Bagaimana Sistem Ekonomi China Sebelum dan Sesudah Reformasi Ekonomi serta Pengaruhnya terhadap Hubungan Perdagangan China dan ASEAN?

Sistem Ekonomi China Sebelum dan Sesudah Reformasi Ekonomi serta Pengaruhnya terhadap Hubungan Perdagangan China dan ASEAN

Bagaimana Sistem Ekonomi China Sebelum dan Sesudah Reformasi Ekonomi serta Pengaruhnya terhadap Hubungan Perdagangan China dan ASEAN ?

Sistem Ekonomi China Sebelum dan Sesudah Reformasi Ekonomi serta Pengaruhnya terhadap Hubungan Perdagangan China dan ASEAN


Dinasti Qing yang sebelumnya berkuasa jatuh dari tampuk kekuasaan dengan menangnya Partai Komunis China (PKC) pada tahun 1949, dan pada saat yang bersamaan banyak negara-negara Asia Tenggara juga baru merdeka. Kala itu China mulai dilihat sebagai ancaman oleh Asia Tenggara karena berpaham komunis. Pada tahun 1960an negara-negara Asia Tenggara bersekutu dengan dengan Amerika Serikat menentang China. Perbedaan sistem ekonomi dan sosial mempertajam perbedaan ideologi keduanya dan adanya perbedaan besar antara ekonomi pasar dan sosialis mempengaruhi hubungan perdagangan China dan Asia Tenggara.

Antara tahun 1940 sampai tahun 1950, perdagangan opium kembali terjadi namun kali ini antara China dengan Asia Tenggara. Istilah Perdagangan Opium mengacu pada perdagangan candu antara Thailand, China, dan Jepang. Opium diproduksi di Kengtung, Burma dan China. Namun pada tahun 1946 PBB mengeluarkan larangan untuk merokok opium di Asia Timur dan ekspor opium untuk penggunaan non-medis juga dilarang. Namun karena besarnya keuntungan yang didapatkan melalui perdagangan opium ini, maka pengusaha opium China memutuskan untuk tetap melanjutkan produksi opiumnya. Sindikat narkotika China terus melakukan ekspansi ke Asia Tenggara. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan kebijakan pemerintah China yang kala itu berusaha keras untuk mengurangi jumlah kecanduan narkotika dan obat-obatan terlarang.

Pada awal tahun 1950an, setelah PKC menang, Myanmar dan Indonesia menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan China. Motif di balik pengakuan Indonesia adalah karena Indonesia sendiri memiliki Partai Komunis Indonesia (PKI) dan jumlah masyarakat etnis China pun cukup banyak sehingga ini menjadi perhatian pemerintah. Kala itu hubungan China dan Asia Tenggara tidak terlalu baik karena di Thailand dan Filipina terdapat gerakan “anti-China” dan di Jakarta etnis China juga banyak mengalami diskriminasi. Hal ini menyebabkan hubungan perdagangan China-Asia Tenggara cenderung terbatas. John Wong menggambarkan hubungan perdagangan antara keduanya sebagai berikut:

“Filipina menolak semua bentuk hubungan dengan negara-negara komunis sementara Thailand secara resmi menghalangi hubungan perdagangan dengan China. Dengan Indonesia perdagangan sulit karena hubungan diplomatik dengan China masih terhalang. Malaysia dan Singapura pun terhalang melakukan hubungan perdagangan dengan China karena embargo oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).”

Baik China maupun negara-negara di Asia Tenggara berusaha untuk memperbaiki hubungan perdagangan yang lesu ini. Keinginan baik ini ditunjukkan China dengan menjadi negara pertama yang mengakui Republik Demokrasi Vietnam. Sementara itu Indonesia mengirimkan duta pertamanya ke China pada bulan Oktober 1953 dan mulai mempromosikan perdagangan dengan China.

