Bagaimana sejarah musik Dangdut?

musik-dangdut

Tak bisa dipungkiri jika perubahan zaman menuntut perubahan pada sebagian aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal musik. Musik dangdut di Tanah Air yang perlahan ikut berubah seiring perubahan zaman. Ada banyak perbedaan yang bisa kita temui dari musik dangdut zaman dulu dan musik dangdut zaman sekarang. Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri ada sebagian yang masih bertahan dengan gaya asli dalam berdangdut.

1 Like

(KUMPULAN SEJARAH) SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK DANGDUT DI INDONESIA

Dangdut merupakan salah satu genre musik tradisional populer dari Indonesia yang berakar pada musik-musik Malay, Hindustani, dan Arab. Unsur Arab pada genre musik ini muncul dari pedagang-pedagang yang berasal dari Gujarat seiring dengan penyebaran agama Islam oleh mereka. Selain dari pedagang Gujarat, yang menjadi pengaruh besar lainnya adalah musik-musik India yang digunakan dalam film-film Bollywood, sebelum akhirnya sejarah musik dangdut dimulai pada tahun 1968. Genre musik ini amat sangat populer karena vokalnya dan instrumen yang digunakan sangat melodis, terutama tabla.
Perjalanan Musik Dangdut di Indonesia.

Pada tahun 635, sangat banyak saudagar-saudagar Arab yang muncul di Indonesia. Meskipun tujuan awal mereka adalah berdagang, mereka juga menyelipkan beberapa ilmu tentang Islam dimana ini juga menjadi awal penyebaran agama Islam di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya agama Islam, para saudagar dari Arab ini juga memperkenalkan Qasidah. Qasidah yang awalnya diperkenalkan oleh saudagar Arab kembali diperkuat dengan munculnya saudagar dari Gujarat pada tahun 900 hingga tahun 1200 dan disusul oleh saudagar dari Persia pada tahun 1300 hingga tahun 1600.
Pada tahun 1870, musik dangdut masih terus dierami dengan masuknya tren alat musik bernama Gambus yang berasal dari Arab. Alat musik tersebut memiliki bentuk seperti gitar, tapi suaranya rendah. Alat musik ini masuk bersamaan dengan migrasinya orang-orang Arab dengan marga Hadramaut dan orang Mesir setelah dibukanya terusan Suez dan dibangunnya pelabuhan Tanjung Priok tahun 1877 serta saat Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Perusahaan Pelayaran Kerajaan) (KPM) pada tahun 1888. Saat itu, para musisi Arab menggunakan gambus sebagai iringan saat mendendangkan musik mereka.

Pada awal abad ke-20, lagu dengan iringan gambus menjadi sangat terkenal di kalangan masyarakat Arab-Indonesia. Melihat perkembangan musik gambus ini, Syech Albar yang merupakan ayah dari musisi Ahmad Albar memutuskan untuk membuat sebuah orkes gambus yang bermarkas di Surabaya. Kesuksesan orkes gambus milik Syech Albar ini membawanya melakukan rekaman dengan media piringan hitam dan Columbia yang terjual sangat cepat di Singapura dan Malaysia pada tahun 1930. Satu tahun kemudian, musik Melayu Deli muncul di Sumatera Utara pada tahun 1940 dan diprakarsai oleh Muhammad Mashabi bersama dengan Husein Bawafie. Musik ini lalu berkembang terus ke Jakarta bersamaan dengan dibentuknya Orkes Melayu.

Aliran musik baru masuk lagi ke Indonesia pada tahun 1950. Musik yang dibawa oleh Edmundo Ros, Xavier Cugat, Perez Prado, dan Los Panchos merupakan musik Amerika Latin yang kemudian menjadi lekat dengan telinga orang Indonesia. Pada masa ini, sejarah musik dangdut kembali berubah karena musiknya sudah berbeda jauh dengan musik Melayu yang menjadi acuannya meski masih terasa gaya Melayu di dalamnya.

Sebenarnya pupuk-pupuk dangdut telah muncul sejak lahirnya musik Melayu Deli pada 1940. Hal ini terjadi karena beberapa orang senang bereksperimen dengan aliran-aliran musik yang pernah ada di Indonesia seperti musik India. Perkembangan ini juga semakin pesat karena didorong dengan politik anti-Barat yang selalu dicetuskan oleh Soekarno. Masa ini mencatat nama-nama besar seperti Said Effendi dengan lagu Seroja-nya, P. Ramlee dari Malaya serta Husein Bawafie yang merupakan salah satu penulis lagu terkenal.

Pada tahun 1968 akhirnya musik dangdut telah selesai digodok dan mulai muncul ke permukaan. Salah satu tokoh kunci dalam lahirnya musik dangdut ini adalah Rhoma Irama dengan Soneta Group pimpinannya. Dua tahun kemudian mulai muncul nama-nama yang sampai sekarang masih terkenal seperti Mansyur S., A. Rafiq, dan Muchsin Alatas. Pada tahun 1970 juga dangdut menjadi jauh lebih modern karena politik Indonesia pada masa itu mulai ramah terhadap budaya-budaya yang dibawa dari Barat seperti gitar listrik, perkusi, saksofon, dan organ elektrik. Alat-alat musik baru tersebut semakin membuka peluang variasi bagi musik dangdut ini.

Pada tahun 1970-an juga mula ada pengaruh musik rock dalam cara permainan gitar untuk dangdut, sehingga masa itu juga menjadi medan perang antara rock dengan dangdut. Karena perang ini juga sempat diadakan konser “duel” God Bless melawan Soneta Group. Hal-hal tersebut yang mengubah dangdut dan memisahkannya dengan musik Melayu secara keseluruhan. Sekitar akhir 1970-an juga muncul variasi baru dari dangdut, yaitu dangdut humor dan dimotori oleh sebuah orkes melayu yang bernama Pancaran Sinar Petromaks (PSP). PSP sendiri berawal dengan gaya melayu deli untuk membantu perkembangan musik dangdut agar bisa lebih dinikmati oleh para mahasiswa. Variasi dangdut ini terus berlanjut oleh Pengantar Minum Racun (PMR) pada paruh akhir dekade 1980 dan Pemuda Harapan Bangsa (PHB) di tahun 2000-an.

Pada tahun 2000, muncul lagi variasi baru yang mewarnai sejarah musik dangdut yaitu dangdut koplo. Baru setelah tahun 2002 variasi ini mulai menggoyang kancah dunia perdangdutan dengan kesuksesannya yang diprakarsai oleh vcd bajakan yang luar biasa murah. Murahnya vcd bajakan dangdut koplo ini menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah kebawah jika dibandingkan dengan mahalnya harga vcd/dvd original milik artis-artis nasional. Hal lain yang membuat dangdut koplo ini terkenal adalah fenomena Inul Daratista dengan “goyang ngebor” nya terlebih setelah ia mulai muncul di layar kaca Indonesia. Dengan setiap hal baru, tentu saja muncul pro kontra dimana kali ini kontra muncul dari Rhoma Irama yang menentang Inul dan goyang ngebornya karena ia berpendapat bisa terjadi dekadensi moral. Terlepas dari seluruh kontroversinya, dangdut koplo sebagai variasi tetap bisa hidup hingga saat ini.

Source : Sejarah Musik Dangdut

Sejarah Musik Dangdut

Menurut Lohanda (1983), penamaan irama dangdut diperkirakan merupakan suatu onomatophea antara hentakan kendang dan liukan (dut). Pendapat serupa juga dikemukanan oleh Simatupang (1996) bahwa istilah dangdut berasal dari suara sepasang drum kecil yang dimainkan secara khusus di dalam musik ini. Demikian halnya dengan pendapat Djuanda (1998) yang mengatakan bahwa istilah dangdut berasal dari suatu alat perkusi (tra-dunk-dunk) = dang, dan diikuti dengan suara beat yang lebih panjang (doot) = dut. Sememtara itu, dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (1992) disebutkan bahwa dangdut merupakan jenis musik baru yang muncul pada tahun 1970-an.

