Bagaimana sejarah terjadinya Konflik Sampit ?

Konflik sampit

Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal.Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.

Bagaimana sejarah terjadinya Konflik Sampit ?

Untitled

Asal Usul Penyebab Terjadinya Tragedi Sampit hingga saat ini masih simpang siur. Saya bertanya dari berbagai narasumber dan searching di Google, hasilnya berbeda-beda pendapat. Ada yang mengatakan tragedi ini berawal dari kasus pencurian ayam, kasus perkelahian remaja antar etnis, kasus kesenjangan sosial, dll. Namun dari berbagai pendapat itu, saya bisa menyimpulkan bahwa tragedi kerusuhan sampit ini sebenarnya berawal dari masalah sepele/kecil yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau jalur hukum yang ada tanpa harus mengorbankan ratusan bahkan ribuan nyawa. Akan tetapi masalah2 sepele itu terjadi berulang-ulang dan tanpa penyelesaian yang maksimal, sehingga menimbulkan suasana yang rentan akan konflik yang lebih besar.

Dari beberapa sumber ada beberapa kasus yang telah terjadi berlarut-larut hingga memuncak pada kerusuhan sampit.

  • 1972, Palangka Raya, seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa, terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.

  • 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan / penyelesaian secara hukum tidak ada.

  • 1983, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30 (tigapuluh) orang madura). Terhadap pembunuhan atas

  • 1996, Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.

  • 1997, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.

  • 1997, Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura yang ? tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur ?.Yang tidak dapat dikejar oleh si tukang sate itu, si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian.

  • 1998, Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh 4 (empat) orang Madura, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri dan korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian secara hukum.

  • 1999, Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya

  • 1999, Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura, masalah sengketa tanah; 2 (dua) orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua, sedangkan pembunuh lolos, malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.

  • 1999, Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura, gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke dua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.

  • 1999, Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama IBA oleh 3 (tiga) orang Madura; pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, biaya operasi /perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok / pelaku tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura sana!. (Tiga orang Madura memasuki rumah keluarga IBA dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu IBA menuangkan air di gelas, mereka

  • 2000, Pangkut, Kotawaringin Barat, 1 (satu) keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku Dayak di bunuh / mati oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.

  • 2000, Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur / lari, tidak tertangkap, karena lagi-lagi ?katanya? sudah lari ke Pulau Madura, proses hukum tidak ada karena pihak

  • 2001, Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh / dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.

Kronologis Perang Terbuka antara Dayak dan Madura


18 Februari warga Madura mula menguasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata, puluhan warga Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai roda dua sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga Dayak, mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya, sepuluh rumah dibakar.Tujuh orang tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil tujuh bulan ikut dibunuh dengan dirobek perutnya. “Itu fakta,” kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Situasi itu membuat Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan warga di Jalan Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di depan rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati. Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi karena mereka belum tahu betul siapa yang menguasai jalanan di Sampit malam itu: Madura atau Dayak. Di pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun. “Saya saat itu ikut mengungsi,’ ujar seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga Madura melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi. Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Selama berpawai itu, warga Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. “Mana Panglima Burung? Mana tokoh Dayak?” tantang mereka.

Tak hanya itu, seorang tokoh Madura melakukan orasi lewat pengeras suara, “Sampit akan jadi Sampang kedua, Sampit jadi Sampang Kedua”. Mereka juga memasang spanduk: Selamat datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. “Spanduk itu yang kami cari sekarang,” kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan sejumlah bom di rumah-rumah warga Madura. “Ini bukan isapan jempol,” tuturnya. Sedikitnya, pasukan Dayak sudah menyerahkan 300 bom yang ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk pistol. “Tidak tahu bagaimana tindak lanjutnya,” jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu, didistribusikan ke berbagai warga Madura di kecamatan. Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena bom itu pula, 112 warga Madura di Kecamatann Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini setelah warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura

Melihat aksi penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas membawa bala bantuan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dulu melakukan perlawanan sporadis. Selasa malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik. Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya,seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan. Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda tak lebih 25 tahun membekali diri dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang. Pasukan itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman warga Madura. Meski dalam jumlah kecil, kemampuan bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka sanggup menghadapi bom yang banyak digunakan warga Madura.

Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.

Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura. Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa. Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di semua kota kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.

Sumber : Sejarah Tragedi Sampit, Dayak Vs Madura