Bagaimana sejarah terbentuknya Kerajaan Ternate?

Untuk menentukan secara pasti sejak kapan mulai terbentuknya Kerajaan Ternate sangatlah sulit. Namun, berdasarkan cerita dari mulut ke mulut disebutkan bahwa kerajaan Ternate dimulai pada suatu saat ketika terjadinya bencana alam yang maha dasyat yaitu ketika meletusnya gunung Gamalama di pulau Ternate yang banyak menimbulkan korban di kalangan penduduk. Bagi yang masih selamat mengungsi ke pulau-pulau sekitarnya, terutama pulau Halmahera.

Akibat letusan itu telah tercipta dua buah danau yang masih ada sampai sekarang, yaitu danau Tolire dan danau Laguna, atau danau Tolire besar dan danau Tolire kecil, begitu pula gundukan-gundukan batu hitam yang kini dikenal dengan nama batu angus yang terbentuk dari lahar yang mengalir bersama abu dan batu.

Lama kelamaan tanah bekas letusan gunung berapi itu menjadi subur kembali. Bagi orang-orang yang kehidupan sehari-hari bergantung kepada hasil bercocok tanam maka kesuburan tanah ini seakan-akan mengundang mereka untuk datang. Begitulah mereka mulai berdatangan hingga pulau Ternate menjadi ramai kembali.

Pendatang-pendatang itu kebanyakan berasal dari pulau Halmahera, yaitu suku Cim dan suku Heku. Suku Cim berasal dari Sidangoli dan beberapa kampong di sekitarnya sedangkan suku Heku terdiri dari orang-orang Jailolo dan Payo. Di Ternate suku Cin mendirikan tiga buah kampung dan suku Heku mendirikan sebuah kampung sehingga perkampungan tersebut ada empat buah. Perkampungan-perkampungan tersebut ialah, Tobona, Foramadiah, Tubo dan Tabanga.

Sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Abdul Habib Jiko dalam bukunya “Adat istiadat Maluku Utara “ sebagaimana dikutip oleh M. Saleh A. Putuhena yang menyebutkan bahwa sebelum Islam di Ternate terdapat empat kelompok masyarakat, Tubo, Tobona, Tobanga, dan Toboleu. Tubo mendiami puncak gunung Gamalama, sementara Tobona mendiami dataran tinggi Foramadiah. Tobanga mendiami hutan dan Toboleu mendiami daerah pesisir pantai. Tiap kelompok mendiami suatu Gam (kampung) tertentu yang warganya terdiri dari beberapa Soa (famili). Masing-masing kelompok dipimpin Soa untuk tiap-tiap Soa. Momole yang terambil dari kata Tomole (kejantanan) itu adalah orang yang menjadi pemimpin karena mempunyai kelebihan dalam hal keahlian, ketangkasan, keberanian, dan kesaktian. Kelompok-kelompok masyarakat itu masih berkepercayaan primitif, saling bermusuhan, dan seringkali timbul peperangan diantara mereka.

Lebih lanjut dari kisah diatas disebutkan bahwa suatu ketika timbullah dua blok yang saling bermusuhan, yaitu Momole Tabangan dan Momole Foramadiah di satu pihak dengan Momole Tubo dan Momole Tobona dipihak yang lain. Permusuhan yang makin menjadi-jadi itu mengakibatkan diantara kedua belah pihak masing-masing mengadakan balance of power sehingga peperangan tidak dapat dielakkan lagi.

Dalam peperangan itu dimenangkan oleh pihak Momole Tobana bersama Momole Tubo. Namun, dalam peperangan itu Momole Tubo banyak menderita kerugian bagi materil maupun warganya maka posisinya agak lemah. Kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh Momole Tobana untuk menguasai Momole- Momole yang lainnya. Pemimpin Momole Tobana tampil dengan memakai gelar Guna Tobana. Ada yang menyebutkan bahwa beliaulah Kolano (gelar untuk raja di kerajaan Ternate) yang pertama di kerajaan Ternate.

