Bagaimana sejarah perkembangan ajaran Tasawuf dalam Islam ?

Tasawuf

Tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya denngan khalawt, riyadloh, taubah dan ikhlas. Bagaimana sejarah perkembangan ajaran Tasawuf dalam Islam ?

Ajaran tasawuf didalam sejarah pemikiran umat Islam mengalami perkembangan yang masih bisa dirasakan hingga saat ini. Berikut adalah tahapan-tahapan perkembangan dari ajaran tasawuf.

Masa Pembentukan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa awal Islam [nabi dan khulafaur Rasyidin] istilah tasawuf belum dikenal. Meski demikian, bukan berarti praktek seperti puasa, zuhud, dan senadanya tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Abdullah ibn Umar yang banyak melakukan puasa sepanjang hari dan shalat atau membaca al-Qur’an di malam harinya. Sahabat lain yang terkenal dengan hal itu antara lain Abu al-Darda’, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zaubaid, dan Kahmas al-Hilali.

Pada paruh kedua Abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri (642-728M), seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri tampil pertama dengan mengajarkan ajaran khauf (takut) dan raja’ (berharap), setelah itu diikuti oleh beberapa guru yang mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohaniahan dikalangan muslimin.

Ajaran-ajaran yang muncul pada abad ini yakni khauf, raja’, ju’ (sedikit makan), sedikit bicara, sedikit tidur, zuhud (menjauhi dunia), khalwat (menyepi), shalat sunnah sepanjang malam dan puasa disiang harinya, menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak membaca al-Qur’an dan lain-lainnya.

Para zahid ketika ini sangat kuat memegang dimensi eksteral Islam ( Syari’ah ) dan pada waktu yang sama juga menghidupkan dimensi internal ( Bathiniyyah ).

Kemudian pada abad II Hijriyah, muncul zahid perempuan dari Basrah-Irak, Rabi’ah al-Adawiyah (w. 801M/185 H). Dia memunculkan ajaran cinta kepada Tuhan ( Hubb al-Ilah ). Dengan ajaran ini dia menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt tanpa atau menghilangan harapan imbalan atas surga dan karena takut atas ancaman neraka.

Pada abad ini tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni bercorak kezuhudan. Meski demikian, pada abad ini juga mulai muncul beberapa istilah pelik yang antara lain adalah kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, melakukan safar , memperbanyak dzikir dan riyadlah . Tokoh yang mempernalkan istilah ini antara lain Ali Syaqiq al-Balkhy, Ma’ruf al-Karkhy dan Ibrahim ibn Adham.

Masa Pengembangan


Masa pengembangan ini terjadi pada kurun antara abad ke-III dan ke-IV H. Pada kurun ini muncul dua tokoh terkemuka, yakni Abu Yazid al-Bushthami (w.261 H.) dan Abu Mansur al-Hallaj (w. 309 H.).

Abu Yazid berasal dari Persia, dia memunculkan ajaran fana’ (lebur atau hancurnya perasaan), Liqa’ (bertemu dengan Allah Swt) dan Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt). Sementara Al-Hallaj menampilkan teori Hulul (inkarnasi Tuhan), Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan (kesatuan agma- agama). Selain itu, para sufi lainnya pada kurun waktu ini juga membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud (kesatuan penyaksian), Ittishal (berhubungan dengan Tuhan), Jamal wa Kamal (keindahan dan kesempurnaan Tuhan), dan Insan al-kamil (manusia sempurna).

Mereka mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak akan dapat diperoleh tanpa melakukan latihan yang teratur ( Riyadhah ).

Selain munculnya tasawuf yang cenderung pada syathahiyat, sejenis ungkapan-ungkapan ganjil atau ekstatik, dan semi-falsafi yang dimandegani oleh dua tokoh di atas, pada kurun ini juga mulai muncul gerakan banding yang dimandegani oleh Syeikh Junaid al-Baghdadi. Dia memagari ajaran-ajaran tasawufnya dengan al-Qur’an dan al-Hadis dengan ketat dan mulai meletakkan dasar-dasar thariqah, cara belajar dan mengajar tasawuf, syeikh, mursyid, murid dan murad.

