Bagaimana sejarah berdirinya Republik Rakyat China?

Republik Rakyat China

Bagaimana sejarah berdirinya Republik Rakyat China?

Kehidupan politik di China merupakan produk dari masa revolusi yang panjang yang berlangsung paling tidak dari tahun 1911 sampai tahun 1949 dan meliputi tiga perombakan sistem politik secara kekerasan (James R. Townsend, 1997: 173). Revolusi pertama terjadi pada tahun 1911, menggantikan sistem kekaisaran yang telah berlangsung selama ribuan tahun dengan sistem pemerintahan republik. Revolusi kedua terjadi pada tahun 1928, ketika Kuomintang (KMT) berhasil membentuk dan menguasai pemerintahan baru menggantikan pemerintahan “panglima perang” (warlord) yang terpecah-pecah dalam masa permulaan pemerintahan Republik China dengan sistem dominasi satu partai yang terorganisir dan terpusat. Revolusi ketiga terjadi pada tahun 1949 dengan berdirinya Republik Rakyat China di bawah kekuasaan Partai Komunis China.

Revolusi 1911


Ketidakpuasan bangsa China terhadap pemerintahan Dinasti Qing terus memuncak sejak kekalahan China dalam perang candu tahun 1842. Sejak itu banyak wilayah China yang menjadi wilayah pengaruh kekuasaan asing baik bangsa Eropa, Amerika maupun Jepang. Keadaan ini seolah-olah menimbulkan sistem negara dalam negara karena pengaruh asing yang ada di wilayah-wilayah China masing-masing memiliki hak konsesi dan hak ekstrateritorial. Secara politik dan ekonomi kehidupan bangsa China menjadi semakin terpinggirkan akibat ketidakmampuan pemerintah Manchu mengatasi masalah-masalah yang ada di China. Akibatnya banyak bermunculan berbagai macam gerakan yang pada intinya ingin menumbangkan kekuasaan Manchu dan menggantikannya dengan kekuasaan dari bangsa China sendiri.

Di antara berbagai gerakan yang bermunculan di China, salah satu pimpinan yang terkemuka adalah Sun Yat Sen. Beliau merupakan tokoh nasionalis China yang dilahirkan di desa Xiangshanxian di Propinsi Guangdong pada tanggal 12 November 1866. Sun Yat Sen mendirikan organisasi Dongmenghui yang bertujuan untuk menggusir bangsa Manchu, merebut kembali China bagi bangsa Tionghoa, dan mendirikan suatu negara yang berbentuk republik. Sistem kekaisaran di China berakhir setelah Sun Yat Sen mengobarkan revolusi pada tahun 1911 dan selanjutnya bercita-cita ingin menyatukan seluruh China dalam satu pemerintahan yang didasarkan pada San Min Chu I (Tiga Sendi Kedaulatan Rakyat), yaitu nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi.

Revolusi nasional di bawah pengaruh Sun Yat Sen meletus di Wuchang pada tanggal 11 Oktober 1911. Pada tanggal 12 Februari 1912 Kaisar Xuantong turun tahta setelah terjadinya Revolusi Xinhai. Sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 12 Maret 1912 berdirilah 15 Republik China (ROC). Namun demikian kedudukan Sun Yat Sen sebagai presiden segera digantikan oleh Yuan Shih Kai, seorang warlord (panglima perang) yang sangat berpengaruh. Yuan segera mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, sementara Sun Yat Sen mengundurkan diri ke Kanton dan mendirikan Partai Kuomintang (Nasionalis).

Yuan Shih Kai berkuasa antara tahun 1911-1916. Pada tahun 1915 ketika bertemu dengan golongan oposisi yang mengambil bagian dalam Revolusi Republik, Yuan merasa bahwa ideologi republik lebih bertahan lama daripada ambisi pribadi. Ia meninggalkan republik dan mengumumkan restorasi Kekaisaran China dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sang Kaisar. Akibatnya sebagian besar propinsi di China Selatan melepaskan diri dari kekuasaan Pemerintah Beijing.

Setelah Yuan Shih Kai mengumumkan dirinya sebagai kaisar baru China terjadi revolusi terbuka yang dilancarkan di propinsi-propinsi China. Propinsi Yunnan menjadi propoinsi pertama yang melancarkan revolusi dan diikuti oleh propinsi-propinsi lainnya. Pada tahun 1916 Yuan Shih Kai wafat, dan meninggalkan kekacauan terutama di wilayah China Utara karena Yuan belum menunjuk seseorang untuk menggantikan dirinya. Akibatnya terjadi perpecahan di antara para panglima Tentara China Utara. Masing-masing memikirkan kepentingan pribadi dan membentuk kelompok-kelompok sendiri.