Sebagai Kolano yang pertama, Guna Tobana rupannya tidak dapat bertahan lama karena Momole Foramadiah mengadakan kudeta dan berhasil membunuh Kolano Guna Tobana sehingga pimpinan kerajaan Ternate beralih ketangan Momole Foramadiah dengan memakai gelar Ma-titi Foramadaih.

Pada masa pemerintahan Kolano Ma-titi Foramadiah ini maka semua pertentangan-pertentangan dan permusuhan yang dapat mengakibatkan keamanan dalam negeri terganggu ditindak dengan tangan besi. Setelah Kolano Ma-titi Foramadiah mangkat barulah diganti oleh Kolano Cico Bunga yang lebih dikenal dengan nama kebesarannya “Baab Mansur Malamo”. Pada masa ini struktur organisasi pemerintahan telah disusun secara demokratif sehingga kerajaan Ternate mulau menampakkan pengaruhnya dalam lingkungan kerajaan Kie Raha dan dikenal oleh dunia luar sehingga Cico Bunga (Baab Mansur Malamo) dianggap sebagai Kolano (raja) yang pertama.

Pandangan yang sama dikemukakan oleh M. Saleh A. Putuhena dalam lokakarya penelitian Multidisipliner tentang masyarakat dan Kebudayaan Halmahera dan Raja Ampat yang diprakarsai oleh Panitia Pengarah Kerjasama Indonesia-Belanda pada tanggal 10-20 Juli 1979 di Ternate, bahwa Baab Mansur Malamo ditetapkan sebagai Raja pertama dari Ternate setelah berhasil mempersatukan keempat kelompok masyarakat yang telah ada sebelumnya. Raja pertama dari zaman Kolano dalam sejarah politik Ternate ini memerintahkan dari tahun 1257-1277 M.

Dari cerita yang diuraikan diatas mengenai awal mula terbentuknya kepemimpinan di Ternate, kalau versi itu benar, tampak bahwa kepemimpinan di Ternate awalnya ditentukan melalui pertarungan atau peperangan, siapa yang menang itu yang jadi pemimpin, nanti pada masa Cico Bunga atau Mashur Malamo baru kepemimpinan ditenyukan dengan sistem pemilihan. Ini sejalan dengan pendapat Maurice Durverger yang menyatakan bahwa perebutan kekuasaan itu adalah cara yang pertama-tama untuk memilih pemimpin, orang pertama menjadi raja tentunya adalah seorang perajut yang mujur nasibnya

Terdapat versi lain dari sejarah kepemimpinan di Ternate seperti pada versi Fr. Valentijn (1724), versi Naidah (1851), dan versi Bastian (1884) maka teori Durverger tersebut tidak berlaku di Ternate khususnya pada masa awal terbentuknya pemerintahan karena disitu tidak ada perebutan kekuasaan, yang ada (misalnya dalan versi Valentijn) adalah penyerahan tanggung jawab untuk menjaga simbol kepemimpinan (alu dan lesung emas) dan yang sanggup menjaga simbol itulah nantinya yang kemudian ditunjuk menjadi pemimpin atau Kolano (raja). menurut Valentijn, sebelum 1250 pulau Ternate rupanya masih dalam keadaan liar tanpa desa dan penduduk masih sangat sedikit. Desa tertua yang diceritakan oleh Ternate adalah Tobana. Yang dibangun sekitar tahun 1250, terletak dekat puncak gunung tempat pemimpin pertama bermukim untuk sementara waktu. Di bawah Mole-ma-titi, kepala desa yang kedua beberapa waktu kemudian orang Ternate itu disebut Foramadiah. Bersamaan dengan peristiwa ini atau tak lama kemudian, rupanya ada pula desa yang ketiga bersama Sampalu, terletak ditepi pantai, di tempat yang kemudian didirikan kota besar Gam-ma-lamo. Desa-desa inilah yang dikenal pada waktu itu sampai tahun 1284.

Lebih lanjut, Valentijn menulis bahwa pada tahun 1250 (tahun sejauh lampau yang dapat ditelusuri dengan data mereka yang dapat dipercaya), orang Ternate belum mengenal raja. berbagai rakyat Halmahera, setelah mereka jemu akan pemerintahan Jailolo yang pelit, datang bermukim di pulau Ternate dan mendirikan banyak desa. Di setiap desa mereka mengangkat kepala desa.

Desa terpenting pada waktu itu adalah yang terletak di sekitar puncak gunung. Dari Tobana inilah keluarga raja-raja Ternate berasal dari sekitar 1250 “:menurut cerita dari orang-orang pintar dikalangan orang Ternate”.

Guna, kepala desa Tobana, menemukan di hutan sebuah batu galingan yang terbuat dari emas. Benda ini katanya dibawah oleh roh. Karena batu permata yang istimewa ini, Guna didatangi oleh banyak pengunjung dari desa-desa tetangga sehingga ia tidak ada waktu istirahat. Karena tak tertahan lagi, sekitar 1254 batu ini diberikan kepada Mole-ma-titi, kepada desa Foramadiah yang terletak di pertengahan lereng gunung. Mole-ma-titi pun tidak tahan terhadap ramainya pengunjung dan menyerahkan batu ini kepada Cico, kepala desa Sampalu yang terletak ditepi pantai. Cico ini lebih pandai memanfaatkan pemilikan batu galingan tersebut, yang menarik banyak pengunjung untuk menyaksikannya. Akibatnya, ia dihormati dan dipuja oleh banyak penduduk pulau sehingga para kepala kampung di Ternate mengangkatnya sebagai pemimpin seluruhnya dengan diberi gelar Kolano. Ini terjadi kira-kira tahun 1257.

Sejak periode Cico atau Cico Bunga alias Mansur Malamo atau Mashur Malamo alias Kaicil Tjuka (baca Cuka) hingga tahun 1480. Puncak kepemimpinan Ternate berada ditangan para kolano. Bentuk pemerintahan Kolano selanjutnya berubah menjadi kesultanan pada masa Zainal Abidin memerintah (1486-1500) dengan menggunakan gelar Sultan.

Pengambilan nama kesultanan tampak tidak bisa terlepas dari pengaruh sunan Gri karena langkah diatas dilakukan oleh Zainal Abidin sekembaliannya dari Giri. Hanya saja, hal ini tidak dapat ditafsirkan bahwa penyebaran Islam di Ternate dilakukan melalui Jawa, karena pada dasarnya elemen-elemen Islam sudah akrab dengan masyarakat Ternate sebelumnya. Terlepas dari rendahnya pengaruh Islam dalam mewarnai struktur politik Ternate di era Kolano.

Tampak perubahan bentuk diatas lebih dikarenakan oleh politis. Interaksi politik dengan dunia luar yang semakin intens sebagai akibat dari semakin meluasnya jaringan perdagangan cengkeh, tampaknya mengharuskan penguasa Ternate untuk menemukan bentuk organisasi baru yang memiliki kewibawaan luas. Bentuk kesultanan tampaknya dengan sengaja diambil karena merupakan bentuk yang paling umum dikenal diberbagai kawasan yang berada dalam jangkauan pemikiran elit politik Ternate.

Mesti bentuk Kolano berubah menjadi kesultanan. Namun, posisi Kolano hingga saat ini tetap dipergunakan sebagai instrumen pengendalian lebih banyak diarahkan pada kepentingan-kepentingan hubungan internasional. Elemen-elemen yang baru ada juga tidak menggantukan elemen-elemen yang lama, tetapi justru “ditambahkan” sebagai faktor pelengkapan. Dengan kata lain, masuknya Islam sebagai elemen baru ke kawasan politik Ternate tidak mentransformasi struktur politik (lama) yang ada. Akan tetapi, semakin mengukuhkan struktur pemerintahan yang ada.