Dengan kata lain, pada kurun ini muncul dua madzhab yang saling bertentangan, yakni madzhab tasawuf Sunni (al-Junaid) dan madzhab Tasawuf semi-Falsafi (Abu Yazid dan al-Hallaj). Perlu diketahui pula bahwa pada kurun ini tasawuf mencapai peringkat tertinggi dan jernih serta memunculkan tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi panutan para sufi setelahnya.

Masa Konsolidasi


Masa yang berjalan pada kurun abad V M. ini sebenarnya kelanjutan dari pertarungan dua madzhab pada kurun sebelumnya. Pada kurun ini pertarungan dimenangkan oleh madzhab tasawuf Sunni dan madzhab saingannya tenggelam. Madzhab tasawuf Sunni mengalami kegemilangan ini dipengaruhi oleh kemenangan madzhab teologi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H).

Dia melakukan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid dan al-Hallaj sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyat mereka yang dia anggap melenceng dari kaidah dan akidah Islam. Singkatnya, kurun ini merupakan kurun pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan awalnya, al-Qur’an dan al-Hadis. Tokoh-tokoh yang menjadi panglima madzhab ini antara lain Al-Qusyairi (376-465 H), Al-Harawi (w. 396 H), dan Al-Ghazali (450- 505H).

Al-Qusyairi adalah sufi pembela teologi Ahlu Sunnah dan mampu mengompromikan syari’ah dan hakikah . Dia mengkritik dua hal dari para sufi madzhab semi-falsafi , yakni syathahiyat dan cara berpakaian yang menyerupai orang miskin padahal tindakan mereka bertentangan dengannya. Menurut al-Qusyairi kesehatan batin dengan memegang teguh ajaran al-Qur’an dan al-Hadis lebih penting dripada pakaian lahiriyah.

Tokoh kedua ialah Al-Harawi. Dia bermadzhab Hanabilah, maka tidak heran jika dia bersikap tegas dan tandas terhadap tasawuf yang dianggap menyeleweng. Hal yang dikritik oleh Al-Harawi atas ajaran tasawuf semi-falsafi adalah ajaran fana’ yang dimaknai sebagai kehancuran wujud sesuatu yang selain Allah Swt. Kemudian dia memberikan pemaknaan baru atas fana’ tersebut dengan ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, Allah Swt. Selain itu, Al- Harawi juga mengkritik syathahiyat . Terkait ini dia menyatakan bahwa syathahiyat hanya muncul dari hati seseorang yang tidak tentram atau ketidaktenangan.

Kemudian tokoh yang terakhir ialah Al-Ghazali. Dia merupakan tokoh pembela teologi sunni terbesar, bahkan lebih besar dibanding sang pendirinya, Abu Hasan Al-Asy’ari. Al-Ghazali menjauhkan ajaran tasawufnya dari gnostis sebagaimana yang mempengaruhi para filosog muslim, sekte Isma’iliyah, Syi’ah, Ikhwan Shafa dan lain-lain. Ia juga menolak konsep ketuhanan Aristoteles, yakni emanasi dan penyatuan. Terkait teori kesatuan, al-Ghazali menyodorkan teori baru tentang ma’rifat dalam taqarrub ila Allah, tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.

Masa Falsafi


Pada masa (abad VI dan VII H) ini muncul dua hal penting yakni;

  • Pertama , kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi yang setelah bersinggungan dengan filsafat maka muncul menjadi tasawuf falasafi,

  • Kedua , munculnya orde-orde dalam tasawuf ( thariqah ).

Tokoh utama madzhab tasawuf falasafi antara lain ialah Ibnu 'Arabi dengan wahdat al-Wujud , Shuhrawardi dengan teori Isyraqiyyah , Ibn Sabi’n dengan teori Ittihad , Ibn Faridh dengan teori cinta, fana’ dan Wahdat al-Syuhud-nya. Sementara orde-orde tasawuf yang muncul pada kurun ini (terutama pada abad ke VII H) antara lain :

