Bagaimana saya dapat melakukan amalan-amalan dengan niat tulus dan ikhlas?

Ikhlas adalah seseorang yang melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”

Bagaimana saya dapat melakukan amalan-amalan dengan niat tulus dan ikhlas?

Ikhlas artinya motif utama dalam mengerjakan pelbagai perbuatan penghambaan, kelayakan dan keridhaan zat Allah Swt, bukan kelayakan dan keridhaan selain-Nya.

Karena itu, pertama-tama faktor penghalang ikhlas yaitu riya, ketergantungan pada dunia dan was-was setan harus segara dilenyapkan; kemudian melalui jalan penguatan iman dan pengenalan terhadap Allah Swt, berpikir tentang nilai-nilai ikhlas dan kerugian apabila sebuah perbuatan tidak disertai dengan ikhlas, menyamakan segala sesuatu baik nampak atau tersembunyi pada penghambaan pada seluruh dimensi, merasa kerdil dalam penghambaan dan bermunajat kepada Allah Swt akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk memperoleh sebuah tingkatan dari beragam tingkatan ikhlas.

Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sebagai penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas dan sekaligus sebagai quality control bagi keikhlasan itu sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Tawakal

Tawakal dari bahasa arab tawakkul dari kata wakala, artinya menyerah kepada-Nya. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Tawakal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini, keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah, hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Tawakal tidak didapati kecuali sesudah mengimani empat hal yang merupakan rukun-rukun tawakal, yaitu:

  • Beriman bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang dibutuhkan oleh si muwakil;
  • Beriman bahwa Allah Maha Kuasa dalam memenuhi kebutuhan muwakil;
  • Beriman bahwa Allah tidak kikir;
  • Beriman bahwa Allah memiliki cinta dan rahmat kepada muwakil.

Sebagai tanda tawakal kita kepada Allah, kita yakin bahwa segala sesuatu yang datang pada diri kita, adalah yang terbaik bagi kita, tiada keraguan sedikit pun di dalam hati, apabila mempunyai perasaan untuk menghindarinya, segala sesuatu yang menimpa kita, meskipun hal itu terasa pahit dan pedih bagi kita, kalau hal itu datang dari-Nya, tentulah hal itu yang terbaik bagi kita, inilah bentuk tawakal sesungguhnya.

Barang siapa bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga-duga. Allah Maha Kuasa untuk mengirimkan bantuan kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai cara, termasuk cara yang bagi manusia tidak masuk akal Allah adalah satu-satunya tempat mengadu saat kita susah. Allah senantiasa mendengar pengaduan hamba-hamba-Nya. Dalam banyak hal, peristiwa-peristiwa di alam ini masih dalam koridor sunnatulah, artinya masih dapat diurai sebab musababnya, hal ini mengajarkan kepada kita agar kita kreatif dan inovatif dalam kehidupan ini.

2. Sabar

Sabar merupakan bentuk pengendalian diri atau kemampuan menghadapi rintangan, kesulitan menerima musibah dengan ikhlas dan dapat menahan marah, titik berat nurani (hati). Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba, dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.

Sabar adalah sikap menahan diri dan membawanya kepada yang diperintahkan oleh Allah dan akal serta menghindarkannya dari apa yang dibenci keduanya. Jadi, sabar ialah suatu kekuatan, daya positif yang memotivasi jiwa, hati, akal, memotorik indra dan fisik untuk menunaikan kewajiban dan suatu kekuatan (daya) preventif yang dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kejahatan dan kerusakan.

Sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi menggapai keridaan Tuhannya dan menggantinya dengan bersungguh-sungguh menjalani cobaan-cobaan Allah swt terhadapnya. Sabar dapat didefinisikan pula dengan tahan menderita dan menerima cobaan dengan hati rida serta menyerahkan diri kepada Allah swt setelah berusaha. Selain itu, sabar bukan hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal ketaatan kepada Allah swt yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sabar terbagi tiga macam, yaitu sebagai berikut.

  1. Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, untuk itu, sangat dibutuhkan kesabaran dan kekuatan dalam menahan hawa nafsu,

  2. Sabar karena taat kepada Allah swt artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi segala larangan-Nya dengan senantiasa meningkatan ketakwaan kepada-Nya, dan

  3. Sabar karena musibah, artinya sabar cobaan dari Allah swt.

3. Syukur

Kata Syukur diambil dari kata syakara, syukuran, yang berarti berterima kasih kepada-Nya. Menurut Kamus Arab-Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya. Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya. Sedangkan menurut istilah adalah tidak mendurhakai Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan. Bersyukur tidak ada hubungannya dengan nasib yang digariskan kepadanya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersyukur dan berterima kasih kepada Allah swt, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan, berterima kasih kepada Allah swt tanpa batas dengan sungguh-sungguh atas segala nikmat dan karunianya dengan ikhlas serta mentaati apa yang diperintahkannya
Dalam kitab Ihya 'Ulumudin Imam Ghazali menguraikan bahwa syukur itu tersusun dalam tiga hal yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan.

  • Ilmunya adalah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari zat yang Maha Pemberi kenikmatan.

  • Keadaannya ialah menyatakan kegembiraan yang timbulnya sebab memperoleh kenikmatan tadi,

  • Amalannya ialah menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta dicintai oleh zat yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.

Syukur ada tiga macam yaitu:

  • Syukur dengan hati, yaitu mengerti bahwa segala nikmat itu dari Allah,

  • Syukur dengan lisan adalah dengan cara memperbanyak pujian kepada-Nya dan selalu memperbarui nikmat yang diterimanya. Maksudnya adalah dengan banyak Mengucap hamdallah karena langkah pertama dan utama dalam bersyukur. Lafadz alhamdulllah termasuk yang paling baik diucapkan secara lisan.

    Nabi bersabda, “Ucapan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan (amal kebaikan).

  • Syukur dengan semua anggota, yaitu semua anggota menjalankan amal-amal sholeh. Semua aggota badan mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki tidak digunakan untuk mengerjakan maksiat, akan tetapi hendaklah digunakan untuk menjalankan berbagai amal kebajikan. Dan perkara yang diridhai Allah dan mencegah dari perkara yang dimurkai Allah, serta tidak mengalokasikan nikmat-nikmat tersebut pada tempat yang mengundang kutukan dan azab Allah.

4. Zuhud

Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik daripadanya, karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia karena mengigihkan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud. Pengertian zuhud ini ada tiga macam, yaitu:

  • Meninggalkan sesuatu karena mengigihkan sesuatu yang lebih baik daripadanya,

  • Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan,

  • Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya.

Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaanya. Padahal pembicaraan menurut bahasa ilmu, jauh lebih luas dari pada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.

Yang pasti para ulama sudah bersepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat, kaitan zuhud ini ada enam macam yaitu harta, rupa , kekuasaan, manusia, nafsu, dan hal-hal selain Allah swt, dan seseorang itu tidak layak mendapat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam tersebut. Adapun tingkatan yang lain yaitu:

  1. Orang yang merasa berat untuk bersikap zuhud terhadap dunia, ia berjuang untuk meninggalkannya, pada hal ia sangat mengigihkannya, orang seperti ini disebut mutazahhid (orang yang masih belajar untuk berzuhud), dan ini adalah langkah awal untuk menuju zuhud, semoga saja ia menjadi orang zuhud di kemudian hari,

  2. Orang yang meninggalkan dunia (berzuhud) dengan suka rela karena ia menggangapnya hina, namun ia masih punya hasrat terhadap dunia, ia seperti orang yang meninggalkan satu dirham demi mendapatkan dua dirham, hal seperti ini tidaklah berat baginya, namun ia tetap tidak terbebas dari sikap memperhatikan sesuatu yang ditinggalkannya dan masih memperhatikan kondisi dirinya, sikap ini masuk kategori zuhud, namun masih belum sempurna, dan

  3. Orang yang menganggap dunia tidak ada arti baginya, ia menjadi seperti seorang yang meninggalkan setumpuk kotoran untuk mengambil mutiara namun tidak menganggap hal demikian sebagai bentuk ganti rugi, ia berpandangan bahwa penjauhan diri terhadap dunia yang di hubungkan dengan kenikmatan akhirat atau Allah adalah lebih hina dari pada meninggalkan setumpuk kotoran yang dihubungkan dengan mutiara, jadi disini tidak ada hubungan antara satu sama lain yang didasarkan untuk memperoleh ganti rugi karena meninggalkan dunia.

Ada juga mengenal orang zahid (yang hidup zuhud), tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam menempuh kehidupan zuhud itu, yaitu:

  • Zuhud orang mubtadi (pemulaan) yaitu orang yang permulaan menjalani akan jalan yang menyampaikan kepada makrifah akan Allah itu, yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya;

  • Orang yang pertengahan jalan itu yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi kasih akan dunia itu;

  • Orang yang mubtadi, yakni orang-orang yang arif, yang bagi mereka dunia itu seperti tahi saja tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat.
    Namun itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang meninggalkan daripada hatinya yang lain dari pada Allah, baik duia maupun akhirat.

5. Wara’

Wara’ dalam tradisi sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat), hal ini berlaku pada segala hal atau aktivitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku, seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain. Di samping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi warak juga berarti meninggalkan segala halal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku, lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat atau tidak jelas manfaatnya disebut wara„ dalam dunia sufi. Wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.

Selaras dengan penjelasan tersebut, wara„ dalam kehidupan lebih sulit daripada menjauhi emas dan perak, serta zuhud dari kekuasaan lebih sulit dibandingkan dengan menyerahkan emas dan perak karena manusia siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan. Wara„ adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap yang ada adalah bagian dari ridha. Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut penulis yang dimaksud lebih sulit daripada menjauhi emas dan perak adalah melakukan sebuah pekerjaan yang lebih sulit daripada yang sangat sulit. Dalam konteks kehidupan saat ini, emas dan perak merupakan logam mulia yang sangat berharga dan harganya sangat mahal, sehingga tidak mudah untuk mendapatkannya. Begitu juga dengan warak yang dikatakan lebih sulit merupakan sebuah tindakan yang sangat hati-hati dan cukup sulit untuk dilakukan karena harus meninggalkan atau melakukan sesuatu yang kelihatannya baik atau sebaliknya namun susah dibedakan atau dipisahkan.

Kekayaan, gelar, jabatan, atau status sosial lainnnya bagi seorang sufi bukanlah hal yang menentukan kualitas seseorang di mata Allah swt, yang menentukan derajat seseorang adalah sejauh mana segala hal tersebut mengandung nilai-nilai. Nilai yang dapat mensucikan diri dari kotoran yang telah menjauhkannya dari kodrat asal penciptaannya yang paling sempurna dibanding makhluk lain.

Secara psikologis, seseorang yang banyak melakukan dosa atau pelanggaran etik dan moral akan menjadikan dirinya dihantui oleh perasaan cemas dan takut, yang dalam istilah psikoanalisis disebut kecemasan moral, selanjutnya hal ini akan berdampak negatif atau menimbulkan penyakit baik fisik maupun psikis, karena perasaan ini akan senantiasa terpendam dalam alam bawah sadarnya. Untuk menjaga diri seorang dari penyakit di atas tidak lain adalah dengan menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau pelanggaran etika, yakni dengan mengendalikan segala hasrat, keinginan dan nafsu serta pengaruh lingkungan sekitarnya, selanjutnya hanya mengikuti apa yang didorongkan oleh hati nuraninya.

Dengan kata lain, untuk menghindarkan diri dari penyakit baik fisik maupun psikis, seseorang harus mampu mengontrol keinginan dan nafsunya, serta tidak melakukan sesuatu hanya karena mendatangkan kesenangan dan menghindari kesusahan, atau hanya mengharap imbalan, namun melakukan sesuatu tersebut hanya karena sesuatu tersebut memang seharusnya dilakukan, banyak hal yang telah dicontohkan Rasulullah saw dalam kehidupan dunia ini dan pada dasarnya semua orang akan bisa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan warak tersebut, hingga pada akhirnya akan mengenal Allah dan dirinya.

Hal-Hal yang Merusak Ikhlas

Selain sifat-sifat yang dapat meningkatkan ke-ikhlas-an seseorang, kita juga perlu menjadi diri dari sifat-sifat yang dapat merusak ke-ikhlas-an seseorang. Sifat-sifat yang dapat merusak ke-ikhlas-an seseorang antara lain :

1. Riya’

Sifat riya’ memiliki beberapa tingkatan, jika keseluruhan tujuannya adalah perbuatan riya’, maka tentu itu membatalkan ibadah, jika tujuan ibadah dan riya’ itu sebanding dengan mengurangkan setiap salah satunya, maka ini tidak mendatangkan kebaikan baginya dan tidak pula kejelekan. Keluar kepada manusia dengan pakaian yang bagus adalah riya’ tetapi tidak haram, kerena didalamnya tidak ada riya’ dengan amalan ibadah. Jika perbuatannya semata-mata karena riya’, tanpa ada tujuan ibadah, ketika kemudian terbebas dari riya’ maka barangkali tidak sia-sia amalannya, namun dikurangi pahalanya, atau disiksa berdasarkan kadar riya’ yang diperbuatnya.

Tiga ciri-ciri orang riya‟ sebagai berikut:

  1. Malas beramal kalau sendirian;

  2. Semangat beramal kalau dilihat orang banyak;

  3. Amalnya bertambah banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela orang lain.

Ciri-ciri orang riya’, hendaknya dijadikan sebagai rambu-rambu untuk berusaha maksimal membentengi segala amalan kita dari segala bentuk riya’. Sebagaimana dikutip Abu Laits Samarqandi mengemukakan tiga perkara yang dapat dijadikan benteng amal, sebagai berikut:

  1. Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya merupakan pertolongan Allah swt. agar penyakit ujub dalam hatinya hilang;

  2. Semata-mata hanya mencari rida Allah swt. agar hawa nafsunya teratur;

  3. Senantiasa hanya mengharap rida Allah swt. agar tidak timbul rasa tamak atau riya‟.

###2. Takabur

Takabur berasal dari bahasa Arab takabbara-yatakabbaru yang artinya sombong atau membanggakan diri. Secara istilah takabur adalah sikap berbangga diri dengan beranggaan bahwa hanya dirinya beranggapan yang paling hebat dan benar dibandingkan orang lain. Takabur semakna dengan ta`azum, yakni menampakan keagungan dan kebesaranya.

Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat takabur di antaranya dalam ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nisab, kecantikan, dan kekayaan. Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari.

Dijelaskan dalam firman Allah swt:

“Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (Surat al-Nahl: 23).

Di sisi yang lain disadari atau tidak, terkadang seseorang menampakkan sikap angkuh dan takaburnya. Apabila sikap takabur ini hanya dilakukan sesekali, barangkali orang yang di sekelilingnya belum memberikan predikat sebagai orang yang takabur. Predikat takabur ini biasanya baru diberikan ketika perbuatan takabur itu berulang-ulang kali dilakukan dan ditampakkannya, baik berupa sikap, perkataan, maupun cara bertingkah laku. Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita menghindarkan diri dari sifat dan perilaku sombong ini. Teladan seorang muslim adalah Rasulullah saw. Beliau adalah sosok manusia yang bergelimang kemuliaan dan kelebihan, namun beliau tidak pernah sedikitpun merasa lebih. Rasulullah saw sebagai pemimpin yang mempunyai derajat tinggi, tetapi tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari para pengikutnya.

Dari definisi tersebut maka jelaslah, takabur merupakan suatu sifat dimana ia merasa lebih dibanding orang lain, baik itu lebih dari sisi materi, lebih dari sisi fisik, lebih dari sisi ibadah, dan sebagainya, sehingga ia menganggap rendah dan remeh orang lain. Adapun perbedaan Takabur dengan Sombong ialah sombong itu adalah membangggakan dirinya dengan sekali saja sedangkan takabur ialah membangakan dirinya secara terus-menerus.

Macam-macam takabur, yaitu:

  • Takabur kepada Allah dan Rasulullah yakni ketika seseorang tidak mau menerima bahkan menentang kebenaran dari Allah swt. dan ajaran Rasulullah saw. Beberapa contohnya adalah: ada diantara kita yang menyatakan bahwa salat tidak ada gunanya dan puasa itu hanya membuat kita sengsara;

  • Takabur kepada sesama manusia, hal ini karena seseorang merasa mempunyai kelebihan dari orang-orang disekitarnya, kelebihan itu bisa berupa: ilmu (kecerdasan), amal, nasab (keturunan), rupa, kekuatan badan, kekayaan, kedudukan, banyak teman, sanak keluarga, keahlian dan sebagainya.

Cara-cara menghindari perilaku takabur, yaitu:

  • Tanamkan keimanan yang kuat di dalam hati;
  • Hilangkan sifat ujub;
  • Mengetahui dan menyadari akibat negatif dari sombong;
  • Hindari pergaulan dengan orang-orang yang biasa bersikap sombong;
  • Biasakan melihat seseorang dari segi kelebihannya, agar kita mampu menghargainya;
  • Selalu menyadari segala nikmat yang kita miliki adalah titipan dari Allah agar mudah untuk mensyukuri nikmat Allah dan menggunakanya untuk kebaikan dan memperbanyak amal saleh;
  • Berlaku rendah hati, santun dan tenggang rasa kepada siapapun;
  • Perhatikanlah bagaimana kehancuran yang di temui oleh orang sombong akibat ulahnya; * Berdoalah kepada Allah swt. agar diberi kekuatan menghindari sikap perbuatan sombong.

Diantara sebab timbulnya rasa takabur adalah melupakan akan akibat buruknya. Akibat Buruk dari Takabbur:

  • Terhalang dari memperhatikan dan mengambil pelajaran terhadap sesuatu, hal ini disebabkan orang yang takabur merasa lebih tinggi dari hamba-hamba Allah swt yang lain. Maka secara sadar atau tidak sadar ia telah melampaui batas hingga menempati kedudukan Illahi. Orang seperti ini sudah barang tentu akan terkena sangsi dan sangsi atau hukuman yang pertama ialah terhalang dari memperhatikan dan mengambil pelajaran terhadap sesuatu.;

  • Kegoncangan jiwa, orang yang takabur dan merasa lebih tinggi dari pada orang lain, berkeinginan agar orang lain menundukkan kepala kepadanya, tetapi harga diri manusia sudah barang tentu tidak mau berbuat demikian dan memang pada dasarnya mereka tidak disiapkan untuk hal itu. Karena keengganan orang lain untuk menundukkan diri kepadanya, berarti ia gagal memasuki keinginannya. Maka sebagai akibatnya timbullah kegoncangan dalam jiwanya;

  • Selalu dalam keadaan aib dan kekurangan;

  • Terhalang untuk masuk Surga.

Adapun dalil-dalil tentang takabur sebagai berikut:

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah- Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina” Surat Al-Mu’min Ayat 60

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”. Surat Al-Isra’ Ayat 37

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. Surat Luqman Ayat 18

4. Ghadab

Kata Ghadab berasal dari kata ghadaba artinya marah, al-ghadabu dalam bentuk isim berarti lembu, singa, al-ghudub artinya ular yang jahat. Adapun cara mengendalikan kemarahan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain, yaitu:

  • Berzikir kepada Allah;
  • Membaca selawat kepada Nabi Muhammad saw.;
  • Berwudu atau mandi;
  • Membaca taawud;
  • Segera mengubah keadaan ketika marah.

Berikut beberapa dampak negatif dari sekian banyak dampak negatif dari marah, yaitu:

  • Dijauhi teman atau saudara;
  • Untuk kesehatan, dapat menyebabkan darah tinggi, batuk dan cepat tua;
  • Meretakkan hubungan persaudaraan;
  • Menimbulkan kebencian, perkelahian, permusuhan dan sakit hati;
  • Keputusan dan tindakan orang marah cenderung menambah masalah;
  • Dibenci Allah swt. dan dapat terjauhkan dari ampunan dan surga Allah.

Cara-cara menghindari dan menghilangkan sifat marah secara umum dan garis besarnya adalah sebagai berikut:

  • Ketahuilah akibat buruk dari marah;
  • Meningkatkan takwa dan ibadah, serta memupuk sifat sabar;
  • Mengevaluasi akan kesalahan yang telah dilakukan;
  • Lapang dada, luas pandangan, gunakan akal dan pikiran serta tidak emosional;
  • Membaca taawud atau memohon perlindungan Allah dari godaan setan yang selalu membangkitkan amarah;
  • Apabila marah segeralah memberi maaf.

Ketika timbul perasaan marah, hendaklah duduk sambil ingat Allah, kalau duduk masih marah juga, hendaklah segera berwudu, karena dengan berwudu badan terasa segar, kemarahan dipengaruhi setan dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan oleh air, maka setan dibasmikan oleh dinginnya air wudu.

5. ‘Ujub

Ujub atau bangga diri adalah sifat orang yang membanggakandirinya sendiri karena memiliki kelebihan daripada orang lain, misal kaya raya, pandai, dan lain sebagainya, orang yang seperti itu tidak merasa takut kehilangan kesempurnaan (kelebihannya) itu, ia sangat bangga terhadap kenikmatan itu seolah-olah semua itu keberhasilan yang diperoleh dari usahanya sendiri, ia tidak mengakui bahwa semua kenikmatan dan kebahagiaan itu sebenarnya datang dari Allah. Ujub merupakan penyakit yang membinasakan atau membahayakan karena termasuk perbuatan tidak terpuji di sisi Allah swt.

6. Hasad

Hasad yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya.

Dengki adalah keinginan hilangnya nikmat dari orang lain, yang disebabkan adanya rasa sakit hati, rasa dendam, rasa banci dan adanya sifat ujub (merasa dirinya paling hebat) serta sifat sombong, sehingga ia akan sekuat tenaga untuk menjatuhkan dan menghilangkan kenikmatan dari diri seseorang tersebut.

Ciri-ciri orang yang memiliki sifat dengki adalah senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, seorang pendengki itu selalu mencari kejelekan dan berusaha menghancurkan seseorang yang didengki supaya tidak mendapat kesuksesan, kebahagiaan atau pujian dari orang lain, ia akan lebih senang jika melihat orang yang didengkinya menderita dan sengsara. Islam mendidik umatnya agar menjauhi sifat hasad.
Seseorang memiliki sifat hasad, sifat tersebut dapat merusak kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, rusaknya pahala kebaikan yang telah dilakukan diibaratkan seperti rusaknya kayu bakar yang termakan api.

Adapun cara untuk menghilangkan hasad, antara lain sebagai berikut :

  • Rajin mendengarkan nasihat keagamaan;
  • Rajin mendatangi majelis-majelis ilmu, terutama pengajian;
  • Memperbanyak bergaul dengan orang saleh;
  • Melatih diri untuk dapat menerima kenyataan hidup yang dialami.
Referensi
  1. Darsono dkk, Membangun Akidah dan Akhlak (Solo: Tiga Serangkai Pusaka Mandiri, 2009).
  2. Audah al-Awayisyah, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani (Yogyakarta: Maktabah Al- Hanif, 2007).
  3. Rachmat Ramadana, Aktivasi Ikhlas Menjadi Ikhlas dalam 40 hari (Yogyakarta: 2012).
  4. Abdullah bin Umar Al-Dumaiji, Al-Tawakkal Alallah Ta’al (Jakarta : PT Darul Falah,
  5. Labib, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thariqot dan Tasawuf (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, t.t).
  6. Imam Khomeini, Insan Ilahiah; Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan : Puncak Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi (Jakarta : Pustaka Zahra, 2004).
  7. Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah (Jakarta : Qultum Media, 2010).
  8. Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah, Al-Fawa’id (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998).
  9. Rachmat Ramadhana, Aktivasi Ikhlas Menjadi Ikhlas dalam 40 hari (Yogyakarta: 2012).
  10. Zainudin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2: Muamalah dan Akhlak (Bandung: Pustaka setia, 1999).
  11. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
  12. Budi Handrianto, Kebeningan Hati dan Pikiran (Jakarta: Gema Insani,2002).
  13. Imam Alghazali, Ihya 'Ulumuddin (Bandung:Diponegoro,1975).
  14. Kasmuri Selamat, Rahmat di Balik Cobaan (Jakarta: Kalam Mulia, 2005).
  15. Zaenal Abidin, Mencari Kunci Rezeki yang Hilang (Jakarta: Menara Indo Pena).
  16. Imam Ahmad bin Hambal, Al-Zuhud ( Dar Al-Rayyan Lit-Turats Cairo).
  17. Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah, Madarijus Salikin (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998).
  18. M.Chatib Quzwain, Mengenal Allah (Jakarta: P.T Bulan Bintang,1985).
  19. Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 2002).
  20. Hadi Mutamam, Maqam-Maqam Sufi dalam Alqur’an (Yogyakarta, Al-Manar: 2009).
  21. Muhammad Sholihin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil (Semarang: Pustaka Nuun, 2004).
  22. Syamsudin Al-Dzahaby, Al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t).
  23. Al-Faqih Abu Lais Samarqandi, Tanhib Al-Ghafilin Pembangun Jiwa dan Moral Umat,
  24. terj. Abu Imam Taqiyuddin, (Malang: Dar al-Ihya, 1986).
  25. Al-Gazhali, Hujjatul Al-Iskam, Abu Hamid, Menjauhi Perbuatan Maksiat (Bandung: CV. Pustaka Setia).