Beberapa kelompok yang penting adalah kelompok Feng Tian di bawah pimpinan Zhang Zo Lin di Manchuria, Kelompok Zhi Li di Tian Jin di bawah pimpinan Zhao Kun dan di Propinsi Hunan di bawah pimpinan Wu Pei Hu, dan kelompok An Fu di bawah pimpinan Qi Rui. Periode warlordisme bisa dibagi dalam dua bagian, yaitu jaman sebelum tahun 1920 dan sesudah tahun 1920.

Pada masa sebelum tahun 1920 golongan panglima perang berada dalam kedudukan yang kuat di samping kedudukan kerajaan pusat yang lemah. Kelompok-kelompok panglima perang sebenarnya mempunyai banyak persamaan, namun aspirasi dan sikap mereka yang berbeda membuat kelompok-kelompok ini sulit bersatu. Revolusi 1928 Yuan Shih Kai meninggal dunia dengan mewariskan kesimpangsiuran perundang-undangan dan angkatan bersenjata Tentara China Utara tanpa seorang panglima yang diakui sebagai pemimpinnya. Akibatnya era 1916- 1928 di China dikenal sebagai periode warlordisme atau periode para jenderal perang.

Selama masa ini para warlord saling berperang untuk mendapatkan pengaruh kekuasaan. Sementara itu di wilayah China Selatan Sun Yat Sen masih memiliki pengaruh yang besar. Ia diangkat sebagai kepala pergerakan republik dan menjabat sebagai presiden sampai tahun 1925 ketika beliau wafat. Selanjutnya Sun Yat Sen digantikan oleh Jenderal Chiang Kai Shek. Selama masa pemerintahannya ini, pada tahun 1928 Chiang Kai Shek berhasil menaklukkan para warlord dan selanjutnya menyatukan China di bawah pemerintahan Kuomintang melalui Ekspedisi Utara pada tahun 1926- 1928.

Dalam upaya menaklukan para warlord pasukan Kuomintang bekerja sama dengan Partai Komunis China. Rencana operasi militer Ekspedisi Utara disusun oleh seorang penasehat militer Uni Soviet Jenderal Vaseli Blucher. Ekspedisi ini bertujuan untuk merebut dua kota besar yaitu Nanking dan Shanghai. Di samping kekuatan militer, Jenderal Blucher juga menggunakan para kader komunis. Mereka memulai gerakannya dengan memengaruhi serta menggalang kaum buruh dan tani setempat untuk menjadi pendukungnya.

Dalam waktu singkat berbagai kota besar di tepi Sungai Yan Tze berhasil direbut. Jenderal Blucher menduduki Han Gou dan Wu Han, diikuti golongan sayap kiri Kuomintang. Bahkan pada 1 Januari 1927 ibu kota nasionalis dipindah dari Kanton ke Wu Han. Chiang Kai Shek juga berhasil merebut berbagai kota besar di sebelah timur, diantaranya Nanking, yang selanjutnya dijadikan markas besarnya. Sejak itu Nasionalis China seolah-olah mempunyai dua ibu kota yaitu Wu Han, yang didominasi sayap kiri, dan Nanking yang didominasi sayap kanan (Sukisman, 1992: 172). Pada tanggal 10 Oktober 1928 Chiang Kai Shek diangkat menjadi Presiden Republik China di Nanking. Selanjutnya Chiang mengorganisasikan angkatan perang yang disebut Tentara Revolusi Nasional.

Perang China – Jepang


Perang China Jepang II terjadi pada tahun 1937, merupakan perang besar antara China dan Jepang sebelum pecahnya Perang Dunia II. Sejak tahun 1932 wilayah Manchuria diduduki oleh tentara Kekaisaran Jepang. Pada tahun 1936 Letnan Jenderal Hideki Tojo mendesak pemerintah Jepang untuk menguasai China dengan kekerasan senjata.

Diawali dengan insiden di sekitar jembatan Marcopolo yang terletak di utara kota Beijing merambat menjadi serangan Jepang terhadap kubu-kubu pertahanan tentara China. Dilanjutkan dengan peristiwa penculikan Chiang Kai Shek di Xi An, sehingga memunculkan persatuan pemerintah Nasionalis dengan PKC dalam Front Persatuan Nasional untuk menghadapi agresi militer Jepang. Pada Agustus 1937 Jepang memperluas peperangan dengan menciptakan bentrokan bersenjata di Shang Hai yang dijadikan sebagai alasan untuk mengerahkan angkatan lautnya untuk menyelamatkan kepentingan Jepang di Shang Hai.