Momentum penting yang kemudian mengawali perbaikan hubungan ekonomi China dengan Asia Tenggara adalah Konferensi Bandung atau yang juga dikenal dengan Konferensi Asia-Afrika yang diadakan tanggal 18 hingga 24 April 1955 di kota Bandung. Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan 29 negara-negara Asia dan Afrika yang sebagian besar baru merayakan kemerdekaannya. Perwakilan China yang datang saat itu adalah Perdana Menteri Zhou Enlai. Konferensi ini dijadikan momentum yang baik bagi China untuk membina hubungan yang lebih baik dan menyebarkan pengaruh yang lebih besar dengan negara-negara tetangganya. Kehadiran China di Konferensi Bandung membuka pintu perdagangan dengan negara-negara yang sebelumnya tidak mengakui kemerdekaan China. Menghangatnya hubungan China dan Asia Tenggara membuat perdagangan keduanya meningkat.

Hubungan perdagangan dengan Asia Tenggara semakin membaik setelah Konferensi Bandung karena Perdana Menteri Zhou Enlai bertemu dengan Pangeran Sihanouk dari Kamboja pada tahun 1956 dan melakukan kesepakatan dagang dan menerima bantuan dari China. Dua tahun kemudian Phnom Penh mengadakan hubungan diplomatik dengan China. Pada akhir tahun 1950an, hubungan China-Asia Tenggara semakin membaik karena beberapa faktor. Yang pertama adalah karena berkurangnya ketergantungan dagang China dengan Uni Soviet yang kala itu mencapai 74% dari total volume perdagangan China dengan Uni Soviet. Yang kedua, karena China menerapkan Pembangunan Lima Tahun Jangka Pertama yang berlaku dari tahun 1953 hingga tahun 1958. Pembangunan ini menghasilkan produkproduk manufaktur padat karya yang menemukan pasarnya di Asia Tenggara.

Selama tahun 1960-an, hubungan politik dan ekonomi China dan Asia Tenggara kembali bergolak. Dampak dari Perang Dingin mempengaruhi hubungan China dan Asia Tenggara. Negara-negara Asia Tenggara bersekutu dengan Amerika Serikat menentang China yang komunis. Kala itu hanya Singapura dan Malaysia yang masih mempertahankan hubungan perdagangan langsung dengan China walaupun tidak ada hubungan diplomatik formal. Situasi ini diperparah dengan pemutusan hubungan diplomatik Indonesia dengan China pada tahun 1965 setelah Gerakan 30 September dan bubarnya poros Peking-Jakarta yang dipicu oleh perselisihan antara ABRI dan PKI. Padahal sebelum pemutusan hubungan diplomatik, hubungan perdagangan China dengan Indonesia mencapai 11% dan China menjadi pemasok barang-barang untuk Indonesia dan China juga sempat memberikan bantuan kepada Jakarta.

Pada tahun 1967 lima negara Asia Tenggara membentuk ASEAN. ASEAN adalah bentuk regionalisme yang berjalan di negara-negara Asia Tenggara dan bertujuan untuk melakukan kerjasama di berbagai bidang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan mempererat hubungan antar negara anggotanya. Dari sudut pandang Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand, pendirian ASEAN sebenarnya lahir dari keinginan untuk menghadirkan kekuatan lain yang berfungsi sebagai penyeimbang untuk menandingi atau setidaknya menjadi mitra wicara dan memiliki posisi tawar yang kuat sehingga dapat mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di Asia. ASEAN juga berdiri karena kekalahan Amerika pada Perang Vietnam membuat Asia Tenggara mempertanyakan kesediaan Amerika untuk menjaga Asia Tenggara. Terlebih lagi Uni Soviet juga menarik dukungannya dari Vietnam sehingga Asia Tenggara berusaha mencari akomodasi dengan negara besar yakni China.

