Menjadi Social Climber itu baik atau buruk sih?

Penyakit social climber

Penyakit social climber adalah fenomena saat perilaku seseorang ingin tampil kaya demi meningkatkan status sosial lewat dunia maya atau media sosial. Terkadang ia tidak peduli dengan lingkungan sekitar atau keadaan diri yang sebenarnya demi mengejar prestise tersebut. Bagaimana tanggapan anda tentang orang yang “Social Climber” ?

3 Likes

Kaum yang menggunakan segala cara untuk bisa naik status sosial lebih tinggi dan mendapatkan pujian dari sekitar atas statusnya tersebut. Caranya dengan menutupi ketidakmampuan dan kekurangan dalam hidupnya melalui gaya hidup hedon.

Kebiasaan yang digunakan kaum panjat sosial sering kali membuat diri dan orang terdekatnya geleng-geleng kepala. Misalnya saja kini zamannya kebutuhan akan ponsel pintar sudah jadi kebutuhan wajib. Hanya saja tujuan membelinya bukan karena kebutuhan tapi keinginan pamer yang besar supaya mampu menaikkan taraf hidup baginya.

Tak lain untuk buat pamer kepada teman-teman, uang yang dikeluarkan sangat besar bisa digunakan buat keperluan lainnya. Paling sulit diterima kadang harus nyicil berbulan-bulan dan bahkan minta duit orang tua hanya untuk keinginan pribadinya.

Tanggapan saya terhadap fenomena social climber ini sangat miris dan menyayangkan. Karena, social climber dapat memberikan dampak buruk bagi yang mengalaminya. Alangkah lebih baiknya jika kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan social climber.

Pengertian social climber adalah hal yang dapat diusahakan untuk mendapatkan posisi yang lebih kuat dalam sebuah partisipasi baik secara individual ataupun kelompok. Julia T. Wood (2002) mengatakan pemikiran dan perilaku mereka terbentuk karena setiap orang memiliki motif untuk berada pada lingkungan sosial tertentu, dan muncul suatu kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan dan mempertahankan hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.

Berada pada budaya baru sangat mendorong seseorang untuk melakukan perubahan sosial. Individu sendiri mulai membandingkan dan menginginkan hal yang tidak dapat di dapatkannya dari situasi mereka sebelumnya.

Social climber merupakan kelompok orang yang mencari pengakuan. Social climber lebih tinggi dari status sebenarnya. Kalau secara sederhana social climber sebagai orang yang berusaha menaikkan status sosialnya dengan usaha tertentu. Kehidupan social climber memiliki budaya yang mereka ciptakan sendiri yang

meliputi seluruh perangkat tata nilai dan perilaku. Social climber menunjukkan atribut memalui status simbol, tata bahasa verbal maupun non verbal. Melihat gaya yang ditampilkan social climber ini sangat beragam memiliki gaya berpakaian yang fashionable yang menunjukan bahwa mereka sangat mengikuti perkembangan zaman. Setiap pakaian dan atribut tubuhnya menunjukan simbol kepribadian mereka.

Kontak dengan kebudayaan luar di era globalisasi seperti saat ini menjadi salah satu alasan mengapa social climber membutuhkan gaya hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu atau kelompok lain.

Selain beradaptasi dengan gaya hidup yang lebih tinggi, individu sendiri mulai membandingkan dan menginginkan hal yang tidak di dapatkan sebuah status sosial. Sehingga dengan bergabung pada suatu kelompok tersebut bisa mempertahankan hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya, juga mendapatkan berbagai informasi dan juga gaya yang bisa diikuti oleh social climber ini.

Masyarakat menciptakan kelas atas hanya ingin status sosial nya di pandang baik. Semakin status sosial mereka terangkat, mereka akan bersikap individualis dan sangat kompeten dalam memilih hal apapun. Keasyikan dengan pembiasaan suatu simbol status, hal ini membuat mereka menunjukan individualis mereka dengan berbagai upaya gaya hidup dalam kekhususan benda-benda, busana, tempat dan tatanan sosial.

Hal ini menjadi masalah bagi kelompok yang mempunyai keinginan tinggi yang sedang belajar mengarah pada pola konsumsi serta melakukan pengembangan suatu upaya mengejar gaya hidup tertentu. Karena perjuangan memperoleh benda-benda yang mendefinisikan status sosial dalam kelompok masyarakat atas merupakan hal yang sulit.

2 Likes

Saya memandang “social climber” adalah orang yang gila pengakuan di mata publik, dan tentu saja bagi saya ini bukan perilaku yang baik. Sebagian besar social climber akan melakukan berbagai cara untuk menunjukkan bahwa status sosialnya tinggi, tak terkecuali dengan cara-cara yang tidak baik (misalnya dengan memanfaatkan orang lain). Seorang social climber akan mengutamakan keinginannya dibanding kebutuhannya, misal demi membeli produk fashion terbaru, dia bisa menggunakan uang yang seharusnya untuk kebutuhan hariannya. Ia akan selalu memaksa untuk “sanggup” memiliki sesuatu yang ia anggap bisa menaikkan derajat sosialnya atau yang banyak orang ingin memilikinya, terlepas sebenarnya ia mampu atau tidak, mengabaikan kesulitan atau kerugian yang akan ia dapat setelahnya.

Social climber akan berusaha tampak bergaya hidup tinggi, memamerkan kehidupan ‘lain’ yang tidak sesuai kehidupannya demi mendapat pujian orang lain. Ia cenderung kurang bersyukur dengan sebagaimana adanya dirinya, sering membandingkan apa yang dimiliki orang lain dan berusaha kuat juga untuk memilikinya hanya demi bisa terlihat keren di mata orang banyak. Status sosial tinggi adalah segala-galanya baginya dibanding kehidupan sosial yang normal dan sederhana. Hal-hal demikian tentu bukanlah sesuatu yang patut ditiru.

2 Likes

Opini saya mengenai fenomena ini (social climber) justru bukan disebabkan perilaku seseorang, namun dampak media sosial itu sendiri yang mendorong perilaku tersebut. Media sosial bertujuan mewadahi orang-orang untuk saling berbagi beragam hal kepada orang lain dimana terdapat banyak kemudahan dan sangat ramah akan biayanya. Munculnya platform seperti ini akan membentuk pasar dalam media sosial itu sendiri pada faktanya bahwa muncul beragam konten seperti pamer kekayaan yang diminati oleh pasar media sosial. Ketika membahas tentang pasar maka erat kaitannya dengan selera dan kebutuhan, sehingga jika kebutuhan/selera terpenuhi dipasar maka akun tersebut mampu mendapatkan engagement yang signifikan.

fenomena internet berbeda dengan dunia nyata, platform media sosial memberikan kebebasan seseorang berekspresi selepasnya. Dugaan saya adalah kultur sebuah lingkungan belum mampu berkembang secepat teknologinya.

2 Likes

Hmm, wait. Saya kira social climber lebih tepat didefinisikan sebagai subjek yang melakukan social climbing. Jadi istilah untuk fenomena panjat sosial adalah social climbing :smile:

Saya sepakat perilaku social climbing adalah hal yang negatif apabila social climbing diartikan sebagai perilaku seseorang untuk berusaha tampil prestisius, terlepas dari kemampuan yang sebenarnya, demi mendapatkan status sosial tinggi di mata orang lain. Alasan paling besar adalah karena hal ini tidak sehat bagi individu yang melakukan. Faking dalam bentuk apapun menempatkan seseorang dalam kondisi rawan, baik secara internal maupun eksternal. Internal di sini berarti kehidupan pribadi dan kesehatan mental, sementara eksternal bisa dalam bentuk permasalahan hubungan sosial, hukum dan permasalahan-permasalahan lain yang dapat timbul akibat kepalsuan.

Dalam kehidupan internal, seorang social climber lebih mudah terkena kecemasan, stress dan depresi karena tuntutan-tuntutan dari penampilan dan statusnya. Dari hari kehari ia dipaksa untuk terus memikirkan bagaimana caranya mempertahankan strata yang sudah dicapai saat ini. Sementara itu dalam kehidupan sosialnya, social climber tidak dapat bebas memperkenalkan jadi dirinya sendiri karena ia berupaya membangun citra yang ia ingin orang lain lihat sebagai dirinya.

Tapi di samping hal-hal negatif tadi, saya punya alternatif lain dalam menilai fenomena ini. Kalau social climbing adalah perilakunya, maka menampilkan prestige di media sosial hanyalah salah satu modusnya. Sebetulnya perlu diakui mayoritas dari kita menginginkan kenaikan derajat sosial. Untuk itulah kebanyakan dari kita mengusahakan pendidikan terbaik dan pekerjaan terbaik. Jadi setiap orang sebetulnya melakukan panjat sosial, hanya saja bentuk pencapaian sosial yang diinginkan dan modusnyalah yang membedakan.

Ada orang yang goalsnya ingin bergabung dengan kalangan yang hidup mewah dan berduit. Ada orang yang goalsnya ingin bergabung dengan elit politis, cendekiawan, agamawan dan lain sebagainya. Setiap motif tadi memiliki modus masing-masing. Cara panjat sosial dengan menampilkan kemewahan di media sosial tidak kompatibel apabila goalsnya mendaki strata atas cendekiawan.

Yaa, namanya tujuan orang, mau seperti apapun boleh-boleh saja. Asalkan dalam prosesnya tidak sampai kehilangan jati diri sendiri dan merugikan orang lain. Ada banyak kok cara-cara socal climbing yang elegan dan berintegritas dengan bermodalkan intelektualitas dan kualitas diri :ok_hand:

Penyakit social climber ini sungguh sangat mitis. Banyak anak muda jaman sekarang ingin selalu tampil keren, ingin selalu mengikuti trend sekarang, tanpa memikirkan keadaan orangtua. Semoga penyakit ini semakin berkurang terlebih pada anak jaman sekarang.

Sama dengan pemahaman kak Novita nih terkait social climber atau biasa dikenal panjat sosial atau pansos. Fenomena yang satu ini memang sudah tidak asing lagi di era saat ini terutama di generasi millenial. Bahkan pansos ini menjadi salah fenomena yang dimanfaatkan beberapa kalangan untuk memperbaiki citra dirinya dimata orang lain. Bisa jadi juga untuk menaikkan tingkat sosialnya agar dipandang baik.

Rata-rata orang yang melakukan social climber ini lebih sering memanfaatkan pertemanannya untuk dirinya. Sebenarnya, fenomena seperti ini sudah banyak ditemui di Indonesia, terutama di dunia maya. Kebiasaan orang yang memamerkan suatu kondisi atau barang tertentu, seperti mengunggah konten makan di restoran mewah, liburan ke luar negeri, atau bergaul dengan orang-orang yang terlihat glamor adalah beberapa contoh orang yang ingin pansos. Perilaku panjat sosial umumnya berasal dari rasa kurang percaya diri dan tendensi ekstrem untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Meski dari luar seorang panjat sosial tampak atraktif dan mudah bersosialisasi dengan orang lain, sebenarnya mereka cenderung tidak percaya diri dan merasa dirinya kurang apabila dibandingkan dengan orang lain.Orang pansos akan selalu melihat orang lain lebih baik dari diri mereka dalam hal karir, penampilan, serta karakter diri. Mengingat social climber adalah tipe orang yang kurang percaya diri, mereka akan menggunakan eksistensi orang lain guna meningkatkan rasa percaya diri.

Nah jika ditanya menjadi social climber itu baik atau buruk?

Jawabannya tergantung konteksnya, kalau menurut saya social climber baik jika digunakan semestinya tanpa merugikan orang lain. Misalnya dia pansos dengan tujuan untuk membranding dirinya, karena personal branding itu sangat penting untuk melihatkan kualitas diri kita yang pastinya nanti akan berguna salah satunya dalam dunia kerja. Kemudian social climber dilihat buruk ketika ia memanfaatkan pertemanan untuk menaikkan sosialnya.

Fenomena ini sering juga disebut sebagai fenomena panjat sosial. Baik buruk di sini sudah seharusnya dilihat dari tujuan dan dampak apa yang timbul ketika dia melakukan panjat sosial. Apabila tujuan dia untuk membranding dirinya sehingga dia dikenal oleh banyak orang dan dapat memberi kebermanfaatan kepada banyakorang, menurut saya itu sah-sah saja. Tetapi apabila dampak yang ditimbulkan merugikan orang lain atau sangat napak bahwa dia hanya mencari sensasi, hal itu tidak pantas untuk dibanggakan.

Status sosial dan pengakuan dari orang lain seharusnya muncul ketika dia melakukan sebuah prestasi yang membanggakan. Hal yang buruk yang biasa terlihat ketika orang melakukan panjat sosial adalah ketika dia menjadi sombong. Saya yakin, ketika orang tsb menjadi sombong, maka orang menjadi tidak respect lagi kepadanya.