Bagaimana sejarah perang Padri ?

Perang Padri

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Bagaimana sejarah perang Padri ?

6

Perang padri berawal dari gerakan padri untuk memurnikan ajaran Islam di wilayah Minangkabau, Sumatra Barat. Perang ini dikenal dengan nama Perang padri karena merupakan perang antara kaum padri/ kaum putih/ golongan agama melawan kaum hitam/ kaum Adat dan Belanda. Pemimpin perang padri adalah Tuanku Imam Bonj ol dan tokoh-tokoh pendukung kaum padri adalah Tuanku Nan Renceh, Tuanku Kota Tua, Tuanku Mensiangan, Tuanku Pasaman, Tuanku Tambusi, dan Tuanku Imam. Pada abad ke-19 ini Islam berkembang pesat di daerah Minangkabau. Tokoh-tokoh Islam berusaha menjalankan ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Al-Hadis. Gerakan mereka kemudian dinamakan gerakan Padri. Gerakan padri bertujuan memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat.

Periode Pertama


Periode pertama Perang Padri merupakan perang yang berlangsung antara kaum ulama/padri dan kaum adat. Beberapa hari setelah perundingan antara kedua belah pihak dan tidak ada kata sepakat, kemudian pada tahun 1815 kaum ulama / Padri melakukan serangan terhadap kerajaan Pagaruyung. Serangan yang dilakukan oleh kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Pasuman, serangan berlangsung membuat Sultan Arifin Muningsyah kalah dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.

Akibat semakin tersesak, kaum adat kemudian meminta bantuan kepada pihak Belanda. Perjanjian antara Kerajaan Pagaruyung dengan Belanda akhirnya dibuat, perjanjian tersebut dilakukan atas nama Sultan Tangkal Alam Bagar. Dengan dilakukannya perjanjian, maka kerajaan ini telah menyerahkan kerajaan kepada pihak Belanda dan mengangkat Sultan Tangkal sebagai penguasa daerah tersebut.

Kaum adat dengan bantuan Belanda kemudian melakukan serangan di daerah Simawang dan Sulit Air pada tahun 1821, tepatnya bulan April. Atas bantuan dari Belanda, kaum Padri akhirnya dapat dipukul mundur dari Pagaruyung. Langkah selanjutnya yang dilakukan belanda yaitu membangun Benteng pertahanan bernama Fort Ban Der Capellen, lokasi benteng tersebut berada di Batusangkar.

Kaum Padri kemudian bergeser ke daerah Lintan, disana mereka menyusun kekuatan dan juga bertahan dari serangan musuh serta melakukan penghadangan apabila musuh mulai melakukan pergerakan. Perlawanan yang dilakukan oleh kaum Padri ternyata membuat pasukan Belanda dan kaum adat kewalahan, hal ini dibuktikan dengan mundurnya mereka ke Batusangkar pada pertemuran yang berlangsung pada bulan September 1822.

Akibat sulitnya mengalahkan kaum Padri, Belanda kemudian mengusulkan untuk melakukan gencatan senjata. Usulan tersebut disampaikan melalui residen yang berada di kota Padang kepada kaum padri dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Gencatan senjata akhirnya dilakukan pada 15 November 1925 dengan melalui Perjanjian Masang.

Tuanku Imam Bonjol kemudian memanfaatkan masa gencatan senjata tersebut untuk pemulihan kekuatan, ia juga mencoba untuk mendekati kaum adat. Dari usaha yang dilakukan, ia kemudian berhasil merangkul kaum adat. Kerjasama antara kaum padri/ulama dengan kaum adat dikenal sebagai “Plakat Puncak Pato”, kerjasama tersebut disepakati di Marapalam. Kerjasama ini dilakukan dengan dasar / landasan adat Minangkabau beragama Islam dan agama Islam dengan dasar Al Qur’an.

Periode Kedua


Pada periode dua merupakan perlawanan kaum Padri dan kaum Adat melawan penjajah Belanda di Minangkabau. Periode ini dimulai pada tahun 1833, Belanda kemudian menangkap penguasa yang sebelumnya ditunjuk yang dianggapnya sebagai penghianat, yakni bernama Sultan Tangkal Bagar. Dengan bersatunya kedua kaum tersebut, maka Belanda menghadapi seluruh masyarakat Minangkabau.

Langkah yang dilakukan Belanda kemudian mengeluarkan sebuah pengumuman pada tahun 1833. Pengumuman tersebut berisi mengenai tujuan kedatangan mereka ke Minangkabau adalah untuk berdagang sekaligus menjaga keamanan dan tidak akan menguasai/menjajah daerah tersebut. Lantas mereka juga menjelaskan bahwa mereka juga membangun sekolah, jalan dengan biaya mereka, untuk kepentingan rakyat Minangkabau, sehingga rakyat diwajibkan menanam kopi dan menjualnya kepada pemerintah Belanda.

Pertempuran antara kedua belah pihak pun berlangsung dalam kurun waktu 5 tahun. Belanda berusaha menguasai benteng bonjol yang diduduki oleh pasukan dari kaum padri maupun kaum adat. Segala serangan yang dilakukan Belanda tidak dapat menembus benteng pertahanan ini. Langkah selanjutnya Belanda kemudian mengepung benteng tersebut selama setahun, hal ini dilakukan untuk menyetop suplai senjata dan makanan pasukan yang dipimpin oleh Imam Bonjol tersebut.

Sumber : Sejarah Perang Padri Rangkuman Lengkap

Meskipun masyarakat Minangkabau sudah lama memeluk agama Islam tetapi sebagian besar dari mereka masih memegang teguh adat dan menjalankan kebiasaan lama. Kebiasaan seperti minum minuman keras, berjudi dan menyabung ayam masih banyak yang melakukannya, sekalipun dalam ajaran Islam termasuk perbuatan yang terlarang.

Keadaan semacam itu terutama terjadi di lingkungan golongan masyarakat yang memang kepercayaan Islamnya masih belum tebal. Sampai beberapa lamanya tata hidup menurut Islam dan kebiasaan menurut adat masih dapat hidup berdampingan dalam masyarakat Minangkabau. Pada permulaan abad ke-19 kembalilah tiga orang haji, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang dan Haji Sumanik dari Mekah ke Minangkabau.

Mereka menganut aliran Wahabi, suatu aliran di dalam agama Islam yang menjalankan dengan keras ajaran-ajaran agama. Mereka sangat kecewa melihat di Minangkabau merajalela perbuatan-perbuatan yang terlarang oleh agama. Mereka kurang menaati ajaran agama dan lebih dipentingkannya adat dari aturan-aturan agama, terutama di kalangan kaum bangsawan dan raja-raja (kaum adat) . Bertolak dari kondisi tersebut, orang-orang yang baru pulang dari Mekah itu membulatkan tekad membersihkan agama Islam dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan dari adat yang masih dipegang teguh.

Barang siapa melanggar ajaran agama dihukum dengan berat sekali. Kewajiban agama harus ditepati betul-betul. Orang-orang yang ikut gerakan tiga orang ulama itu juga berpakaian putih-putih sehingga disebut Orang Putih atau Orang Padri.

Nama Padri mungkin juga asalnya dari nama Pedir, suatu daerah di Aceh. Pada waktu itu Pedir menjadi pusat orang-orang yang pergi naik haji. Namun ada juga yang mengatakan bahwa nama Padri berasal dari kata Portugis padri yang berarti pastor (ulama) agama Katolik, karena kaum Padri memakai jubah seperti pastor. Gerakan Padri makin besar pengaruhnya di Minangkabau. Mula-mula dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, kemudian oleh Datuk Bendaharo, Tuanku Pasaman dan Malim Basa.

Di antara pemimpin itu yang sangat terkenal adalah Malim Basa yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Kedudukan raja-raja dan kaum bangsawan menjadi genting. Di bawah pimpinan Suraaso, kaum adat melakukan perlawanan. Namun mereka kehilangan kekuasaan dan pengaruh mereka, bahkan perlawanan mereka dipatahkan oleh kaum Padri, dan banyak di antara mereka diusir dari Minangkabau. Karena para raja dan bangsawan itu kedudukannya makin terdesak, maka mereka minta bantuan kepada Raffles (1818) yang berkedudukan di Bangkahulu (Bengkulen) . Mula-mula ia menyanggupi bantuan itu, tetapi atas protes pemerintah Belanda yang kembali lagi di Padang, ia mendapat peringatan dari pemerintah pusat Inggris, sehingga ia mengurungkan pemberian bantuan itu. Karena itu kaum adat minta bantuan Belanda.

Pada tahun 1821 datanglah tentara Belanda dibawah pimpinan Kolonel Raaff, yang dapat memukul mundur kaum Padri, lalu mendirikan benteng Fort van der Capellen di Batusangkar tahun 1822. Kemudian Jenderal de Kock mendirikan benteng Fort de Kock di Bukittinggi. Walaupun kota-kota besar dikuasai Belanda, tetapi dengan menjalankan siasat perang gerilya kaum Padri tetap berkuasa. Dalam konflik itu kaum adat cenderung kepada pihak Belanda, dan memang kaum adat meminta pihak Belanda untuk melawan kaum Padri.

Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Karena itu, pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barat harus dikurangi untuk dikerahkan ke Jawa. Karena kondisi tersebut Belanda menggunakan taktik berdamai dengan pihak Padri. Perdamaian itu diadakan pada tahun 1825.

Pada saat terjadi gencatan senjata tersebut, ternyata Belanda melakukan tekanan-tekanan kepada penduduk setempat, sehingga akhirnya meletuslah perlawanan kembali dari pihak kaum Padri diikuti oleh rakyat setempat. Perlawanan segera menjalar kembali ke berbagai tempat. Tuanku Imam Bonjol mendapat dukungan Tuanku nan Gapuk, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku Hitam, sehingga mulai tahun 1826 volume pertempuran semakin meningkat.

Setelah Perang Diponegoro selesai (1830), pasukan Belanda yang berada di Jawa dikerahkan kembali ke Sumatera Barat untuk menghadapi kaum Padri. Salah satu markas kaum Padri yang berada di Tanjung Alam diserang oleh pasukan Belanda (1833) . Akibat pertempuran tersebut, pasukan Padri melemah karena beberapa pemimpin Padri menyerah, misalnya Tuanku nan Cerdik. Sejak itu perlawanan-perlawan terhadap Belanda dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.

Sejak tahun 1830 kaum Padri mendapat bantuan dari kaum adat. Mereka mau bersatu dengan kaum Padri karena ingin mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda. Mereka sadar, bahwa pemerintahan Belanda bagi mereka adalah rodi, menyediakan keperluan Belanda, pemerasan dan ekspedisi-ekspedisi yang kejam. Walaupun telah mendapat bantuan dari kaum adat, tetapi kekuatan kaum Padri semakin merosot. Sebaliknya, kekuatan Belanda semakin bertambah kuat.

Pasukan Diponegoro yang menyerah kepada Belanda dikerahkan untuk menumpas kaum Padri, termasuk Basah Sentot Prawiradirja (walaupun akhirnya ia dicurigai mengadakan hubungan dengan kaum Padri sehingga ditangkap lagi) . Untuk mempercepat penyelesaian Perang Padri, Gubernur Jenderal van den Bosch datang ke Sumatera Barat untuk menyaksikan sendiri keadaan di medan pertempuran. Ia mengeluarkan pernyataan gubernemen yang terkenal dengan nama Pelakat Panjang.

Pernyataan itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka yang memihak Belanda. Dalam kondisi terjepit, pihak Belanda mengajak Imam Bonjol untuk berunding. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di benteng Bonjol, sementara mengharapkan Imam Bonjol mau menyerahkan diri.

Perundingan gagal karena pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Jenderal Michiels memimpin sendiri pengepungan kota Bonjol. Dengan susah payah kaum Padri menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih kuat. Pada akhirnya benteng kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa-sisa pasukannya tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837.

Imam Bonjol lalu dibuang ke Cianjur, lalu dipindah ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa. Tertangkapnya Imam Bonjol memang tidak berarti berhentinya perlawanan-perlawanan, tetapi penyerahan itu cukup melumpuhkan kegiatan kaum Padri. Secara kecil-kecilan pertempuran masih dilakukan oleh pimpinan kaum Padri yang lain, yaitu Tuanku Tambose. Namun setelah itu akhirnya patahlah perlawanan kaum Padri. Semenjak itu Minangkabau diperintah langsung oleh Belanda.