Sepanjang tahun 1970an China berusaha memperbaiki hubungan dan citranya di Asia Tenggara. Dekade ini merupakan tahun-tahun yang krusial bagi hubungan keduanya. Pada bulan Februari 1972, Presiden Amerika Serikat Richard Nixon mengadakan kunjungan ke China. Kunjungan ini sangat penting bagi proses normalisasi hubungan Amerika Serikat dengan China. Nixon yang memberikan pernyataan “hanya ada satu China” terkait dengan status Taiwan disambut baik oleh pemerintah komunis China. Pertemuan ini berdampak positif bagi hubungan China dan Asia Tenggara karena setelah hubungan diplomatik Amerika-China terjalin, Malaysia, Filipina, dan Thailand mengakui kedaulatan China. Hubungan perdagangan antara China dan ASEAN pun meningkat. Seperti yang dapat kita lihat dalam tabel 2.1, ekspor China ke negara ASEAN meningkat dari US$ 212 juta (1970) menjadi US$ 618 juta (1975).

Pada tahun 1979, pimpinan Partai Komunis China Deng Xiaoping mengeluarkan kebijakan pembukaan ekonomi China ke ekonomi yang berorientasi pada pasar. Reformasi ekonomi ini dilakukan tanpa perubahan politik, yang berarti China tidak mengubah tatanan politik komunis sama sekali. Terdapat banyak perbedaan pada sistem ekonomi China sebelum dan sesudah reformasi dilakukan. Sebelum reformasi, sistem ekonomi China adalah sistem ekonomi sosialis yang mengacu pada sistem ekonomi Uni Soviet, yang merupakan negara komunis terbesar. Sistem perekonomian ini cenderung mengandalkan kekuatan dan sumber daya Sentral ke XI Partai Komunis China pada tanggal 13 Desember 1978, Deng mengemukakan keinginannya untuk mereformasi ekonomi dan China ingin melakukan modernisasi pembangunan dengan cara merangkul kelompok yang berbeda dan bukannya meminggirkannya. Kelompok berbeda yang dimaksud oleh Deng salah satunya adalah negara anggota ASEAN yang memiliki hubungan politik dan ekonomi yang pasang surut dengan China.

Ekspor tidak dilihat sebagai sesuatu yang penting sehingga volume perdagangan China dengan negara lain pun tidak terlalu besar. Untuk memenuhi tuntutan sistem ekonomi yang mengandalkan diri sendiri tersebut, industri domestik diproteksi dari kompetitor asing oleh pengawasan langsung negara yang dilakukan pada impor dan investasi dan alokasi administratif valuta asing yang dikombinasikan dengan nilai mata uang yang overvalued . Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh perencana pusat ini membangun dinding tinggi yang memisahkan ekonomi domestik dan ekonomi dunia.

Industri pra-reformasi ekonomi ditekankan pada industri berat yang semuanya berada di bawah kontrol pemerintah. Akibatnya, sektor pertanian dan industri ringan cenderung kalah. Porsi perdagangan China lebih cenderung ke barang-barang hasil industri berat yang diimpor China dari Uni Soviet, Jepang, Amerika Serikat, dan negara barat lain. Pola perdagangan ini menjelaskan mengapa volume impor China dari negara-negara ASEAN tidak terlalu besar karena sebagian besar produk ekspor ASEAN adalah produk pertanian seperti beras, gula, karet, dan hasil bumi seperti minyak. Pertumbuhan industri China merosot tajam selama tahun 1974 sampai 1976 dan produksi pertanian pun macet selama 1975 hingga 1977.79 Walaupun China tidak sampai mengalami krisis, sistem ekonomi sosialis nya tidak mampu mengangkat perekonomian China.

