Bagaimana sistem demokrasi pada masa orde lama ?

Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.

Bagaimana perkembangan demokrasi pada masa orde lama ?

Semenjak dikeluarkannya maklumat wakil presiden No. X 3 november 1945, yang menyerukan pembentukan partai-partai politik, Partai politik memainkan peranan sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Persaingan antar kepentingan dan kekuatan politik mengalami perkembangan dan semakin nampak jelas. Pergulatan politik ditandai oleh tarik menarik antara partai politik di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik / partai politik di luar lingkungan kekuasaan.

Kegiatan partisipasi politik di masa orde lama atau atau saat diberlakukannya demokrasi parlementer (1945-1959) berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan ideologi dan nilai primordialisme (paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil) yang tumbuh di tengah masyarakat.

Saat diterapkannya demokrasi parlementer juga sering disebut masa kejayaan demokrasi di Indonesia, sebab hampir seluruh elemen demokrasi dapat ditemukan dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat vital dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini merupakan contoh nyata dari tingginya akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi. Terdapat sekitar 40 partai yang terbentuk dengan tingkat otonomi yang tinggi dalam proses rekruitmen baik pengurus, atau pimpinan partainya maupun para simpatisannya.

Dalam perkembangan demokrasi di era orde lama atau saat diberlakukannya demokrasi parlementer (1945-1959) salah satu hal yang dikecewakan adalah masalah presiden (soekarno) yang hanya sebagai simbolik semata begitu juga peran militer.

Akhirnya massa ini mengalami kehancuran setelah terjadinya perpecahan antar elit dan antar partai politik. Perpecahan antar elit politik ini diperparah dengan konflik tersembunyi antar kekuatan parpol dengan Soekarno dan militer, serta adanya ketidakmampuan setiap kabinet dalam merealisasikan programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Soekarno untuk merealisasikan nasionalis ekonomi, dan diberlakukanya UU Darurat pada tahun 1957, maka sebuah masa demokrasi parlementer (1945-1959) telah usai dan demokrasi terpimpin kini telah dimulai.

Secara umum, terdapat 3 poin penting yang menjadi penyabab gagalnya pelaksanaan demokrasi parlementer (1945-1959) di indonesia, adalah sebagai berikut:

  • Persamaan kepentingan antara presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat, yang sama-sama tidak suka dengan proses dan kondisi politik yang berjalan.
  • Dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik
  • Basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah

Setelah gagalnya demokrasi parlementer dan diteruskan oleh demokrasi terpimpin maka periode demokrasi terpimpin ini secara dini dimulai dengan terbentuknya Zaken Kabinet pimpinan Ir. Juanda pada 9 April 1957, dan menjadi tegas setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Karakteristik yang utama dari demokrasi terpimpin ialah: menggabungkan sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah, Basic Human Right menjadi sangat lemah, masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Akibat dari demokrasi terpimpin adalah kekuasaan menjadi tersentral di tangan presiden, dan secara signifikan diimbangi dengan peran PKI dan Angkatan Darat. Kekuatan-kekuatan Suprastruktur dan infrastruktur politik dikendalikan secara hampir penuh oleh presiden. Dengan ambisi yang besar PKI mulai memperluas kekuatannya sehingga terjadi kudeta oleh PKI yang akhirnya gagal di penghujung September 1965.

Dari uraian diatas dapat di simpulkan menjadi beberapa poin penting dalam perkembangan demokrasi Orde Lama, antara lain:

  • Stabilitas politik secara umum memprihatinkan. Ditandai dengan kuantitas konflik politik yang amat tinggi. Konflik kebanyakan bersifat ideologis dan primodial dalam masa 20 tahun pasca merdeka.

  • Stabilitas pemerintah dalam 20 tahun berada dalam keadaan memprihatinkan. Mengalami 25 pergantian kabinet, 20 kali pergantian kekuasaan eksekutif dengan rata-rata satu kali pergantian setiap tahun.

  • Perangkat kelembagaan yang memprihatinkan. Ketidaksiapan aparatur pemerintah dalam proses politik menjadikan birokrasi tidak terurus dengan baik.

  • Krisis ekonomi. Pada masa demokrasi parlementer krisis dikarenakan kabinet tidak sempat untuk merealisasikan program ekonomi karena pergantian kekuasaan yang kerap terjadi. Masa demokrasi terpimpin mengalami krisis ekonomi karena kegandrungannya terhadap revolusi serta urusan internasional sehingga kurang diperhatikannya sektor ekonomi dalam negeri.

Pelaksanaan Demokrasi Orde Lama


Masa demokrasi Liberal 1950-1959.

Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik. Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan: Dominannya partai politik; Landasan sosial ekonomi yang masih lemah; Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950.

Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Bubarkan konstituante; Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950; Pembentukan MPRS dan DPAS

Masa demokrasi Terpimpin 1959-1966.

Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri: Dominasi Presiden; Terbatasnya peran partai politik; Berkembangnya pengaruh PKI; Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain: Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR; Jaminan HAM lemah; Terjadi sentralisasi kekuasaan; Terbatasnya peranan pers; Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur). Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI.

Sumber

Didalam sistem pemerintahan demokrasi pada orde lama, terdapa perubahan ditengah jalan, sehingga sistem demokrasi pada masa orde lama dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu masa demokrasi parlementer dan masa demokrasi terpimpin.

Masa Demokrasi Parlementer (Periode 1945-1959)

Demokrasi parlementer menonjolkan peranan parlementer serta partai-partai. Akibatnya, persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer member peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala Negara konstitusional beserta mentri-mentrinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai- partai politik usia kabinet pada pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional.

Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden mengeluarkan dekrit presiden 5 juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian dasar demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.

Masa Demokrasi Terpimpin (Periode 1959-1965)

Demokrasi terpimpin ini telah menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik, perkembangan pengaruh komunis dan peran ABRI sebagai unsur sosial-politik semakin meluas.

Undang-Undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini yang ditentukan oleh Undang- Undang Dasar. Selain itu banyak sekali tindakan yang menyimpang atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir.Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.

Selain perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden (penpres) yang memakai dekrit presiden sebagai sumber hukum. Partai politik dan pers yang sedikit menyimpang dari “rel revolusi” tidak dibenarkan, sedangkan politik mercusuar dibidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah mnyebabkan keasaan ekonomi menjadi tambah seram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila.

Masa Demokrasi Parlementer

Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa kejayaan demokrasi karena hampir semua unsur demokrasi dapat ditemukan dalam perwujudannya. Unsurunsur itu antara lain adalah akuntabilitas politis yang tinggi, peranan yang sangat tinggi pada parlemen, pemilu yang bebas, dan terjaminnya hak politik rakyat.

Cara kerja sistem pemerintahan parlemen, antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas;

  2. Presiden hanya berperan sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan,
    kepala pemerintahan dijabat oleh seorang perdana menteri;

  3. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet/dewan menteri, yang dipimpin oleh seorang perdana menteri-kabinet dibentuk dengan bertanggung jawab kepada DPR;

  4. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR yang dibentuk melalui pemilu multipartai. Partai politik yang menguasai mayoritas DPR membentuk kabinet sebagai penyelenggara pemerintahan negara;

  5. Apabila kabinet bubar, presiden akan menunjuk formatur kabinet untuk menyusun kabinet baru;

  6. Apabila DPR mengajukan mosi tidak percaya lagi kepada kabinet yang baru, DPR dibubarkan dan diadakan pemilihan umum;

  7. Apabila DPR menilai kinerja menteri/beberapa menteri/kabinet kurang baik, DPR dapat memberi mosi tidak percaya dan menteri, para menteri atau kabinet yang diberi mosi tidak percaya harus mengundurkan/membubarkan diri.

Masa demokrasi terpimpin

Demokrasi terpimpin muncul dari ketidaksenangan Presiden Soekarno terhadap partai-partai politik yang dinilai lebih mementingkan kepentingan partai dan ideologinya masing-masing daripada kepentingan yang lebih luas. Presiden Soekarno menekankan pentingnya peranan pemimpin dalam proses politik dan perjuangan revolusi Indonesia yang belum selesai.

Menurut ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 pengertian dasar demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di antara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan Nasakom. Ciri-ciri demokrasi terpimpin adalah sebagai berikut.

  1. Terbatasnya peran partai politik.

  2. Berkembangnya pengaruh PKI dan militer sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia

  3. Dominannya peran presiden, yaitu Presiden Soekarno, yang menentukan penyelenggaraan pemerintahan negara.

Demokrasi pada masa orde lama, atau masa kepemimpinan Presiden Soekarno, mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini terjadi mengingat kondisi politik pasca kemerdekaan masih belum stabil. Berikut adalah beberapa sistem demokrasi yang perah diterapkan pada kepemimpinan Presiden Soekarno pada masa orde lama.

Demokrasi Era Revolusi


Pada era revolusi nasional, apabila memperhatikan praktik-praktik politik para pendiri bangsa menjelang kemerdekaan tahun 1945, pada dasarnya sudah tampak praktik-praktik berdemokrasi di kalangan mereka. Misalnya dalam BPUUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang bertugas merumuskan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat Negara, dan lainya, telah dilakukan perdebatan yang sengit di antara mereka. Keanggotaan dalam BPUUPK yang berjumlah 68 orang juga telah mencerminkan perwakilan dari ideologi politik, terutama kalangan Islamis (20%) dan Nasionalis (80%).

Sebagai contoh, setelah bergumul selama kurang lebih 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesa dan kompromi dapat diwujudkan. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta . Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan di samping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberi anak kalimat pengiring ‘ dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya ’ (Maarif, 1998:28).

Perjalanan berdemokrasi berikutnya terlihat pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, pada saat menetapkan UUD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. UUD yang ditetapkan adalah UUD yang kemudian dikenal dengan UUD 1945, tetapi embrionya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya, berasal dari pembukaan dan batang tubuh UUD yang telah dirancang jauh sebelummya, termasuk di dalamnya Piagam Jakarta.

Dalam proses menetapkan UUD, terjadilah dialog yang sengit, sehingga Sukarno merasa kewalahan ketika menghadapi Ki Bagus Hadikusumo. Akhirnya, melalui pendekatan yang dilakukan Mohammad Hatta, dengan memanfaatkan Teuku Mohannad Hassan, wakil Sumatera dalam PPKI, dalam waktu 15 menit, terjadilah peristiwa pencoretan anak kalimat pengiring sila Ketuhanan, baik dalam pembukaan maupun dalam pasal 29 ayat satu. Demikian juga dengan kata ‘Islam’ yang semula dicantumkan dalam pasal UUD dihapuskan. Dengan cara ini, kompromi yang dilakukan antara golongan Islamis dan Nasionalis, keberatan dari wilayah Timur terhadap UUD telah hilang dan kesatuan tetap terjaga.

Selanjutnya , khususnya setelah kemerdekaan diraih, pada periode antara 1945-1949, lembaga demokrasi yang dianggap representasi dari legislatif dan wakil rakyat adalah KNIP (Komite Nasional Indonensia Pusat). Pada mulanya KNIP dibentuk sebagai lembaga pembantu Presiden. Namun sesuai dengan perkembangan dan dinamika politik, posisi KNIP diubah menjadi lembaga legislatif.

Pelbagai kebijakan pemerintah harus mendapatkan persetujuan KNIP. Misalnya kebijakan tentang perjanjian dengan pihak sekutu, Belanda, dan sebagainya. Beberapa perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda tidak dapat diratifikasi sebelum mendapatkan persetujuan dari KNIP. Perjanjian Linggarjati misalnya, pada mulanya banyak mendapatkan penentangan dari anggota KNIP, tetapi karena intervensi pemerintah, akhirnya perjanjian itu bisa terwujud. Demikian pula dengan Perjanjian Renvile dan KMB, semula tidak semua anggota KNIP menyetujuinya. Oleh karena itu, demokrasi radikal , dalam pandangan Hariyono (2014) mengalami kemunduran.

Demokrasi Era RIS


Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar (3 Agustus - 2 November 1949): Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. RIS dikepalai oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta.

Di tengah-tengah bangsa Indonesia menghadapi Agresi Belanda II (19 Desember 1948) dengan pelbagai diplomasi dan pertempuran, kehidupan demokrasi tetap berjalan dan dapat dilakasanakan. Pembentukan negara RIS juga dilaksanakan secara demokratis. Anggota KNIP memang ada yang tidak setuju dengan hasil perjanjian KMB, termasuk pembentukan negara RIS, namun jumlah anggota KNIP yang mendukung lebih banyak. Dengan demikian, perubahan negara Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) secara formal juga dilakukan secara demokratis. Demikian juga pada saat pembubaran negara RIS menjadi negara kesatuan juga dilakukan secara demokratis, yaitu dengan persetujuan sidang DPRIS.

Demokrasi Liberal


Berlakunya UUDS 1950 yang menggantikan bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali sejak tanggal 17 Agustus 1950, pada umumnya dianggap sebagai saat mulai berlakunya sistem Demokrasi Liberal. Tetapi Nugroho Notosusanto mengemukakan bahwa berlakunya Demokrasi Liberal dimulai sejak berlakunya Konstitusi RIS tanggal 27 Desember 1949 (Mahfud MD, 2003: 49).

Sebagai sistem politik yang liberal, UUDS 1950 juga menganut sistem parlementarisme secara konstitusional serta sistem multi-partai seperti yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949. Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui partai politik ini ternyata menimbulkan instabilitas nasional, sehingga dalam masa berlakunya UUDS 1950 tercatat tujuh kali jatuh bangunnya kabinet. Kabinet-kabinet antara tahun 1950-1959 adalah: (1) Kabinet Natsir, (2) Kabinet Soekiman, (3) Kabinet Wilopo-Prawoto, (4) Kabinet Ali Sastroamidjojo I, (5) Kabinet Burhanuddin Harahap, (6) Kebinet Ali Sastroamidjojo II, dan (7) Kabinet Juanda (Maarif, 1998: 38-49).

Jatuh bangunnya kabinet yang begitu sering telah menimbulkan rasa tidak puas di kalangan politisi Indonesia. Di samping itu, sistem politik pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa juga menyebabkan timbulnya ketidakpuasan beberapa daerah sehingga menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan, seperti pemberontakan PRRI (1958) yang begitu serius mengancam ketahanan Republik yang baru berdiri.

Sementara itu, pertentangan antara kelompok pendukung Pancasila dan pendukung Islam dalam persoalan dasar negara di dalam Konstituante terus meruncing bahkan konfrontasi itu diperluas sampai keluar gedung Konstiuante. Dua kubu yang berhadapan di Konstituante, tampak tegas dengan pendirian masing-masing tentang dasar negara. Satu pihak menegaskan dasar negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Pancasila, sedangkan yang lain terdiri dari partai-partai Islam bertaha untuk tetap menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Dalam suasana yang mengancam keutuhan teritorial sebagaimana dikatakan Herbert Feith dan ancaman perpecahan sebagaimana dikatakan Soempono Djojowandono itulah muncul gagasan Demokrasi Terpimpin oleh

Sukarno pada bulan Februari 1957. Konsepsi Demokrasi Terpimpin ini menurut Adam Malik, mula-mula dicetuskan oleh Partai Murba, Chairul Saleh, dan Ahmadi. Konsepsi Demokrasi Terpimpin ini nantinya akan membawa PKI masuk ke dalam kabinet (Mahfud MD, 2003).

Demokrasi Terpimpin


Seminggu setelah Dekrit 5 Juli 1959, Sukarno mengumumkan kabinetnya yang baru, menggantikan Kabinet Juanda yang mengemba-likan mandatnya pada 6 Juli 1959. Kabinet Juanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer ke periode Demokrasi Terpimpin . Dalam Kabinet Sukarno ini, Juanda tetap diberi posisi penting, yaitu sebagai Menteri Pertama, yang tugasnya tidak banyak berbeda dengan tugas Perdana Menteri.

Kabinet baru di bawah payung UUD 1945 ini diberi nama Kabinet Kerja . Kabinet inilah yang kemudiana bekerja dan bertugas melaksanakan gagasan Sukarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini, yang digagas Sukarno, demikian dinyatakan Syafii Maarif (1998:49), telah mebawa Sukarno ke puncak kekuasaannya. Namun demikian, karena fondasinya yang tidak kokoh, sistem itu pulalah yang yang pada akhirnya membawa Sukarno pada akhir kekuasaannya. Sekitar enam setengah tahun (1959-1965) sistem ini beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia.

Dalam pandangan Syafii Maarif (1988:50), Demokrasi Terpimpin dalam prakteknya adalah sistem politik dengan baju demokrasi tapi minus demokrasi . Mengapa semuanya bisa terjadi? Salah satu penjelasan untuk ini mungkin dapat ditelusur pada praktik politik masa demokrasi liberal, di mana partai-partai begitu berkuasanya hingga kepentingan negara secara keseluruhan sering kali tidak diperdulikan. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia memang harus jatuh-bangun dalam kerja uji coba sistem demokrasi.

Penjelasan lain mengapa harus Demokrasi Terpimpin dapat dicari pada kenyataan bahwa Sukarno tidak mau lagi menjadi tukang stempel , dalam arti seorang presiden simbol, demikian istilah yang digunakan Syafii Maarif (1988:51). Hal tersebut memang tercermin pada ketentuan yang ada dalam UUDS 1950 yang menjadi dasar konstitusional bagi pelaksanaan demokrasi parlementer di Indonesia. Pendek kata, ia ingin memiliki kekuasaan langsung dalam memimpin pemerintahan.

Tampaknya Sukarno kecewa pada waktu Sutan Syahrir, pada pertengahan Nopember 1945 berhasil ‘menyisihkan’ Sukarno-Hatta dari pimpinan eksikutif dengan membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih di bawah UUD 1945, yang menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi sebentar oleh Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial tahun 1948/1949, perpolitikan Indonesia sampai dengan Kabinet Ali-Roem-Idham (1956-1957) dikuasai oleh kabinet parlementer yang tidak pernaha berumur panjang.

Keinginan Sukarno untuk berkuasa langsung tersebut disampaikan pertama kali pada 28 Oktober 1956, pada waktu ia mengemukakan tentang konsepsi Bung Karno, yang antara lain berisi ide tentang pembentukan Dewan Nasional, dan keterlibatannya secara langsung dalam memimpin pemerintahan. Dewan Nasional kemudian dibentuk pada 11 Juli 1957 yang langsung diketuai Sukarno. Selanjutnya, dengan terbentuknya Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 22 Juli 1959, maka berakhirlah tugas Dewan Nasional. Ketua DPAS sendiri dipegang oleh Sukarno.

DPAS yang diketuai secara formal oleh Sukarno, penanganan sehari- hari diserahkan kepada wakil ketuanya, Roeslan Abdoelgani, yang memang punya andil besar dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan Presiden 17 Agustus 1959 dijadikan Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian berkembang menjadi Manipol- USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial). Kesemuanya itu menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.

Pembentukan dewan di atas yang pada bulan Maret 1960 ditambah lagi dengan pembentukan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai ganti dari DPR pilihan rakyat yang dibubarkan, merupakan mekanisme dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Fakta yang menarik adalah bahwa anggota-anggota yang duduk dalam dewan-dewan itu adalah mereka yang disukai dan sefaham dengan Sukarno. Padaa bulan-bulan pertama pelaksanaan

Demokrasi Terpimpin dapat dilihat adanya proses kristalisasi yang cepat antara pendukung dan penentang demokrasi gaya baru tersebut.

Bersamaan dengan gencarnya propaganda Demokrasi Terpimpin, Sukarno mengritik habis-habisan ide dan pelaksanaan demokrasi liberal, yang katanya semakin menjauhkan Indonesia dari tujuan revolusi. Sukarno sudah jenuh menyaksikan pertentangan golongan-golongan politik yang ada. Biang keladi dari semua itu menurut pandangannya tidak lain dari pelaksanaan demokrasi liberal gaya Barat. Padahal menurutnya Indonesia adalah sebuah negara di dunia Timur.

Dalam pandangan Sukarno, karena Indonesia adalah negara Timur, maka sistem demokrasinya harus juga bercorak Timur. Dalam suatu wawancara dengan George McT. Kahin, Sukarno menegaskan bahwa demokrasi Timur, khususnya demokrasi Indonesia, adalah demokrasi yang dipimpin oleh pemimpin. Lebih lanjut, ditegaskan pula bahwa “ Demokrasi Indonesia sejak jaman purbakala adalah Demokrasi Terpimpin ” (Maarif, 1988: 55).

Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 dengan judul “Penemuan kembali Revolusi Kita”, Sukarno menjelaskan dua prinsip dasar dari Demokrasi Terpimpin, yaitu :

  1. Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara;

  2. Tiap-tiap orang berhak mendapatkan penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam amanatnya pada 22 April 1959, Sukarno menyampaikan beberapa definisi Demokrasi Terpimpin, di antaranya, Demokrasi Terpimpin adalah “ demokrasi , atau, dalam UUD 1945 dikatakan demokrasi “ yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-waratan/ perwakilan ”. Pada kesempatan lain dinyatakan Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa otokrasinya diktator.

Pengertian agak rinci tentang Demokrasi Terpimpin dapat ditemukan dalam pidato kenegaraan Sukarno pada HUT Kemerdekaan RI tahun 1957 dan 1958, yang pokok-pokoknya sebagai berikut.

Ada rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945, karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi seperti masalah kemakmuran dan pemerataan keadilan, belum utuhnya wilayah RI, dan instabilitas nasional yang ditandai jatuh-bangunnya kabinet sampai 7 kali.

Kegagalan tersebut disebabkan menipisnya rasa nasionalisme, pemilihan demokrasi liberal yang tanpa pemimpin dan tanpa disiplin, suatu demokrasi yang tidak cocok dengan kepribadian Indonesia, serta sistem multi partai yang didasarkan pada Maklumat Pemerintah 3 November 1945, yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan sebagai alat pengabdi rakyat.

Suatu koreksi untuk segera kembali kepada cita-cita dan tujuan semula, harus dilakukan dengan cara meninjau kembali sistem politik. Harus diciptakan suatu sistem demokrasi yang menuntun untuk mengabdi kepada negara dan mengabdi kepada bangsa dan yang beranggotakan orang-orang jujur.

Cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:

  • Mengganti sistem free fight liberalism dengan Demokrasi Terpimpin yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

  • Dewan Perancang Nasional akan membuat blue-print masyarakat yang adil dan makmur.

  • Hendaknya Konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan segera menyelesaikan pekerjaannya agar blue-print yang dibuat Depernas dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat Konstituante.

  • Hendaknya Konstituante meninjau dan memutuskan masalah Demokrasi Terpimpin dan masalah kepartaian (Mahfud MD, 2003).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, ‘politik adalah panglima’, sehingga masalah ekonomi tidak pernah dipikirkan secara serius oleh pemerintah. Masalah politik yang mengemuka pada masa itu adalah konfrontasi dengan Malaysia dan usaha pengembalian Irian Barat. Oleh karena itu, pada tahun 1965 inflasi mencapai 650%. Dilakukan devaluasi rupiah dari nilai Rp. 1.000, turun menjadi Rp. 1, uang baru. Sistem Demokrasi Terpimpin mungkin masih akan bertahan beberapa waktu lagi sekiranya Gerakan 30 September tidak terjadi.

Kegagalan gerakan ini telah membawa Sukarno dengan sistem Demokrasi Terpimpimnya menuju pada kehancuran politiknya secara total. Manipol-USDEK yang sebelumnya dibela oleh semua golongan politik, mulai mendapatkan celaan dan ditinggalkan. Akhirnya, Demokrasi Terpimpin pun berakhir bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan politik Sukarno.

Sumber : Ajat Sudrajat, Demokrasi Pacasila dalam Perspektif Sejarah.