Perang Padri merupakan perang yang pernah terjadi di Provinsi Sumatera Barat dan sekelilingnya mulau tahun 1803 hingga 1838. Khususnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung. Awalnya perang ini terjadi karena perbedaan prinsip tentang agama tapi lama-lama menjadi perjuangan melawan penjajah. Sejarah penting ini memang terjadi ketika masa penjajahan Belanda di Indonesia. Penjajahan Belanda di Indonesia juga tak terlepas dari sejarah berdirinya VOC. Sebelum Perang Padri, ada sejarah perang kamang yang termasuk perang melawan penjajah.

Sejarah Perang Padri

Perang Padri ini tidak beda jauh dengan perang saudara. Maksudnya perang saudara antar sesama penduduk Sumatera Barat. Diawali dengan timbulnya perbedaan pendapat antara sekelompok ahli agama islam yang disebut dengan Kaum Padri dengan Kaum Adat di wilayah Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kaum Padri menilai bahwa kebiasaan Kaum Adat yang berlawanan dengan syariat islam. Kebiasaan yang berlawanan seperti judi, sabung ayam, penggunaan obat terlarang, konsumsi miras dan penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Padahal sebelumnya Kaum Adat sudah menyatakan diri memeluk islam dan berkata akan meninggalkan kebiasaan yang berlawanan dengan syariat islam. Tingkah Kaum Adat ini membuat Kaum Padri marah sehingga meletuslah perang saudara di tahun 1803. Perang saudara antar sesama Mandailing dan Minang. Pemimpin Kaum Padri adalah Harimau Nan Salapan sementara Kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.

Tapi pada tahun 1833, Perang Padri berubah dari perang saudara menjadi perang melawan penjajah. Awal mulanya karena Kaum Adat yang terdesak malah memohon bantuan pada Belanda di tahun 1821. Sayangnya, keterlibatan Belanda membuat keadaan semakin kacau dan ruwet. Belanda malah terlalu mencampuri Kaum Adat. Daripada menghadapi dua musuh yang sama yaitu Kaum Padri dan Belanda, Kaum Adat mulai melawan Belanda dan bergabung dengan Kaum Padri. Akhirnya etnis Minang dan Mandailing bersatu untuk mengalahkan penjajah bersama-sama.

Perang Padri adalah peperangan melawan penjajah yang mengorbankan banyak hal. Mulai waktu yang cukup lama, harta benda dan banyak jiwa. Hasil akhir dari peperangan ini akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Dampak lainnya seperti runtuhnya Kerajaan Pagaruyung, menurunnya ekonomi masyarakat Minang dan membuat orang-orang berpindah dari area konflik.

Sebab Terjadinya Sejarah Perang Padri

Latar belakang Perang Padri sebenarnya diawali oleh keinginan Kaum Padri yang ingin memperbaiki moral masyarakat Minangkabau. Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang waktu itu pulang dari Mekkah dan ingin memperbaiki syariat islam masyarakat Minangkabau. Datanglah Tuanku Nan Renceh yang memiliki keinginan yang sama dengan tiga haji itu dan mendukungnya. Niat mulia mereka menarik banyak orang. Termasuk tokoh dan ulama Minangkabau yang bernama Harimau Nan Salapan. Sejarah islam di Indonesia juga berperan penting di Sumatera Barat. Harimau Nan Salapan dan Tuanku Lintau datang ke istana Pagaruyung untuk bertemu Sultan Arifin Muningsyah dan Kaum Adat untuk menjauhi kebiasaan yang berlawan dengan syariat Islam. Perundingan dilakukan tetapi Kaum Adat dan Kaum Padri sulit mencapai kesepakatan. Bersamaan dengan itu, beberapa nagari di bawah Kerajaan Pagaruyung mulai kacau. Hingga pada tahun 1815, Tuanku Pasaman memimpin Kaum Padri menyerang Koto Tangah yang termasuk wilayah Kerajaan Pagaruyung. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota. Dalam catatannya, Thomas Stamford Raffles yang mengunjungi Kerajaan Pagaruyung tahun 1818 hanya melihat puing-puing Istana Pagaruyung yang hangus.

Strategi-Strategi yang Digunakan Kaum Adat dan Belanda

1. Strategi Kaum Adat dan Kerajaan Pagaruyung : Meminta Bantuan Belanda

Kaum Adat mulai kewalahan menghadapi Kaum Padri. Kaum Padri terus melaju menyerang Kaum Adat. Kekalahan demi kekalahan diderita Kaum Adat. Sultan Arifin Muningsyah pun entah dimana. Semuanya memburuk bagi Kaum Adat. Mereka pun berunding untuk menyelesaikan masalah ini. Hingga akhirnya didapat sebuah solusi yaitu meminta bantuan Belanda.