Deng Xiaoping menemukan banyak masalah dalam sistem ekonomi China ketika ia kembali berkuasa pada pertengahan tahun 1978. Ia mendeteksi banyak masalah struktural yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam perekonomian China. Maka ia membawa China kepada sistem ekonomi pasar dengan motif ingin membuktikan bahwa “kemiskinan bukanlah sosialisme” dan “sosialisme melenyapkan “kemiskinan”. Dalam pidatonya pada pleno ketiga sidang Komite Reformasi ekonomi yang dicetuskan oleh Deng Xiaoping pada dasarnya memberikan pasar porsi yang lebih besar dalam perekonomian sosialis. Deng menyebut sistem ini sebagai ekonomi pasar sosialis. Namun pemberian porsi lebih ini tidak dilakukan secara total dan besar-besaran karena sistem sosialis pasar tetap melihat pasar sebagai pelengkap penting saja dan masih tetap di bawah aturan dan pengawasan pemerintah. Reformasi ekonomi ini secara garis besar dibagi ke dalam empat tahap.

Tahap pertama berlangsung dari tahun 1978 sampai tahun 1984. Kebijakan yang dilakukan pemerintah China selama tahap ini pada intinya memulihkan perekonomian China dengan cara memberikan porsi lebih besar kepada pasar. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan revolusi pada bidang pertanian. Contohnya adalah dengan menaikan harga produk hasil pertanian, diversifikasi dan spesialisasi produk pangan, dan mendesentralisasi pertanian dari sistem kolektif ke level rumah tangga. Pada tahap ini juga dilakukan perubahan kebijakan perdagangan. Badan-badan usaha milik negara diijinkan untuk menjual output mereka yang di atas kuota dengan harga pasar dan badan usaha milik asing dan swasta diijinkan berdiri.84 Pada tahap ini China membuka Zona Ekonomi Khusus yang dilakukan untuk menarik penanam modal asing berinvestasi di dalam negeri. Zona Ekonomi Khusus ini sebelumnya bernama Zona Kawasan Ekspor yang diresmikan pada bulan Juli 1979. Kawasan ini adalah Zhuhai, Shantou, Shenzhen, dan Xiamen. Sebelum reformasi tahap pertama ini dilakukan China tidak memiliki investasi asing langsung (FDI) sama sekali. Ini adalah sebuah langkah penting yang telah diambil China karena beberapa belas tahun kemudian yakni tepatnya pada tahun 1993 China telah berhasil menarik FDI sebesar US$ 60 juta dari lebih 70 ribu perusahaan.

Tahap kedua reformasi ekonomi berlangsung dari tahun 1984 hingga tahun 1988. Pada tahap ini pemerintah melakukan reformasi pada sektor industri, perbankan, dan investasi. Sistem investasi dan perbankan diubah agar perusahaan mulai meminjam dana usaha dari bank dan tidak lagi menunggu negara. Untuk mendukung ini sistem monobank dihapuskan dan pembangunan Bank Sentral dilakukan. Untuk mendongkrak investasi, 14 kota utama di daerah pesisir dibuka untuk perdagangan dan investasi asing.

Pembukaan 14 kota utama tersebut diresmikan pada tanggal 4 Mei 1984. Kota-kota tersebut adalah Tianjin, Shanghai, Dalian (Provinsi Liaoning), Qinhuangdao (Provinsi Hebei), Yantai, Qingdao (Provinsi Shandong), Lianyungang, Nanton (Provinsi Jiangsu), Ningbo, Wenzhou (Provinsi Zhejiang), Fuzhou (Provinsi Fujian), Guangzhou, Zhanjiang (Provinsi Guangdong), Beihai (Daerah Otonom Guangxi Zhuang).

Reformasi periode ketiga berlangsung antara tahun 1988 sampai tahun 1991. Ekonomi China melambat pada periode ini karena terjadi inflasi. Situasi makroekonomi China tidak stabil sehingga negara mengeluarkan kebijakan moneter dan investasi untuk merevitalisasi ekonominya. Tahap berikutnya dimulai tahun 1992 dimana ekonomi sudah mulai stabil. Di awal dekade 1990an ini China membuka ekonominya secara penuh dan menghapuskan sistem ekonomi terencana.