Dalam waktu 3 minggu Shang Hai berhasil diduduki dan menyebut sengketanya dengan China dengan sebutan “Peristiwa China”. Pada 13 Desember 1937, Nanking, ibukota China jatuh ke tangan tentara Jepang, menandai kekalahan kekalahan yang pahit bagi China. Selama delapan tahun Jepang menduduki Nanking dan membentuk sebuah pemerintah boneka yang terdiri dari kolaborator-kolaborator China, antara lain Wang Qing Wei yang kemudian diangkat sebagai Presiden Republik China tandingan dengan Nanking sebagai ibu kotanya.

Negara boneka Manchuria masih dipertahankan dengan bekas Kaisar China, Puyi, sebagai presidennya. Manchuria merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan kedaulatan terhadap Republik China di bawah pimpinan Wang Qing Wei. Untuk menghadapi Jepang, PKC dan KMT berkolaborasi membentuk front persatuan. Namun dalam front tersebut Mao menolak berada di bawah pengaruh KMT dan menentang instruksi dari Komintern.

Selama aliansai pada tahun 1937 sampai 1945 Mao tetap mengontrol Tentara Merah dan daerah-daerah yang sudah dibebaskan. Penduduk yang di bawah komando Tentara Merah meningkat dari 2 juta menjadi 95 juta, begitu juga dengan pasukan merah jumlahnya meningkat dari 30.000 menjadi hampir satu juta jiwa. Saat awal aliansi dengan KMT, PKC memanfaatkan kesempatan untuk beroperasi di kota-kota dan banyak aktivis PKC yang mendekam dalam penjara dibebaskan.

Revolusi 1949


Setelah perang China – Jepang berakhir pada tahun 1945 dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, pertikaian antara PKC dengan Kuomintang kembali memanas. Setelah kekalahan Jepang, pemerintah Republik China segera menginstruksikan kepada segenap jajarannya untuk mengambil alih kedudukan tentara Jepang di seluruh pelosok wilayah China.

Sementara Zhu Te, Panglima Angkatan Bersenjata PKC mengeluarkan perintah agar sebagian Tentara Merah memasuki Manchuria dan menuntut pada pemerintah China supaya perlucutan senjata terhadap bekas tentara pendudukan tentara Jepang di daerah yang dikuasai Partai komunis supaya dilakukan unsur Partai Komunis. Ketika itu Tentara Merah menguasai daerah pedusunan yang amat luas sehingga menimbulkan kekhawatiran pihak Pemerintah China. Oleh karena itu Pemerintah China meminta bantuan AS untuk membantu menyelesaikan masalahnya di China.

Presiden Truman berusaha menghindarkan perang saudara di China dengan mengutus Jenderal George Marshall untuk bertindak sebagai perantara bagi sengketa antara Pemerintah Nasionalis dengan Partai Komunis China. Salah satu yang direncanakan adalah pelaksanaan peleburan tentara kedua belah pihak menjadi satu Tentara Nasional. Namun sepeninggal Marshall pertempuaran antara Pemerintah Nasionalis dengan PKC kembali terjadi dengan skala yang semakin meluas.

Upaya perdamaian kembali dilakukan oleh Marshall tetapi gagal. Meski awalnya banyak mengalami kekalahan tetapi Tentara Merah semakin dapat memperluas pengaruhnya di daerah pedesaan, melalui politik land reform dari PKC. Tanah-tanah milik tuan tanah diambil dan menghadiahkan tanah-tanah garapan tersebut kepada kaum tani penggarap. Tentara Merah yang menguasai wilayah China Utara segera mengarahkan sasarannya ke sebelah selatan Sungai Yang Tze.

Selanjutnya mereka merebut Nanking, ibu kota pemerintah Nasionalis China. Akibatnya pemerintah Nasionalis China terpaksa harus memindahkan ibu kotanya ke Kanton. Selanjutnya Hangou, Shanghai dan Qingdao secara berturut-turut jatuh ke tangan kaum komunis. Setelah separo wilayah China berada di tangan kaum komunis maka Mao Tse-tung mulai mempersiapkan pembentukan suatu Negara China sebagaimana dicita-citakan oleh Partai Komunis.

