Bagaimana sejarah loyalitas Jendral A. Yani yang berujung maut?

Jendral A. Yani adalah seorang jendral besar di indonesia. beliau terkenal sangat loyal terhadap soekarno dan soeharto.

Selepas Isya pada malam 30 September 1965 itu, Brigjen Basuki Rahmat menemui Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani. Panglima Kodam VII/Brawijaya tersebut melaporkan situasi terkini di Jawa Timur terkait pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta organ-organ pendukungnya.

Kepada Ahmad Yani, Basuki Rahmat yang baru saja tiba di Jakarta dari Surabaya menyebut bahwa pergerakan PKI di Jawa Timur semakin berbahaya dengan maraknya aksi unjuk rasa yang tak jarang berujung ricuh ( Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional , 1983:284).

“Dilihat dari keseluruhan, maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan berbagai aksi sepihak PKI, bisa dipastikan adalah gerakan yang sistematis… yang sedang berjalan,” kata Basuki Rahmat.

Ahmad Yani menyimak laporan itu dengan serius. Esoknya ia berencana membawa Basuki Rahmat menghadap Presiden Sukarno. “Memang keadaannya semakin meruncing. Kita menghadap bersama-sama besok. Secepatnya ini perlu dilaporkan,” tegasnya.

Namun, Ahmad Yani ternyata tidak pernah sempat lagi menemui Bung Karno. Malam itu menjadi malam terakhir baginya. Dini hari 1 Oktober 19165, perwira tinggi militer kepercayaan presiden ini tewas tertembus peluru di kediamannya.

Tubuh sang panglima yang bersimbah darah dengan balutan piyama kemudian diseret dan diangkut dengan truk untuk dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jasad Ahmad Yani, bersama mayat 6 orang perwira TNI lainnya, ditemukan 2 hari berselang.

Penghalang Ambisi Belanda

Ahmad Yani pernah mendapat julukan juru selamat dari rakyat Magelang, Jawa Tengah. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Ahmad Yani bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk turut menghadang Belanda yang ingin berkuasa kembali.

Ditugaskan di Magelang yang berbatasan langsung dengan wilayah Yogyakarta, Ahmad Yani membentuk batalion dalam pertempuran melawan pasukan Inggris (Sekutu). Setelah melalui beberapa pertempuran sengit, tentara Inggris diam-diam meninggalkan Magelang pada 21 November 1945 karena kewalahan menghadapi gempuran pasukan Ahmad Yani.

Dikisahkan istri Ahmad Yani, Yayu Rulia Sutowiryo (1981:76), dalam buku Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan, proses mundurnya pasukan Inggris dari Magelang ternyata berlangsung sangat sulit lantaran dihadang TKR dan laskar-laskar pemuda di sepanjang jalan. Pihak Inggris sendiri mengakui hal tersebut, mereka menyatakan hanya satu kompi saja yang bisa meloloskan diri.

|0x0

Kegemilangan Ahmad Yani di Magelang tidak terjadi hanya sekali itu saja. Beberapa bulan berselang, tepatnya pada 23 Juli 1947, Resimen 19 dari batalion yang dipimpin Ahmad Yani juga berhasil memukul mundur pasukan Belanda kembali ke Ambarawa (Moh Oemar, dkk., *Sejarah Daerah Jawa Tengah,* 1994:217).

Dua tahun kemudian, ketika Belanda tengah menggencarkan agresi militer-nya yang kedua, Ahmad Yani kembali unjuk gigi. Jelang Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, ia memainkan andil yang sangat penting untuk menunjang kesuksesan pertempuran besar yang menjadi bukti bahwa Republik Indonesia masih berdiri itu.

19 Februari 1949, pasukan Ahmad Yani menghadang tentara Belanda yang sedang menuju ke Yogyakarta, ibukota RI saat itu. Ahmad Yani yang saat itu berpangkat mayor memimpin Brigade IX dengan wilayah operasinya mencakup Kedu bagian utara hingga Semarang barat (Sekolah Staf dan Komando AD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya, 1990:55).

Penghadangan yang bertujuan menghalangi perjalanan pasukan Belanda ke Yogyakarta berlangsung selama beberapa hari. Tentara republik di bawah komando Ahmad Yani berhasil menghancurkan pos-pos Belanda di jalur yang menghubungkan Jawa Tengah dengan Yogyakarta.