Sebelum reformasi ekonomi dimulai, pertumbuhan ekonomi China selama tahun 1960 dan 1970an cenderung jauh lebih rendah dibandingkan beberapa negara tetangganya di Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki kecepatan pertumbuhan di atas China sepanjang tahun 1960an hingga 1976. Singapura memimpin dengan Produk Nasional Bruto (PNB) yang tumbuh sebesar 9.6% selama enam belas tahun, disusul dengan Thailand yang mengalami pertumbuhan 7.7% dan kemudian Malaysia sebesar 6.7%. China berada di bawah Malaysia dengan pertumbuhan PNB sebesar 5.7% sebelum reformasi dimulai.

Setelah revitalisasi ekonomi, perekonomian China mulai pulih. Perdagangan dan arus investasi meningkat yang didorong dengan kebijakan yang berorientasi pada ekspor dan reduksi hambatan dagang. Ini menjadi salah satu faktor pendukung perdagangan intraregional di Asia. Perdagangan antara China dan negara-negara Asia bertumbuh pesat mencapai 55% dengan Asia Selatan dan 29% dengan Asia Tenggara. Negara-negara Asia Tenggara mulai berinvestasi di China dan begitupun sebaliknya. Kerja sama dan integrasi perdagangan meningkat di Asia salah satunya dalam bentuk segitiga pertumbuhan. China sendiri membentuk Kawasan Ekonomi China yang di dalamnya termasuk Selatan China, Hong Kong, Taipei, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pertumbuhan ekonomi China pada tahun 1993 tumbuh sebesar 13% sementara perdagangan asingnya mencapai 38% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nya. Sampai tahun 1992 ekspor China ke Asia Tenggara mencapai US$ 2,368 juta sedangkan ekspor Asia Tenggara ke China berjumlah US$ 2,988 juta. Ini menandakan hubungan perdagangan yang cukup berimbang dan saling melengkapi satu sama lain. Pertumbuhan PDB yang mencapai angka 13.4% membuat China menjadi ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh sektor industri China pada tahun 1993 tumbuh 20%. Investasi China di Asia juga berkembang cepat di luar negeri terutama di Hong Kong dan negara-negara berkembang di Asia. Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat ini juga dibarengi dengan inflasi yang mencapai 14.5% atau naik dari 8.6% pada tahun 1992 dan perdagangan pun mengalami defisit sebesar US$ 9.1 juta, yang merupakan defisit pertama sejak tahun 1989.

Hubungan perdagangan dengan China menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Asia di awal dekade 1990an. Hubungan ChinaASEAN memang membaik pada awal tahun 1990an sejak terjalinnya kembali hubungan diplomatik antara seluruh negara ASEAN dengan China setelah Perang Dingin berakhir. Hubungan keduanya juga membaik setelah ASEAN mengundang Menteri Luar Negeri China untuk menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri Tahunan ASEAN pada bulan Juli 1991.

Pertumbuhan PDB ASEAN pada tahun 1993 adalah 6.4% dan naik sebesar 7.5% pada tahun 1995. Total investasi di kawasan adalah sebesar US$ 32.239 juta terhitung mulai tahun 1987 hingga 1992. Jumlah ini mengalahkan investasi asing langsung China (tidak termasuk Taiwan) dalam kurun waktu yang sama sebesar US$ 27,910 juta. Kemajuan ini disebabkan oleh pasar finansial di Asia yang bertumbuhan pesat didukung oleh liberalisasi finansial dan modal.

Tabel di atas menunjukkan bagaimana di awal tahun 1990an ASEAN dan kelompok negara Ekonomi Industri Baru ( NIEs–Newly Industrializing Economies ) secara keseluruhan lebih unggul dari China dalam hal investasi. Namun perubahan posisi kemudian terjadi. Pada tahun 1993 China berhasil menumbuhkan ekonominya sebesar 13%, dan ini merupakan angka pertumbuhan tertinggi di dunia. Setahun kemudian pada 1994, China melakukan devaluasi mata uangnya, Yuan, dan ini menyebabkan pesatnya ekspansi ekonomi yang disebabkan oleh perdagangan dan investasi. Semasa periode ini, China juga menaikkan anggaran pertahanan dan memodernisasi militernya.