Bila dilihat dari asal muasalnya, penamaan Dangdut, dibentuk karena adanya suara “dang” dan “dut”, pada tabla atau kendang yang menjadi ciri khas dari jenis musik tersebut. Suara kendangan. menjadikan genre ini mempunyai ketukan yang unik dan pas. Jika bertolak dari etimologinya, sebenarnya kata dangdut sendiri dimaksudkan sebagai kata cemoohan atau ejekan bagi orkes Melayu dengan gaya Hindustan yang mengikuti suara tabla dengan cara membunyikan suara terentu sehingga terdengar “…dangduuut” (Banoe, 2003). Dari etimologi dangdut tersebut, secara eksplisit dapat diketahui bahwa musik dangdut merupakan perpaduan dari musik melayu dan musik india, dan menghasilkan harmonisasi suara baru, yaitu dangdut. Menurut Suseno, istilah Dangdut baru muncul dan dikenal luas pada tahun 1970-an, kata dangdut diindikasikan berasal dari bunyi kendang yang biasanya digunakan dalam pertunjukan dangdut, seperti tabla. Di saat itu Billi Silabumi hanya mengejek genre (musik dangdut) baru dengan kata dangdut di media massa. Alhasil media turut mempunyai kontribusi yang cukup besar dengan menjadikan musik campuran ini menjadi musik Dangdut (2005).

Sebenarnya cikal bakal Musik Dangdut sendiri telah berkembang sejak tahun 1950an, berawal dari perkembangan musik yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman disaat itu. Diawali dengan Musik Melayu Deli, Melayu Deli ini merupakan musik Indonesia dengan sentuhan Semenanjung Melayu (Weintraub, 2010). Lagunya terdengar sangat melayu, seperti lagu Mainang Sayang, Serampang Dua belas, dll. Setelah Deli Melayu, unsur pop yang telah terkenal dan sedang naik daun, membentuk Pop Melayu. Pada saat itu musik berkiblat pada genre pop dan pop Melayu. Adanya kebosanan dengan Pop, maka muncul nuansa musik unsur India, pada saat itu film India merajai perfilman dan acara televisi di Indonesia. Tak dipungkiri bahwa Musik India pada saat itu menjadi kiblat musik masyarakat, khususnya Jawa.

Dalam mengamati sejarah perkembangan musik dangdut, setidaknya ada dua tahapan yang dapat ditandai, yaitu era Irama Melayu dan era Dangdut. Irama Melayu merupakan salah satu genre musik yang pada mulanya dikembangkan di daerah Melayu. Di pantai sebelah barat Sumatera, suatu daerah tempat musik melayu berkembang, musik ini memperoleh corak yang lebih khusus, yaiutu Gamat. Sementara itu, di pantai sebelah timur Sumatera khususnya di daerah Deli dan tanah Semenanjung, musik ini dikembangkan pula sehingga terkenal dengan nama musik Melayu Deli. Ciri khas musik Melayu Deli ini adalah aspek perkusinya, terutama tingkahan bunyi kendang. Selain itu, unsur penting lainnya di dalam musik Melayu Deli ini adalah adanya akordeon dan biola yang dimainkan oleh sejumlah pemain. Diperkirakan bahwa ketika etnis Melayu bermigrasi ke pulau Jawa pada awal periode kolonial , mereka juga membawa tradisi musikalnya yang belakangan terkenal dengan irama Melayu Jakarta/Betawi. Irama Melayu ini, disamping melanjutkan musik tradisi Melayui Deli juga mengembangkan kekhususan tersendiri sehingga musik ini lebih dinamis dan reseptif terhadap ansir baru.

Referensi
  • Muttaqin, M. 2006. Musik dangdut dan keberadaannya di Masyarakat : Tinjauan dari Segi Sejarah dan perkembangannya. Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Vol. 7 (2) : 1-9.
  • Raditya, M H B. 2013. Dangdut Koplo: Selera Lokal Menjadi Selera Nasional. Jurnal Seni Musik . VOL 2 NO 2 : 1-6.