Sultan Tangkal Alam Bagagar memimpin Kaum Adat untuk berunding dengan Belanda. Meskipun aslinya Sultan Tangkal Alam Bagagar tidak berhak mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung, tapi mereka tetap memaksa juga untuk menandatangani perjanjian. Karena perjanjian ini, Belanda menganggap Kerajaan Pagaruyung menyerah ke Pemerintah Hindia Belanda. Waktu itu Padang di pimpin oleh Residen James du Puy. Atas saran residen, Sultan Tangkal Alam Bagagar diangkat oleh Belanda menjadi Regent Tanah Datar. Kesempatan aliansi ini terlalu sayang untuk dilewatkan karena Belanda juga sangat tertarik pada Minangkabau karena cocok ditanami kopi. Kopi merupakan salah satu komoditas perdagangan penting bagi Belanda di Eropa.

Belanda yang diundang Kaum Adat untuk mencampuri urusan Sumatera Barat pun mulai beraksi. Mereka menyerang daerah Sulit Air dan Simawang yang dipimpin oleh Kapten Dienema dan Kapten Goffinet. Lalu Letkol Raaff membantu dua kapten itu dan berhasil mengusir Kaum Padri keluar Pagaruyung. Lalu Belanda membangun benteng Fort Van Der Capellen di daerah Batusangkar.

2. Strategi Kaum Padri : Regroup dan Gerilya

Setelah kalah dari Belanda, Kaum Padri mulai menyusun dan mengevaluasi kembali kekuatannya di Lintau. Kaum Padri menghalau serangan Raaff di Tanjung Alam dan Luhak Agam. Lalu di Baso, Kaum Padri berhasil membuat Kapten Goffinet terluka parah hingga meninggal. Dipimpin Tuanku Nan Renceh, Kaum Padri berhasil menekan terus hingga Belanda kembali ke Batusangkar. Perang Padri adalah salah satu contoh Perang gerilya Indonesia.

Aliansi Belanda dan Kaum Adat tidak dilindungi dewi fortuna. Pada April 1823, Belanda menambah kekuatannya. Raaff menyerang Lintau lagi tapi pertahanan Kaum Padri terlalu gigih untuk Belanda. Sehingga Belanda terpaksa pulang lagi ke Batu Sangkar. Atas permintaan Belanda, Sultan Arifin Muningsyah pulang lagi ke Pagaruyung. Pada tahun 1844 Raaff meninggal karena demam dan Sultan Arifin wafat pada tahun 1825. Tahun 1825, Belanda yang dimpimpin Laemlin berhasil menduduki Biaro, Kapau, Ampang Gadang dan Koto Tuo. Tapi akhirnya Laemlin akhirnya meninggal di Padang karena luka-luka perang yang parah.

3. Strategi Belanda : Gencatan Senjata

Belanda menempuh cara lain yaitu dengan berunding. Karena sudah pusing menghadapi Kaum Padri yang merepotkan dan kuat. Selain itu juga sudah mengeluarkan dana yang sangat banyak untuk menghadapi perang di Eropa dan melawan Diponegoro. Dengan nama Perjanjian Masang, Belanda mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan gencatan senjata.

Selama masa gencatan senjata, kubu Padri mulai bekerja. Tuanku Imam Bonjol memulihkan pasukan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya, lahirlah konsensus bersama yang berusaha menegakkan ajaran Islam dan Al-Quran di tanah Minangkabau. Bahasa Padangnya bernama “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.”

4. Strategi Belanda : Menguasai Titik Vital

Belanda mulai berperang lagi setelah gencatan senjata yang dipimpin oleh Letkol Elout. Kali ini Belanda lebih siap daripada sebelumnya. Karena semua sudah dipersenjatai kembali, Diponegoro telah dikalahkan dan dana sudah cair. Belanda melanggar perjanjian dan mulai menyerang Lintau dan Pandai Sikek. Wilayah ini menghasilkan senjata api dan mesiu. Lalu membangun Fort de Kock di Bukittinggi. Setelah itu menaklukkan Luhak Tanah Datar pada tahun 1831.

Letkol Elout mendapat bantuan dari Sentot Prawirodirjo. Sentot merupakan panglima Diponegoro yang kelihatannya membelot dan memihak pada Hindia Belanda. Tapi tingkah Sentot di Lintau terlihat mencurigakan. Ternyata Sentot aslinya malah membantu Kaum Padri. Akhirnya Sentot malah dibuang di Bengkulu lalu meninggal di sana.

Belanda lalu menyerang lagi dan kini dibantu oleh Letkol Vermeulen. Jumlah infantri yang datang cukup besar. Mereka menyerang Luhak Limo Puluah, Luhak Agam dan Kamang. Kaum Padri mulai kalah dan hancur. Hingga Kaum Padri harus mundur ke daerah Bonjol. Beberapa Kaum Padri juga mencoba menyerang pertahanan Belanda di Padang Mantinggi dan membuat Belanda kewalahan.

5. Strategi Kaum Padri dan Kaum Adat : Bersatu Kita Teguh

Kesadaran Kaum Adat dan Kaum Padri untuk bersatu sebenarnya sudah sadar dari dulu. Mereka sama-sama sepakat bahwa semua semakin memburuk untuk Minangkabau sejak Belanda ikut campur. Pada tahun 1833, muncullah kompromi di antara dua kaum ini. Tiba-tiba, di tanggal 11 Januari 1833, ada serangan mendadak kubu-kubu pertahanan Belanda. Kecurigaan orang Belanda mengarah ke Sultan Tangkal Alam Bagagar. Belanda lalu menangkapnya atas tuduhan pengkhianatan. Tentu saja Sultan Tangkal menyangkal. Tapi petinggi tetap membuangnya ke Batavia.

Di titik ini inilah Belanda sadar bahwa kini Kaum Padri dan Kaum Adat sudah bersatu. Setelah penangkan Sultan Tangkal Alam Bagagar, Belanda membuat pengumuman yang bernama Plakat Panjang. Pengumuman ini menyatakan bahwa Belanda tidak berniat untuk menguasai Minangkabau, tapi hanya untuk berdagang. Pribumi tidak harus membayar pajak dan tetap di bawah pimpinan penghulu.

6. Strategi Belanda : Penyerangan Bonjol

Sejarah Perang Padri yang begitu lama ini membuat para petinggi Belanda sebal dan memutuskan solusi akhir untuk menyerang Benteng Bonjol. Tapi serangan pada tahun 1833 gagal karena taktik gerilya Kaum Padri. Belanda tidak menyerah. Semua pembangunan infrastruktur kini juga diarahkan ke Bonjol pada tahun 1834. Pada tahun 1835, serangan lebih besar diarahkan ke Bonjol. Semua sumber daya, infantri dan alat berat hanya memiliki satu tujuan. Yaitu kejatuhan Benteng Bonjol. Benteng Bonjol dikepung hingga jatuh pada tanggal 16 Agustus 1837. Tapi Tuanku Imam Bonjol berhasil selamat dari kepungan ini.

Takdir Akhir Tuanku Imam Bonjol

Aliansi Kaum Padri dan Kaum Adat sudah melemah dan lelah. Sambil terus berlari dan bersembunyi, Tuanku Imam Bonjol terus berusaha mengkonsolidasi pasukan Sumatera Barat. Memang wajar karena mereka terus-menerus berperang hingga mencapat batas. Hingga akhirnya, Tuanku Imam Bonjol menyerahkan di ke Belanda. Beliau ditangkap dan dibuang ke berbagai tempat. Mulai dari Cianjur, Ambon dan Minahasa. Akhirnya beliau meninggal di tempat pengasingannya.

Akhir Perang Padri

Akhir yang buruk untuk semua etnis Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap dan Belanda berhasil menguasai Benteng Bonjol pada tahun 1837. Perang masih terus berlanjut hingga pertahanan terakhir Kaum Padri, di Rokan Hulu, dikalahkan oleh Belanda pada tahun 28 Desember 1838. Tuanku Tambusai yang waktu itu memimpin Rokan Hulu terpaksa mundur dan pindah ke Negeri Sembilan yang terletak di Semenanjung Malaya. Semua perlawanan rakyat Minangkabau berhasil ditumpas oleh Belanda. Padangse Bovenlanden di bawah kendali Hindia Belanda dan Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica