Bagaimana sejarah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta terjadi ?

Yogyakarta menjadi ibukota dari pemerintahan Indonesia

Pada Tahun 1946, Yogyakarta pernah menjadi ibukota dari pemerintahan Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali mempersiapkan serangan ke Indonesia, dengan membonceng tentara sekutu, Belanda mendarat di Banten dan melancarkan serangan ke Jakarta. Sehingga pada awal tahun 1946 Presiden Sukarno mengirimkan telegram kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menanyakan apakah Yogyakarta sanggup menerima pemerintahan RI. Sri Sultan menyanggupi permintaan Soekarno dan akhirnya Yogyakarta sempat menjadi ibu kota sementara Indonesia.

Bagaimana sejarah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta terjadi ?

Latar Belakang
Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibukota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA). Karena itu pada tanggal 1 Januari 1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara.

image

Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota; meninggalkan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta. Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus, sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa). Kereta api yang digunakan menggunakan jalur Pegangsaan Timur - Manggarai - Jatinegara - Bekasi - Cikampek - Cirebon - Purwokerto - Kroya - Kutoarjo - Yogyakarta.

Yogyakarta

image

Setiba di Stasiun Tugu, rombongan dijemput langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, para pejabat tinggi negara yang sudah lebih dahulu berada di Yogyakarta dan segenap rakyat kawula Yogyakarta

Kraton Yogyakarta juga menanggung biaya operasional para pejabat RI selama berada di Yogyakarta. Kas Negara RI saat itu dalam kondisi sangat buruk, bahkan boleh dikatakan sedang kosong. Untuk pembiayaan ini, jumlah yang dikeluarkan oleh kas Kraton diperkirakan mencapai 6 juta gulden. Jumlah uang yang tidak sedikit pada waktu itu. Dengan modal itu, pemerintahan RI yang masih sangat belia bisa terus menjalankan roda pemerintahannya.

Sebenarnya terdapat beberapa alasan yang membuat Yogyakarta dipilih sebagai Ibu Kota kedua setelah Jakarta tidak kondusif yaitu :

  1. Sri Sultan menyambut baik kehadiran pemerintahan Indonesia
    Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada masa awal kemerdekaan Indonesia sangat mendukung pemerintahn bahkan tanpa ragu sering membantu pemerintah secara finansial. Padahal waktu itu Pemerintahan Indonesia tidak memiliki apa-apa serta tidak bisa membalas kebaikan Sri Sultan.

  2. Yogyakarta memiliki sistem pemerintahan yang telah terorganisir
    Menurut Wakil Menteri Penerangan Ali Sastroamijoyo yang disampaikan di Radio Republik Indonesia, terdapat dua alasan mengapa pemindahan ibukota dilakukan di Yogyakarta, yaitu yang pertama adalah alasan tidak amannya keadaan Jakarta dan yang kedua adalah untuk menyempurnakan organisasi pemerintahan RI. Saat itu yogyakarta telah berdiri dengan kokoh dan stabil karena dibawah naungan Keraton sehingga situasi di Yogyakarta jauh lebih Kondusif dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Yogyakarta dianggap mampu memberi egitimasi dan kontribusi bagi pengembangan Pemerintah RI. Para pemimpin Pusat melihat bahwa kondisi pemerintahan dan kepemimpinan di Yogykarta sangat kuat karena merupakan kerajaan di bawah dwitunggal yang kuat pula.

Sumber :