Perubahan dari bentuk Kolano menjadi kesultanan telah berakibat pada penambahan sejumlah lembaga ke dalam struktur pemerintahan yang ada guna mengakomodir elemen Islam di dalam politik Ternate, tanpa mengorbankan elemen-elemen yang ada.

Demikianlah perjalanan kepemimpinan di Ternate yang bermula dari zaman Momole, kemudian zaman Kolano, dan terakhir zaman kesultanan yang bertahan hingga masa kolonial dan masa kemerdekaan, meski dengan karakter dan warna yang berbeda.

Kerajaan Gapi atau lebih dikenal dengan nama Kerajaan Ternate , telah berdiri sejak tahun 1257. Satu dari empat kerajaan Islam di Kepulauan Maluku ini didirikan oleh Baab Masyhur Mulamo yang berkuasa pada tahun 1257-1272M. Pada catatan-catatan sejarah tidak ditemukan keterangan jelas yang menyebutkan bahwa ia ataupun raja-raja penerusnya bahwa mereka beragama Islam.

Sebagai salah satu kerjaan Islam tertua di Nusantara, Kerajaan Ternate mencapai masa kejayaannya pada awal abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah nya yang terkenal sampai Eropa.

Awal Mula

Di awal abad ke-13 pulau Ternate mulai dikunjungi oleh para pelancong dan pedagang. Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Pada mulanya di Ternate terdapat 4 kampung yang tiap kampung dipimpin oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah.

Penduduk Ternate semakin bervariasi dengan bermukimnya pedagang Jawa, Arab, Tionghoa dan Melayu. Karena perdagangan yang semakin ramai ditambah bahaya yang sering datang dari para perompak maka atas inisiatif Momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Kedatangan Islam

Tidak ada catatan yang menyatakan kapan awal masuk nya islam ke Ternate, namun Kolono Marhum merupakan raja Ternate pertama yang memeluk agama Islam, setelah mendapatkan petunjuk dari ulama islam asal Minangkabau, Datu Maulana Husen, salah seorang murid dari Sunan Giri yang datang ke Ternate pada tahun 1465M.

Jika keterangan diatas dijadikan rujukan, maka bisa dikatakan bahwa islam dibawa dan disebarkan oleh ulama dari Melayu dan Jawa. Tapi berdasarkan sumber dari M. Shaleh Putuhena yang didasarkan pada tradisi lisan, pedagang Arab lah yang menyebarkan Islam di Maluku, yaitu Syeikh Mansur, Syeikh Amin, dan Syeikh Umar.

Dari sumber-sumber diatas bisa disimpulkan bahwa masyarakat Ternate sendiri sudah mengenal Islam dari sejak abad ke-13 dari pedagang Arab, namun Islam mulai disebarluaskan dan berkembang di Ternate baru pada abad ke-15, hal ini kemungkinan disebabkan pendekatan yang dilakukan oleh ulama Melayu-Jawa dalam berdakwah, lebih dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat Ternate.

Setelah Marhum wafat, anaknya Zainal Abidin menggantikannya. Ia lah yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan, dan meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan sultan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.

Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).

Kedatangan Bangsa Portugal

Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506.

Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku.

Kedekatan Sultan dengan orang Portugis, menyebabkan timbulnya keresahan dalam masyarakat. Apalagi mereka ikut campur tangan dalam urusan-urasan internal kerajaan, seperti dalam pengangkatan dan penunjukan pewaris tahta. Menurut sumber yang bisa dipercaya Sultan Bayanullah wafat karena diracuni oleh orang-orang dekatnya sendiri yang kecewa oleh kebijakannya diatas.

Perang Saudara

Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.

Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).

Perlawanan Terhadap Portugal

Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.

Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.

Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.

Penjajahan Belanda

Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Jatuhnya Ternate

Beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.

Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.

Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.