Aksi ini menjadi pembuktian bahwa Ahmad Yani tidak hanya piawai memimpin penyerangan. Ia ulung pula dalam menerapkan taktik bertahan dengan menjadikan wilayah utara Magelang sebagai garis pertahanan yang sangat tangguh sehingga Belanda terpaksa menyerah dan akhirnya mundur (Yayu Rulia Sutowiryo, 1981:76).

Ahmad Yani memang bukan aktor utama yang mengambil peran sentral dalam adegan inti, ia tidak bertempur di Yogyakarta sebagai pusat Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, aksi Ahmad Yani dari pinggiran justru menjadi kunci keberhasilan serangan massal, serentak namun singkat yang akhirnya membuka mata dunia bahwa RI ternyata masih ada.

Pembasmi Pengkhianat NKRI

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sejak awal 1950, problem internal bermunculan secara bergantian. Ahmad Yani pun berkali-kali berada di garda paling depan untuk menghadapi perlawanan-perawanan dari berbagai daerah terhadap pemerintahan di Jakarta.

Tahun 1952, Ahmad Yani turut meresmikan dibentuknya pasukan khusus bernama Banteng Raiders. Para prajurit yang tergabung dalam kesatuan ini dilatih dengan amat keras sehingga memiliki tingkat kedisiplinan dan kemampuan militer yang sangat bisa diandalkan. Salah satu tujuan dibentuknya Banteng Raiders adalah untuk membasmi aksi-aksi separatisme.

Cikal-bakal pasukan Banteng Raiders sudah diujicobakan sebelum resmi dibentuk, yakni menghadapi aksi perlawanan Angkatan Oemat Islam (AOI) di Kebumen, Jawa Tengah, pada 1950. AOI berafiliasi kepada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berambisi mendirikan negara Islam di Indonesia (Andito, Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia , 1999:190).

Setelah AOI dapat dipadamkan, giliran DI/TII pimpinan Maridjan Kartosoewirdjo yang disasar oleh Ahmad Yani dan Banteng Raiders. Setidaknya ada dua aksi militer penting yang dilancarkan Banteng Raiders, yakni pada Mei 1952 dan Juni 1954 (Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, 1995). Pasukan khusus ini menangkap orang-orang DI/TII di Jawa Tengah yang bermaksud kabur ke Jawa Barat.

DI/TII pun akhirnya bisa dibasmi. Namun, ancaman separatisme belum berakhir. Ahmad Yani kembali mengerahkan Banteng Raiders untuk memadamkan aksi-aksi berbau separatis lainnya, termasuk PRRI/Permesta. Banteng Raiders juga turut ambil bagian dalam operasi pembebasan Irian Barat.

Akhir Riwayat Sang Jenderal

Ahmad Yani adalah salah satu perwira TNI-AD kepercayaan Presiden Sukarno. Memburuknya hubungan presiden dengan A.H. Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) karena peristiwa yang kerap disebut sebagai upaya kudeta pertama di Indonesia pada 17 Oktober 1952 berdampak mulus bagi karier Ahmad Yani.

Pada 23 Juni 1962, Ahmad Yani ditunjuk sebagai KASAD atau Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Nasution. Posisi Nasution sendiri dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan yang secara struktural lebih tinggi namun kurang strategis.

Angkatan Darat di bawah Nasution memiliki loyalitas terbatas kepada Sukarno (Taufik Abdullah, dkk., Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan Bermula , 2012:18). Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden yang saat itu gencar mengkampanyekan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), termasuk merangkul PKI sebagai salah satu pilarnya selain militer dan kelompok Islam.

Sukarno menilai Ahmad Yani lebih lunak ketimbang Nasution dalam rangka mewujudkan konsep Nasakom itu. Namun, anggapan presiden ternyata tidak sepenuhnya tepat. Dalam isu-isu strategis yang dilontarkan PKI, seperti wacana Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Bersenjata, Ahmad Yani secara tegas menentangnya (Taufik Abdullah, 2012:18).

Sikap yang tidak selalu sepakat ini membuat Ahmad Yani menjadi target utama Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang melibatkan beberapa petinggi PKI, di antaranya D.N. Aidit, serta melibatkan faksi militer terutama Angkatan Darat. Inilah tragedi berdarah yang mengguncangkan negeri sekaligus memungkasi sepak-terjang sang jenderal untuk selama-lamanya.

30 September 1965 itu, Brigjen Basuki Rahmat menemui Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani. Panglima Kodam VII/Brawijaya tersebut melaporkan situasi terkini di Jawa Timur terkait pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta organ-organ pendukungnya.

Kepada Ahmad Yani, Basuki Rahmat yang baru saja tiba di Jakarta dari Surabaya menyebut bahwa pergerakan PKI di Jawa Timur semakin berbahaya dengan maraknya aksi unjuk rasa yang tak jarang berujung ricuh ( Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional , 1983:284).

Ahmad Yani menyimak laporan itu dengan serius. Esoknya ia berencana membawa Basuki Rahmat menghadap Presiden Sukarno. “Memang keadaannya semakin meruncing. Kita menghadap bersama-sama besok. Secepatnya ini perlu dilaporkan,” tegasnya.

Namun, Ahmad Yani ternyata tidak pernah sempat lagi menemui Bung Karno. Malam itu menjadi malam terakhir baginya. Dini hari 1 Oktober 19165, perwira tinggi militer kepercayaan presiden ini tewas tertembus peluru di kediamannya.

Tubuh sang panglima yang bersimbah darah dengan balutan piyama kemudian diseret dan diangkut dengan truk untuk dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jasad Ahmad Yani, bersama mayat 6 orang perwira TNI lainnya, ditemukan 2 hari berselang.

Penghalang Ambisi Belanda

Ahmad Yani pernah mendapat julukan juru selamat dari rakyat Magelang, Jawa Tengah. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Ahmad Yani bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk turut menghadang Belanda yang ingin berkuasa kembali.

Ditugaskan di Magelang yang berbatasan langsung dengan wilayah Yogyakarta, Ahmad Yani membentuk batalion dalam pertempuran melawan pasukan Inggris (Sekutu). Setelah melalui beberapa pertempuran sengit, tentara Inggris diam-diam meninggalkan Magelang pada 21 November 1945 karena kewalahan menghadapi gempuran pasukan Ahmad Yani.

Dikisahkan istri Ahmad Yani, Yayu Rulia Sutowiryo (1981:76), dalam buku Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan, proses mundurnya pasukan Inggris dari Magelang ternyata berlangsung sangat sulit lantaran dihadang TKR dan laskar-laskar pemuda di sepanjang jalan. Pihak Inggris sendiri mengakui hal tersebut, mereka menyatakan hanya satu kompi saja yang bisa meloloskan diri.

Kegemilangan Ahmad Yani di Magelang tidak terjadi hanya sekali itu saja. Beberapa bulan berselang, tepatnya pada 23 Juli 1947, Resimen 19 dari batalion yang dipimpin Ahmad Yani juga berhasil memukul mundur pasukan Belanda kembali ke Ambarawa (Moh Oemar, dkk., Sejarah Daerah Jawa Tengah, 1994:217).

Dua tahun kemudian, ketika Belanda tengah menggencarkan agresi militer-nya yang kedua, Ahmad Yani kembali unjuk gigi. Jelang Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, ia memainkan andil yang sangat penting untuk menunjang kesuksesan pertempuran besar yang menjadi bukti bahwa Republik Indonesia masih berdiri itu.

19 Februari 1949, pasukan Ahmad Yani menghadang tentara Belanda yang sedang menuju ke Yogyakarta, ibukota RI saat itu. Ahmad Yani yang saat itu berpangkat mayor memimpin Brigade IX dengan wilayah operasinya mencakup Kedu bagian utara hingga Semarang barat (Sekolah Staf dan Komando AD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya, 1990:55).

Penghadangan yang bertujuan menghalangi perjalanan pasukan Belanda ke Yogyakarta berlangsung selama beberapa hari. Tentara republik di bawah komando Ahmad Yani berhasil menghancurkan pos-pos Belanda di jalur yang menghubungkan Jawa Tengah dengan Yogyakarta.

Aksi ini menjadi pembuktian bahwa Ahmad Yani tidak hanya piawai memimpin penyerangan. Ia ulung pula dalam menerapkan taktik bertahan dengan menjadikan wilayah utara Magelang sebagai garis pertahanan yang sangat tangguh sehingga Belanda terpaksa menyerah dan akhirnya mundur (Yayu Rulia Sutowiryo, 1981:76).

Ahmad Yani memang bukan aktor utama yang mengambil peran sentral dalam adegan inti, ia tidak bertempur di Yogyakarta sebagai pusat Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, aksi Ahmad Yani dari pinggiran justru menjadi kunci keberhasilan serangan massal, serentak namun singkat yang akhirnya membuka mata dunia bahwa RI ternyata masih ada.

Pembasmi Pengkhianat NKRI

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sejak awal 1950, problem internal bermunculan secara bergantian. Ahmad Yani pun berkali-kali berada di garda paling depan untuk menghadapi perlawanan-perawanan dari berbagai daerah terhadap pemerintahan di Jakarta.

Tahun 1952, Ahmad Yani turut meresmikan dibentuknya pasukan khusus bernama Banteng Raiders. Para prajurit yang tergabung dalam kesatuan ini dilatih dengan amat keras sehingga memiliki tingkat kedisiplinan dan kemampuan militer yang sangat bisa diandalkan. Salah satu tujuan dibentuknya Banteng Raiders adalah untuk membasmi aksi-aksi separatisme.

Cikal-bakal pasukan Banteng Raiders sudah diujicobakan sebelum resmi dibentuk, yakni menghadapi aksi perlawanan Angkatan Oemat Islam (AOI) di Kebumen, Jawa Tengah, pada 1950. AOI berafiliasi kepada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berambisi mendirikan negara Islam di Indonesia (Andito, Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia , 1999:190).

Setelah AOI dapat dipadamkan, giliran DI/TII pimpinan Maridjan Kartosoewirdjo yang disasar oleh Ahmad Yani dan Banteng Raiders. Setidaknya ada dua aksi militer penting yang dilancarkan Banteng Raiders, yakni pada Mei 1952 dan Juni 1954 (Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, 1995). Pasukan khusus ini menangkap orang-orang DI/TII di Jawa Tengah yang bermaksud kabur ke Jawa Barat.

DI/TII pun akhirnya bisa dibasmi. Namun, ancaman separatisme belum berakhir. Ahmad Yani kembali mengerahkan Banteng Raiders untuk memadamkan aksi-aksi berbau separatis lainnya, termasuk PRRI/Permesta. Banteng Raiders juga turut ambil bagian dalam operasi pembebasan Irian Barat.

Akhir Riwayat Sang Jenderal

Ahmad Yani adalah salah satu perwira TNI-AD kepercayaan Presiden Sukarno. Memburuknya hubungan presiden dengan A.H. Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) karena peristiwa yang kerap disebut sebagai upaya kudeta pertama di Indonesia pada 17 Oktober 1952 berdampak mulus bagi karier Ahmad Yani.

Pada 23 Juni 1962, Ahmad Yani ditunjuk sebagai KASAD atau Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Nasution. Posisi Nasution sendiri dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan yang secara struktural lebih tinggi namun kurang strategis.

Angkatan Darat di bawah Nasution memiliki loyalitas terbatas kepada Sukarno (Taufik Abdullah, dkk., Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan Bermula , 2012:18). Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden yang saat itu gencar mengkampanyekan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), termasuk merangkul PKI sebagai salah satu pilarnya selain militer dan kelompok Islam.

Sukarno menilai Ahmad Yani lebih lunak ketimbang Nasution dalam rangka mewujudkan konsep Nasakom itu. Namun, anggapan presiden ternyata tidak sepenuhnya tepat. Dalam isu-isu strategis yang dilontarkan PKI, seperti wacana Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Bersenjata, Ahmad Yani secara tegas menentangnya (Taufik Abdullah, 2012:18).

Sikap yang tidak selalu sepakat ini membuat Ahmad Yani menjadi target utama Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang melibatkan beberapa petinggi PKI, di antaranya D.N. Aidit, serta melibatkan faksi militer terutama Angkatan Darat. Inilah tragedi berdarah yang mengguncangkan negeri sekaligus memungkasi sepak-terjang sang jenderal untuk selama-lamanya.

Pada 1943, Jenderal Ahmad Yani bergabung dengan tentara Peta yang disponsori Jepang, dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang sebagai perwira artileri. Setelah menyelesaikan pelatihan ini, Yani mendaftar untuk dilatih sebagai komandan pleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihannya. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.

Setelah Kemerdekaan, Yani bergabung dengan pasukan republik yang masih muda dan berperang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan, Yani membentuk satu batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan membawanya ke kemenangan melawan Inggris di Magelang.

