Bagaimana Tata laksana Cedera ACL?

Terapi non-operatif dapat diberikan pada kasus-kasus robekan ACL parsial yang tidak menimbulkan gejala ketidak stabilan.

operatif sebaiknya dilakukan pada kasus robekan di atas 50 % karena umumnya menimbulkan keluhan. Kocher et al (2002) menunjukkan bahwa kurang lebih 1/3 remaja dengan rata-rata umur 13,7 tahun yang mengalami robekan parsial dan melakukan terapi non-operatif akhirnya tetap membutuhkan tindakan rekonstruksi karena keluhan ketidakstabilan lutut yang menetap. Hasil penelitian dari Graft et al (2002) menunjukkan bahwa dari total 60 pasien anak dan remaja yang mengalami cedera ACL didapatkan sebanyak 23 anak yang diterapi non-operatif mengalami perburukan kondisi lutut dan ketidakstabilan sendi. Terjadi 15 kasus robekan bantal sendi, 2 kasus fraktur osteochondral dan 10 kasus perkembangan osteoartritis.

Fabricant et al (2013) telah menyusun sebuah alur penanganan cedera ACL pada atlet berusia muda dan merekomendasikan tindakan rekonstruksi berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu:

  • keluhan ketidakstabilan yang menetap
  • cedera lutut lain yang menyertai ACL, seperti: robekan bantal sendi, robekan ligamen lutut lain, dan fraktur.
  • usia tulang
  • target dan harapan pasien, seperti: kembali ke olahraga kompetitif atau tidak.

Apabila tindakan rekonstruksi telah menjadi keputusan, hal selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah pemilihan teknik rekonstruksi dan bahan graft yang akan digunakan. Saat ini, telah berkembang beberapa teknik yang biasa digunakan dalam rekonstruksi atlet berusia muda, yaitu:

  • Physeal sparing
  • Non-Physeal sparing.

Prinsip teknik physeal sparing adalah menghindari pembuatan lubang yang melintasi lempeng pertumbuhan tulang tibia dan femur. Saat ini terdapat dua teknik physeal sparing yang berkembang, yaitu teknik dari Kocher et al (2005) yang memodifikasi prosedur McInthosh dan dari Anderson (2003) yang disebut all epiphyseal reconstruction. Kedua teknik tersebut menunjukkan hasil yang memuaskan pada kasus ACL anak dan remaja.

Teknik non-physeal sparing atau disebut juga transphyseal adalah pemasangan graft melintasi lempeng pertumbuhan tulang tibia dan femur. Disebut parsial apabila pengeboran dilakukan pada salah satu tulang dan disebut complete apabila fiksasi dilakukan pada kedua tulang. Teknik ini menyerupai rekonstruksi pada atlet dewasa sehingga sebaiknya digunakan pada atlet dengan Tanner IV-V (remaja akhir-dewasa) karena lempeng pertumbuhan tulangnya hampir menutup. Mc Carrol (1994) melaporkan hasil pengamatan selama 4,2 tahun terhadap 60 atlet dengan usia rata-rata 14,2 tahun (rentang umur 13-17 tahun) yang menjalani rekonstruksi dengan teknik transphyseal menggunakan bahan graft tendon patella menunjukkan bahwa tidak ada gangguan pertumbuhan atau deformitas tulang. Penelitian Aichroth (2002) juga menunjukkan tidak adanya gangguan pertumbuhan pada 45 remaja (usia rata-rata 12,5 tahun) yang melakukan rekonstruksi transphyseal menggunakan tendon hamstring. Rata-rata waktu pengamatan selama 49 bulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa teknik transphyseal yang melubangi lempeng pertumbuhan tidak akan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang bermakna apabila pemilihan graft dan pemasangan di titik anatomis dilakukan dengan saksama.