellwood ia memperkirakan nenek moyang orang-orang yang mendiami Australia dan New Ginea adalah ras Austroloid yang dikatakan berasal dari Indonesia. Lebih lanjut dikatakan bahwa migrasi Austroloid itu berlangsung sebelum migrasi ras Mongoloid ke Pasifik termasuk Nugini sekitar 2000 BC. Penelitian yang ditujukan pada bidang bahasa (filologi) menunjukkan adanya bukti-bukti bahwa beberapa grup bahasa seperti yang dijumpai di pantai Irian Jaya dan Papua Nugini, beberapa pulau di Melanesia dan Polynesia, Mikronesia, Filipina, Vietnam. Malaysia dan Madagaskar adalah termasuk dalam bahasa Austronesia.
Dengan demikian sesuai pendapat Geldern (1945) dan Bellwod (1945), hal ini jelas bahwa persebaran bahasa, budaya bangsa yang mendiami Kepulauan Pasifik dari bagian barat, yakni Indonesia (Sukendar, 2001). Dengan kata lain bahwa lautan Indonesia Tengah, Timur sampai Kepulauan Pasifik menentukan terjadinya migrasi bangsa-bangsa ke Pasifik. Peter White mengatakan bahwa kepulauan Oceania dihuni sejak migrasi yang berlangsung 50.000 tahun yang lalu karena adanya migrasi dari Indonesia ( Peter White, 1979, ibid)
Dari teori yang sudah dipaparkan di atas bagaimana pendapatmu mengenai asal-usul persebaran masyarakat di nusantara?