Bagaimana reaksi dunia internasional terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terkait Yerusalem?

Pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat mengenai pengakuan Kota Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada tahun 2017 lalu mendapat banyak pro dan kontra dari sejumlah negara. Bagaimana reaksi dunia internasional terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terkait Yerusalem?

Kebijakan yang dikeluarkan Gedung Putih terkait Yerusalem memicu kecaman dan penolakan dari berbagai pihak di hampir seluruh dunia. