Bagaimana sifat politik luar negeri Indonesia?

sifat politik luar negeri Indonesia

Bagaimana sifat politik luar negeri Indonesia?

  • Bebas dan Aktif. Politik luar negeri Indonesia bersifat bebas aktif, maksudnya bebas adalah Indonesia bebas menentukan pandangan terhadap masalah internasional. Aktif adalah Indonesia secara aktif memperjuangkan perdamaian dunia, memperjuangkan kebebasan, kemerdekaan, dan keadilan di seluruh penjuru dunia.
  • Antikolonialisme. Indonesia menolak adanya kolonialisme dan penjajahan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan (Pembukaan UUD 1945).
  • Mengabdi kepada kepentingan nasional. Setiap pandangan dan sikap pemerintah Indonesia dalam dunia politik luar negeri harus berlandaskan kepada kepentingan nasional.
  • Demokratis. Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan politik luar negeri.

http://krsmwn.blogspot.co.id/2014/02/pengertian-dan-sifat-politik-luar-negeri-indonesia.html

Politik Luar Negeri Bebas-Aktif


Indonesia menganut politik luar negeri yang mempunyai sifat bebasaktif. “Bebas” artinya tidak terikat oleh salah satu blok, dan “aktif” diartikan sebagai giat atau aktif dalam mengembangkan perdamaian, persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain. Moh. Hatta menyatakan, bahwa politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif bukan berarti netral, karena politik yang netral tidak membangun perdamaian dunia. Bebas-aktif di sini, selain Indonesia berada dalam posisi bebas untuk tidak memihak salah satu blok, tetapi di pihak lain Indonesia akan aktif untuk ikut mengusahakan perdamaian dan kesejahteraan dunia. Dengan demikian, Indonesia tidak cenderung ke salah satu blok.

1. Tinjauan Historis

Asas politik luar negeri Indonesia, secara resmi, baru dimulai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Moh. Hatta, selaku Perdana Menteri Indonesia, di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Yogyakarta pada 2 September 1948. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Moh. Hatta adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Indonesia. Dasar-dasar politik luar negeri ini, dikemukakan dalam pidatonya yang berjudul Mendayung di Antara Dua Karang.

Moh. Hatta, sebagaimana dalam pidatonya, mempertahankan rumusan bebas-aktif untuk tidak memihak salah satu blok dan di lain pihak ikut aktif mewujudkan perdamaian dunia. Menarik untuk diketahui bahwa formula ini pada awalnya dipilih untuk menolak tuntutan sayap kiri pada masa itu yang menginginkan agar Indonesia berpihak kepada Uni Soviet dan sekaligus menolak tuduhan Belanda, serta pada saat yang sama untuk menjaga jarak dari pengaruh Amerika Serikat yang secara intensif berusaha menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Dalam kesempatan itu Hatta mengatakan:

Tetapi, mestikah kita, bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara, hanya harus memilih antara pro Rusia atau pro Amerika? Apakah tak ada pendirian yang lain, yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita? Pemerintah berpendapat, bahwa pendirian yang harus kita ambil adalah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.

Uraian ini merupakan deklarasi ketidak berpihakan untuk menjadikan Indonesia lebih berarti sebagai subyek dan bukan hanya obyek belaka. Sikap politik Indonesia akan ditentukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Istilah “bebas-aktif” bukan berarti politik netral. Sebab, netral tidak berusaha membangun perdamaian dunia. Istilah “bebas-aktif” yang dimaksudkan adalah, selain tidak memihak salah satu blok, juga bertekad ikut berusaha mewujudkan perdamaian dunia.

Pidato tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam artikel berjudul Indonesia Foreign Policy dan Indonesia Between the Power Block yang dimuat dalam majalah Foreign Affairs tahun 1953 dan 1958. Menurutnya, perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, bukan lantas untuk memilih Amerika Serikat atau Uni Soviet. Pemerintah Indonesia tidak mengambil posisi sebagai anggota yang pasif ( a passive party ) dalam politik dunia internasional, melainkan sebagai anggota dunia yang aktif. Politik luar negeri Indonesia harus diletakkan di atas kepentingan nasional dan disesuaikan dengan situasi dan kenyataan yang ada, dan garis politiknya tidak boleh ditentukan oleh garis politik negara lain. Hatta juga menjabarkan rumusan bebas-aktif secara lebih jelas:

Indonesia tidak memainkan sikap keberpihakan di antara kedua blok yang bertentangan, dan menempuh jalannya sendiri dalam berbagai masalah internasional. Kebijaksanaan seperti ini disebut dengan istilah “bebas”, dan kemudian untuk menandainya digambarkan sebagai bebas dan aktif. Istilah “aktif” dimaksudkan sebagai upaya bekerja secara penuh semangat bagi pemeliharaan perdamaian melalui dukungan kuat, jika mungkin oleh mayoritas anggota PBB.

Konsep kebijakan luar negeri yang bebas-aktif ini juga merupakan suatu cara untuk mempertahanan prioritas-prioritas dalam negeri. Franklin B. Weinstein menyatakan, bahwa prinsip bebas-aktif dianggap oleh banyak pemimpin Indonesia sebagai sesuatu yang esensial untuk memelihara harga diri, identitas nasional dan image Indonesia. Sebanyak 61% dari para pemimpin Indonesia, menginginkan agar Indonesia dapat memainkan peranan penting dalam percaturan politik dunia dan mampu berperan dalam percaturan politik dunia, khususnya di Asia Tenggara.

2. Kerangka Filosofis

Secara idiil, politik luar negeri bebas-aktif dilandasi Pancasila. Sebagai falsafah dan dasar negara, Pancasila lahir, selain untuk menuntun kehidupan bangsa dan negara Indonesia, juga merupakan abstraksi bagi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia ( objektif Influence ). Baginya, Pancasila bisa menciptakan keteraturan ( order ) dalam foreign policy . Oleh karena itu, secara filosofis, prinsip politik luar negeri bebas-aktif menjadi salah satu jalan untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia yang telah disarikan dalam Pancasila.

Sila pertama, secara implisit menjelaskan, bahwa semua manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Setiap manusia berkedudukan sederajat, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sikap ini, tidak hanya mendasari kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi juga menjadi pandangan politik Indonesia dalam kehidupan internasional.

Sila kedua, menunjukkan bahwa Indonesia tidak menghendaki adanya penindasan dalam bentuk apapun, baik manusia atas manusia (explotation de l’homme par l’homme ), maupun penindasan negara atas negara ( explotation de nation par nation ).

Sila ketiga, terlihat bahwa Indonesia menempatkan persatuan di atas segalanya, dan kepentingan nasional berada di atas kepentingan pribadi. Implementasinya dalam hubungan internasional, Indonesia menganggap bahwa setiap negara merupakan unit tersendiri yang mandiri dan bukan merupakan sub-unit dari negara lain.

Sila keempat, mencerminkan bahwa dalam membuat keputusan maupun dalam menyelesaikan masalah, harus melalui proses musyawarahmufakat. Begitu pula dalam organisasi internasional, memutuskan sesuatu atau dalam penyelesaian masalah global, semestinya dilakukan melalui musyawarah-mufakat.

Sila kelima, menunjukkan bahwa Indonesia menyadari hak dan kewajiban sesama, sehingga menciptakan keadilan menjadi penting dalam kehidupan sosial. Tanggung jawab untuk menciptakan keadilan, selanjutnya dihayati pula dalam tata pergaulan Indonesia dengan dunia internasional. Sikap tersebut dalam rangka ikut mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk dalam membantu negara-negara yang sedang krisis.

3. Landasan Yuridis

Sedangkan secara yuridis, konsep tentang politik bebas-aktif merupakan cerminan dari UUD 1945. Tampak jelas, pada periode awal setelah merdeka, konsep ini adalah pengejawantahan dari sikap politik Indonesia yang enggan menggantungkan nasib negara dan bangsa kepada kekuasaan dan pengaruh negara luar, sebagaimana kolonialisme yang sebelumnya berjalan ratusan tahun dan telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada alenia I dan IV pembukaan UUD 1945 serta dalam pasal 11 dan 13 batang tubuh, dengan penjabaran sebagaimana berikut:

Pertama, alenia I pembukaan UUD 1945 menyatakan:

“bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.”

Setiap negara di dunia berhak untuk merdeka dan mengatur pemerintahannya sendiri. Untuk itu, Indonesia akan membantu setiap usaha untuk mencapai kemerdekaan negara-negara lain. Seperti dalam rumusan yang disepakati oleh anggota Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, terminologi “penjajahan” mencakup kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun.

Kedua, alenia IV pembukaan UUD 1945 menyatakan:

“bahwa negara Indonesia akan membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Alenia ini merupakan tujuan jangka panjang dari politik luar negeri Indonesia, serta memperjelas sikap Indonesia dalam membantu mewujudkan tata kehidupan di dunia yang lebih baik, lebih tertib dan lebih sejahtera.

Ketiga, pasal 11 UUD 1945, memuat hak Presiden berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memutuskan sikap: menyatakan perang, membuat perdamaian, atau perjanjian negara.

Keempat, Pasal 13 UUD 1945, terdiri dari dua ayat yang meliputi: 1) Presiden mengangkat duta dan konsul; dan 2) Presiden menerima duta negara lain.

4. Dasar Hukum

Secara operasional, ada tiga hal yang merupakan landasan politik luar negeri Indonesia. Pertama, ketetapan MPR dalam hal ini Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bidang hubungan luar negeri, yang berlaku untuk kurun waktu lima tahun. Kedua, kebijaksanaan yang dibuat oleh Presiden (Keppres), melalui permusyawaratan dan pertimbangan bersama kementerian maupun lembaga terkait, mengenai kebijaksanaan luar negeri. Ketiga, kebijaksanaan yang dibuat oleh Kementerian Luar Negeri, berdasarkan petunjuk Presiden. Dari tiga landasan operasional politik luar negeri bebas-aktif tersebut, berikut beberapa di antaranya:

  • Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960
    Pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menyampaikan pidato dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita, yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip utama dari Demokrasi Terpimpin, serta program jangka panjang dan jangka pendek kabinet yang akan membawa kepada jiwa dan cita-cita revolusi Indonesia. Pidato tersebut selanjutnya menjadi landasan politik yang dikenal dengan istilah Manifesto Politik (Manipol), kemudian ditetapkan sebagai GBHN dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, melalui persetujuan Presiden Soekarno.

    Di dalam Manipol, secara umum termuat dua hal, yaitu persoalan-persoalan pokok revolusi Indonesia dan program umum revolusi Indonesia. Termasuk di dalamnya, pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Berkaitan dengan kewajiban revolusi, Indonesia harus membebaskan diri dari semua imperialisme, dan menegakkan tiga sendi kerangka revolusi, meliputi:

    Pertama, pembentukan suatu negara, Republik Indonesia, yang berbentuk negara kesatuan dan negara kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke. Kedua, pembentukan suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik secara materiil maupun sprituil, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, pembentukan suatu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dengan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara Asia-Afrika, atas dasar saling menghormati satu sama lain dan atas dasar kerjasama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju perdamaian dunia.

    Adapun tujuan jangka pendeknya, sebagaimana dalam Manipol, adalah mencukupi sandang, pangan, keamanan dan melanjutkan perjuangan anti-imperialisme serta mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan ke kanan dan ke kiri. Sedangkan tujuan jangka panjangnya, mewujudkan masyarakat adil dan makmur, melenyapkan imperialisme dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal abadi.

  • Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966
    Memasuki era Orde Baru, Indonesia berangkat dengan semangat untuk memurnikan politik luar negeri dari penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama. Bagi pemerintahan Orde Baru, politik luar negeri Indonesia di era Orde Lama dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya, pada nyatanya menitik beratkan sikap dan kedekatannya kepada salah satu blok, dalam hal ini Republik Rakyat China (RRC), dan membentuk poros kesetia kawanan dengan negaranegara komunis, atau yang dikenal dengan istilah poros Jakarta Peking-Pyongyang.

    Didorong oleh keinginan untuk menempatkan politik luar negeri bebas-aktif sesuai pada tempatnya, pemerintah Orde Baru melalui sidang istimewa mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Politik Luar Negeri Indonesia. Ketetapan ini, hanya merupakan penegasan kembali, dari apa yang dianggap menyeleweng dalam pola pelaksanaannya. Dalam ketetapan terbut disebutkan, antara lain, bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah bebas-aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang semua itu tidak lain adalah untuk mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.

    Terlepas dari beberapa komponen yang melandasi politik luar negeri bebas-aktif ini, pada kenyataannya terjadi perumusan dan penafsiran yang berbeda antara aktor politik (pemerintah) yang satu dengan lainnya, berdasarkan pada situasi dan kondisi yang terjadi, meskipun pada dasarnya prinsip yang dipakai tetaplah sama.