Yani kemudian melanjutkan ini dengan berhasil mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika mencoba mengambil alih kota, membuatnya mendapat julukan “Juru Selamat Magelang”. Sorotan penting lain dari karier Yani selama periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang ia luncurkan pada awal 1949 untuk mengalihkan perhatian Belanda, sementara Letnan Kolonel Suharto bersiap untuk Serangan Umum 1 Maret yang akan diarahkan ke Yogyakarta dan pinggiran kota.

Setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali ke dalam aksi untuk melawan Darul Islam, sekelompok pemberontak yang berusaha mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk kelompok pasukan khusus yang disebut Raider Banteng (sekarang Batalyon Infantri Raider ke-400, Kodam IV / Diponegoro). Keputusan untuk memanggil Yani membayar dividen dan selama 3 tahun berikutnya, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah mengalami kekalahan satu demi satu.

Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Sekolah Staf Komando dan Umum, Fort Leavenworth, Kansas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf untuk Jenderal Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk Organisasi dan Personel.

Pada Agustus 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus melawan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatra Barat. Pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini membuatnya dipromosikan menjadi wakil kepala staf Angkatan Darat ke-2 pada tanggal 1 September 1962, dan kemudian kepala staf Angkatan Darat pada 13 November 1963 (secara otomatis menjadi anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution, yang diangkat menjadi Menteri Pertahanan.

Ketika Presiden Sukarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) pada awal 60-an, Yani, yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah partai menyatakan dukungannya untuk pembentukan kekuatan kelima (di selain tiga dinas bersenjata dan polisi) dan Sukarno mencoba untuk memaksakan doktrin Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) pada militer. Baik Yani dan Nasution ditunda ketika diperintahkan oleh Sukarno pada tanggal 31 Mei 1965 untuk mempersiapkan rencana mempersenjatai rakyat.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September berusaha untuk menculik tujuh anggota staf umum Angkatan Darat. Satu regu yang terdiri dari sekitar 200 orang mengepung rumah Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Menteng, Jakarta. Biasanya Yani memiliki sebelas tentara yang menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu sebelum enam pria tambahan ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini berasal dari komando Kolonel Latief, yang tidak dikenal Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam Gerakan 30 September.

Menurut istri Yani, pria tambahan itu tidak muncul untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya tertidur di rumahnya sementara istrinya keluar merayakan ulang tahunnya dengan menginap bersama sekelompok teman dan kerabat. Dia kemudian menceritakan bahwa ketika dia pergi dari rumah sekitar jam 11 malam, dia melihat seseorang duduk di bayang-bayang di seberang jalan seolah-olah menjaga rumah di bawah pengawasan.

Dia tidak memikirkan hal itu pada saat itu, tetapi setelah mengikuti acara pagi itu dia bertanya-tanya dengan cara yang berbeda. Juga, dari sekitar jam 9 malam pada 30 September malam sejumlah panggilan telepon dilakukan ke rumah pada interval, yang ketika dijawab akan disambut dengan diam atau suara akan bertanya jam berapa sekarang. Panggilan berlanjut sampai sekitar jam 1 pagi dan Ny. Yani mengatakan dia memiliki firasat bahwa ada sesuatu yang salah malam itu.

Yani menghabiskan malam itu dengan penelepon resmi; pada jam 7 malam dia menerima seorang kolonel dari Komando Operasi Tertinggi. Jenderal Basuki Rahmat, komandan divisi di Jawa Timur, kemudian tiba dari markas besarnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk melaporkan kepada Yani tentang kekhawatirannya tentang peningkatan aktivitas komunis di Jawa Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan paginya dengan Presiden untuk menyampaikan akunnya.

Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan dibawa ke hadapan presiden, dia meminta waktu untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Ketika ini ditolak, dia menjadi marah, menampar salah satu tentara penculik, dan mencoba menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan, membunuh jenderal itu. Mayatnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan, bersama-sama dengan para jenderal yang terbunuh lainnya, disembunyikan di sumur yang tidak digunakan.

Jenazah Yani, dan orang-orang dari korban lainnya, disingkirkan pada 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Makam Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya secara resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi melalui Keputusan Presiden No. 111 / KOTI / 1965 dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari letnan jenderal menjadi jenderal bintang 4 (Bahasa Indonesia: Jenderal Anumerta).