  1. Tarekat Qadiriyyah, didirikan oleh 'Abd al-Qadir Jilani (w. 1166 M.) dan berpusat di Baghdad.

  2. Tarekat Naqshabandiyah, didirikan oleh Muhammad ibn Baha’ al-Din (w.791 H.) dan didirikan di Asia Tengah.

  3. Tarekat Maulawiyah (Rumiyah), didirikan oleh Jalal al-Din Rumi (w. 1273 M), Persia.

  4. Tarekat Bekhtasyiyah, didirikan oleh al- Bekhtasyi, Turki.

  5. Tarekat Tijaniyah, oleh al-Tijani pada tahun 1781 M di Fez-Maroko.

  6. Tarekat Daraquiyah, oleh Maulana 'Arabi Darqawi (w. 1823 M.) di Fez-Maroko.

  7. Tarekat Khalwatiyah, didirikan di Persia pada abad 13 M.

  8. Tarekat Suhrawardiyah, oleh Suhrawardi al-Maqthul di Irak.

  9. Tarekat Rifa’iyah, oleh al-Rifa’I (w. 1187 M) di Irak.

  10. Tarekat Sadziliyah, oleh al-Sadzili (w. 1258 M.) di Tunis.

  11. Tarekat Khishtiyah, oleh Mu’in al-Din Chisthi di Ajmer- India.

  12. Tarekat Sanusiyah, oleh al-Sanusi (w. 18377 M) di Libya.

  13. Tarekat Ni’matulahiyah, didirikan di Persia dan kemudian di India (Isma’iliyyah).

  14. Tarekat Ahmadiyah, oleh Ahmad al-Badawi (w. 1276 M.) di Mesir dengan pusat di Tanta.

Masa Pemurnian

Menurut A.J. Arberry sebagaimana dikutip Amin Syukur, pada Ibn 'Arabi, Ibn Faridh, dan ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf baik secara teoritis maupun praktis. Pengaruh dan praktek- praktek tasawuf tersebar luas melalui tarekat-tarekat. Bahkan para sultan dan pangeran tidak segan-segan lagi mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi kepada mereka. Meski demikian, lama kelamaan timbul penyelewengan-penyelewengan dan skandal-skandal yang berakhir pada penghancuran citra baik tasawuf itu sendiri. Singkatnya, pada waktu itu tasawuf dihinggapi ,menurut pandangan Arberry, bid’ah, khurafat, klenik , pengabaian Syari’at, hukum-hukum moral, dan penghinaan ilmu pengetahuan.

Dengan fenomena di atas, munculah Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran yang dia anggap menyeleweng tersebut. dia ingin mengembalikan kembali tasawuf kepada sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Hadis. Hal yang dikritik Ibn Taimiyah antara lain: ajaran Ittihad, hulul, wahdat al-Wujud, pengkultusan wali dan lain-lain yang dia anggap bid’ah, khurafat, dan takhayyul.

Dia masih memberikan toleransi atas ajaran fana’, namun dengan pamaknaan yang berbeda. Dia membagi fana’ menjadi tiga bagian, yakni

  1. fana’ Ibadah , lebur dalam ibadah,

  2. fana’ syuhud al-Qalb, fana’ pandangan batil, dan

  3. fana’ wujud mas Siwa Allah , fana’ wujud selain Allah.

Menurutnya, fana’ yang masih sesuai dengan ajaran Islam ialah jenis fana’ yang pertama dan kedua, sementara jenis fana’ yang ketiga sudah menyeleweng dan pelakunya dihukumi kafir, sebab ajaran tersebut beranggapan bahwa ’ wujud Khaliq’ adalah ’ wujud Makhluq’. Kemudian, secara garis besar, ajaran tasawuf Ibn Taimiyah tidak lain ialah melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti madzhab tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social sebagaimana kalayak umum.

Referensi :

  • Zulkifli, Sufisme di Jawa: Peran Pesantren dalam Pemeliharaan Sufisme di Jawa , terj. Ali Mashar, (belum terbit), 7-9. Judul asli, Sufism in Java: The of The Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java , ( Jakarta: INIS, 2002).
  • Che Zarrina Binti Sa’ri, 'Tokoh Sufi Wanita Rabi’ah al-‘Adawiyyah: Motivator ke Arah Hidup Lebih Bermakna’, dalam Jurnal Usuluddin , Bil 12, 2007.
  • Ibnu Khaldun, Muqaddimah , terj. A. Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. II, 2000)
  • Muzakkir, Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer: Perjalanan Neo- Sufisme , dalam Jurnal Usuluddin , Bil. 26, 2007.
  • Michael E. Marmura, ‘Ghazali and Ash’arism Revisited’, dalam Arabic Sciences and Philosophy , Vol. 12, 2002.
  • Ja’far Shodiq, Pertemuan Tarekat dan NU , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)