Langkah awal adalah dengan membentuk Panitia Persiapan Majelis Permusyawaratan Politik. Panitia ini berhasil memilih 21 orang untuk menjabat sebagai Dewan Harian dengan Mao Tse-Tung sebagai ketua dan Chou Enlai sebagai wakil ketua. Dengan strategi “desa mengepung kota”, PKC berhasil menyingkiran Kuomintang dan pada tanggal 1 Oktober 1949 memproklamasikan berdirinya 22 Republik Rakyat China (RRC) yang beribukota di Beijing.

Bendera Nasional RRC berwarna merah melambangkan revolusi dengan empat bintang kecilkecil berwarna kuning di bagian pojok atas yang masing-masing melambangkan klas buruh, klas tani, klas borjuis kecil, klas borjuis nasional, dan sebuah bintang besar berwarna kuning yang dilingkari empat bintang kecil tersebut di atas, yang melambangkan kepemimpinan Partai Komunis. Pemimpin tertinggi tentara RRC berada di tangan Zhu De, sedangkan jabatan Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dipegang oleh Chou Enlai.

Pada tanggal 14 Oktober Kanton berhasil dikuasai Tentara Merah, sehingga pemerintah nasionalis terpaksa pindah ke Chongqing. Namun pada tanggal 28 November 1949 Chongqing juga jatuh ke tangan Tentara Merah. Selanjutnya Propinsi Yunnan dan Hainan berhasil dikuasai komunis, sehingga pemerintah nasionalis tidak memiliki wilatah lagi di China daratan. Pemerintahan Chiang Kai Shek melarikan diri ke Taipei yang terletak di Pulau Formosa (Taiwan).

Pada tanggal 1 Maret 1950, Chiang memangku kembali jabatannya sebagai presiden Republik China. Setelah pernyataan berdirinya Republik Rakyat China, Uni Soviet segera memberikan pengakuan kedaulatannya atas RRC dan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan pemerintahan Nasionalis China. Negaranegara satelit Uni Soviet ikut menyatakan pengakuan kedaulatan bagi RRC. India merupakan Negara di luar blok Soviet yang pertama kali memberikan 23 pernyataan kedaulatan atas RRC, tepatnya pada tanggal 30 Desember 1949. Pada tanggal 6 Januari 1950 Inggris menyatakan pengakuan kedaulatan terhadap RRC sehingga Inggris merupakan negara demokratis Barat pertama yang mengadakan hubungan dengan pemerintahan komunis China.

Pada 1 Oktober 1949, pemimpin Komunis Cina, Mao Zedong mendeklarasikan pembentukan Republik Rakyat Cina (RRC).

Pengumuman itu menandai akhir perang saudara berkepanjangan antara Partai Komunis Cina (PKC) dan Partai Nasionalis, atau Kuomintang (KMT) yang pecah setelah Perang Dunia II sejak 1920-an. Pembentukan RRC juga menandai selesainya proses panjang pergolakan pemerintah di Cina yang dimulai oleh Revolusi Cina pada 1911. Jatuhnya Cina ke tangan komunis itu menyebabkan Amerika Serikat (AS) menangguhkan hubungan diplomatik dengan RRC selama beberapa dekade.

History State mencatat, Partai Komunis Cina didirikan pada 1921 di Shanghai. Komunis Cina bergabung dengan Tentara Nasionalis dalam Ekspedisi Utara di antara tahun 1926-1927. Tujuannya, guna menyingkirkan oposisi perang (Jepang) yang menghalangi pemerintahan Cina.

Kolaborasi tersebut berlangsung hingga ‘white terror’ atau pengekangan politik pada 1927, ketika Nasionalis malah mulai garang dengan Komunis. Mereka membunuh dan membersihkan Komunis dari partai.

Selama Perang Dunia II, dukungan dunia untuk Komunis meningkat. Para pejabat AS di Cina melaporkan penindasan kediktatoran terhadap perbedaan pendapat di daerah-daerah yang dikuasai Nasionalis.

Kebijakan-kebijakan Nasionalis yang tidak demokratis itu dikombinasikan dengan korupsi masa perang yang membuat Pemerintah Republik Cina disasar rentan terhadap ancaman Komunis.

PKC, pada bagiannya, mengalami keberhasilan dalam upaya awal dalam reformasi tanah dan dipuji oleh petani karena usahanya yang tak kunjung padam untuk melawan penjajah Jepang.

Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Tiongkok antara Partai Komunis Tiongkok dan Partai Nasionalis Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai Tiongkok Daratan dan Kuomintang mengundurkan diri ke pulau Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan Republik Rakyat Tiongkok dan mendirikan sebuah negara komunis, namun tidak mencoba untuk menguasai pulau Taiwan.

Para pendukung kebijakan Maoisme mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan kedaulatan Tiongkok dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, dan terdapat perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan, yang mereka percayai telah membantu meningkatkan standar hidup rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Tiongkok dan menjernihkan kebudayaan mereka. Pihak pendukung juga ragu terhadap statistik dan kesaksian yang diberikan mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan lainnya yang disebabkan kampanye Mao. Mereka mengatakan bahwa kelaparan ini disebabkan musibah alam; ada juga yang meragukan jumlah kematian akibat kelaparan tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena kelaparan atau sebab politis lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek (1928-1949).

Meskipun begitu, para kritikus kebijakan Mao mengatakan bahwa pemerintahan Mao membebankan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat, dan yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan berperan atau mengakibatkan hilangnya jutaan jiwa, mendatangkan biaya ekonomi yang besar, dan merusak warisan budaya Tiongkok. Lompatan Jauh ke Depan, pada khususnya, mendahului periode kelaparan yang besar di Tiongkok yang, menurut sumber-sumber Barat dan Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 45 juta orang dalam waktu 4 tahun

Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis pada awal 1960-an, Mao mundur dari jabatannya sebagai ketua umum Tiongkok. Tak lama sesudah itu Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi ketua partai namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, [Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.

Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang dilihat lawan-lawannya sebagai balasan terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para remaja untuk mendukung pemikirannya dan menyingkirkan kepemimpinan yang lunak pada saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang sebagai sebuah percobaan demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Tiongkok. Kekacauan pun timbul namun hal ini segera berkurang di bawah kepemimpinan Zhou Enlai di mana para kekuatan moderat kembali memperoleh pengaruhnya. Setelah kematian Mao, Deng Xiaoping berhasil memperoleh kekuasaan dan janda Mao, Jiang Qing beserta rekan-rekannya, Kelompok Empat, yang telah mengambil alih kekuasaan negara, ditangkap dan dibawa ke pengadilan.

Sejak saat itu, pihak pemerintah telah secara bertahap (dan telah banyak) melunakkan kontrol pemerintah terhadap kehidupan sehari-hari rakyatnya, dan telah memulai perpindahan ekonomi Tiongkok menuju sistem berbasiskan pasar.

Para pendukung reformasi keuangan – biasanya rakyat kelas menengah dan pemerhati Barat berhaluan kiri-tengah dan kanan – menunjukkan bukti terjadinya perkembangan pesat pada ekonomi di sektor konsumen dan ekspor, terciptanya kelas menengah(khususnya di kota pesisir di mana sebagian besar perkembangan industri dipusatkan) yang kini merupakan 15% dari populasi, standar hidup yang kian tinggi (diperlihatkan melalui peningkatan pesat pada GDP per kapita, belanja konsumen, perkiraan umur, persentase baca-tulis, dan jumlah produksi beras) dan hak dan kebebasan pribadi yang lebih luas untuk masyarakat biasa.

Para pengkritik reformasi ekonomi menunjukkan bukti bahwa proses reformasi telah menciptakan kesenjangan kekayaan, polusi lingkungan, korupsi yang menjadi-jadi, pengangguran yang meningkat akibat PHK di perusahaan negara yang tidak efisien, serta telah memperkenalkan pengaruh budaya yang kurang diterima. Akibatnya mereka percaya bahwa budaya Tiongkok telah dikorupsi, rakyat miskin semakin miskin dan terpisah, dan stabilitas sosial negara semakin terancam.

Meskipun ada kelonggaran terhadap kapitalisme, Partai Komunis Tiongkok tetap berkuasa dan telah mempertahankan kebijakan yang mengekang terhadap kumpulan-kumpulan yang dianggap berbahaya, seperti Falun Gong dan gerakan separatis di Tibet. Pendukung kebijakan ini menyatakan bahwa kebijakan ini menjaga stabilitas dalam sebuah masyarakat yang terpecah oleh perbedaan kelas dan permusuhan, yang tidak mempunyai sejarah partisipasi publik, dan hukum yang terbatas. Para pengkritik mengatakan bahwa kebijakan ini melanggar hak asasi manusia yang dikenal komunitas internasional, dan mereka juga mengklaim hal tersebut mengakibatkan terciptanya sebuah negara polisi, yang menimbulkan rasa takut.

Tiongkok mengadopsi pada 4 Desember yang digunakan hingga kini.