Kemajuan ekonomi China yang diikuti dengan kemajuan pertahanan militernya menarik perhatian dunia dan gaung “kebangkitan China” semakin sering terdengar dan muncul pula kesan bahwa China adalah sebentuk “ancaman baru” yang patut diwaspadai terutama oleh negara-negara tetangganya seperti ASEAN. Untuk menghadapi dan mengurangi kecemasan terhadap kekuatan China yang baru, ASEAN kemudian mengundang China untuk menghadiri ASEAN Regional Forum (ARF). Forum ini dilaksanakan di Bangkok pada bulan Juli 1994 dengan 18 anggota pendiri yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei, Vietnam, Myanmar, Laos, Papua Nugini, Amerika Serikat, Jepang, Australia, Korea Selatan, Kanada, Selandia Baru, Uni Eropa, China, dan Rusia. Tujuan ARF adalah sebagai confidence building measures dan diharapkan dapat memfasilitasi resolusi konflik diantara negara-negara pendirinya. Bagi ASEAN forum ini sangat penting untuk menghadapi raksasa China dan memberikan rasa aman dalam melakukan kerja sama dan integrasi ekonomi dengan China.

Kesediaan China untuk bergabung dengan ARF merupakan salah satu bentuk konsistensi China terhadap kebijakan luar negerinya. Sejak pertengahan tahun 1980an, China meluncurkan dua inisiatif kebijakan utama luar negerinya. Yang pertama adalah “ Policy of Good Neigborliness ” (PGN) dan yang kedua adalah “ New Security Concept ” (NSC). PGN adalah konsep kebijakan yang ditujukan untuk membina hubungan baik dengan negara-negara tetangganya dalam rangka menjaga stabilitas nasional dan regional serta dalam konteks kebangkitan ekonomi China yang mengesankan. Kebijakan ini tidak secara langsung menyebutkan ASEAN sebagai negara tetangga yang dimaksud, namun ini menjadi alasan yang cukup bagi China untuk menjalin kerjasama yang lebih erat dengan ASEAN. Konsep NSC di lain pihak menekankan pada kebijakan keamanan China yang merancang definisi baru tentang keamanan. Definisi baru ini menegaskan bahwa konflik dan tantangan yang datang pada dasarnya tidak akan diselesaikan dengan menggunakan kekuatan persenjataan dan konfrontasi militer, melainkan dengan empat elemen utama: kepercayaan satu sama lain ( mutual trust ), keuntungan bersama ( mutual benefit ), kesetaraan ( equality ), dan koordinasi serta kerjasama ( co-operation/co-ordination ). Dua kebijakan China ini memberikan implikasi tersendiri bagi hubungan China dan ASEAN, yang merupakan salah satu tetangga terdekat China. Implikasi pertama adalah bahwa China berharap untuk melakukan kerjasama yang lebih erat dengan ASEAN. Kedua, China berharap dapat menjaga stabilitas kawasan. Ketiga, China berharap dapat memiliki porsi kerjasama ekonomi dan perdagangan yang lebih besar dengan ASEAN. Terakhir, China berharap akan terjadi intensifikasi hubungan sosial, politik, dan budaya di antara keduanya.

China juga memiliki beberapa ekspektasi lain perihal hubungannya dengan Asia Tenggara. Beijing tidak mengharapkan penempatan basis militer di Asia Tenggara seperti yang Uni Soviet coba dirikan di Vietnam setelah 1978. China juga tidak berharap adanya pemusatan strategis di sub-kawasan Asia Tenggara yang nantinya dapat merusak kepentingan keamanan China atau bahkan mempertanyakan status China di kawasan. Terakhir, China juga berharap akan absennya konflik di antara negara anggota ASEAN yang secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi hubungan ekonomi China dengan ASEAN.

Sepanjang pertengahan tahun 1990an memang tidak ada konflik atau pertikaian besar terjadi di antara negara anggota ASEAN yang berpengaruh besar terhadap hubungan ekonominya dengan China, tetapi bukan berarti tidak terjadi perubahan pola perdagangan antara keduanya. Pada tahun 1995, komitmen China terhadap keanggotaannya di General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) ditingkatkan. Tahun 1987 komitmen China di GATT hanya termasuk kategori barang, sedangkan pada tahun 1995, komitmen ini mencangkup perdagangan bidang jasa, hambatan-hambatan non-tarif dan peraturan terkait dengan hak cipta intelektual. Komitmen China terhadap GATT ini juga berlanjut hingga tahun 1997 saat China memberikan kedaulatan kepada Hong Kong sebagai Daerah Administrasi Khusus. Hong Kong merupakan anggota GATT sejak 23 April 1986 dan dengan berubahnya status Hong Kong menjadi bagian ekonomi tersendiri yang memiliki kebijakan ekonomi mandiri, maka volume perdagangan Hong Kong dihitung sebagai bagian terpisah dari perdagangan China daratan. Ini kemudian berdampak pada pola perdagangan China-ASEAN. ASEAN mulai berinvestasi di China dan Vietnam, sementara China banyak menanamkan modal di Hong Kong. Investasi China di Hong Kong mengalir deras terutama dalam bidang jasa finansial dimana Hong Kong memiliki keunggulan komparatif.

Terlepas dari meningkatnya hubungan ekonomi China dan ASEAN setelah ARF, volume perdagangan dan investasi China di ASEAN ataupun sebaliknya sebenarnya tidak terlalu besar dibandingkan dengan dengan negara-negara lain. Pada tahun 1995, netto investasi asing langsung (net FDI) China di ASEAN hanya berjumlah sekitar US$ 114,36 juta. Ini berarti jauh tertinggal dibandingkan investasi yang ditanamkan oleh Jepang, Amerika, Uni Eropa, dan bahkan Australia, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Hal yang harus ditandai adalah bahwa baik China maupun ASEAN sama-sama belum menjadikan satu sama lain mitra perdagangan yang terpenting.

Tahun 1997, krisis finansial yang bermula di Thailand, melumpuhkan perekonomian Asia dan berpengaruh terhadap hubungan perdagangan ASEAN dan China. Krisis ini tidak saja menimpa negara-negara ASEAN tetapi juga Jepang, Korea Selatan dan Hong Kong. Terlepas dari fakta bahwa China bergantung pada pinjaman bank asing sejak Desember 1994, ekonomi China tidak ikut terkena dampak buruk krisis finansial. Jepang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin ekonomi di Asia juga tidak mampu memimpin negara-negara di Asia untuk keluar dari krisis sehingga secara otomatis harapan pun jatuh ke China. Krisis ini membuat pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara secara umum menurun cukup drastis. Persentase pertumbuhan PDB Thailand turun dari 6.7% (1996) menjadi -0.4% (1997) dan -3 (1998), sedangkan PDB Indonesia pada tahun yang sama berturut-turut turun dari 7.8%, 4.7%, dan -5%. Dampak krisis finansial yang relatif kecil terhadap perekonomian China membuat China calon ‘pemimpin’ baru di Asia. Peran China menjadi penting dengan melemahnya Jepang dan hilangnya kepercayaan negaranegara Asia Tenggara terhadap bantuan yang diberikan IMF.

Selain menghadapi krisis finansial Asia, pada akhir tahun 1990an China banyak disibukkan oleh persoalan domestiknya. Tahun 1997 Deng Xiaoping meninggal dunia dan di tahun yang sama Hong Kong kembali ke pemerintah China mengakhiri 150 tahun pengawasan Inggris. Setelah kematian Deng Xiaoping kebijakan ekonomi China fokus pada aspek-aspek perekonomian yang rapuh terhadap pasar dan mempertahankan posisi yang lebih aman di dunia. Selain itu China juga mempersiapkan diri untuk menjadi anggota WTO.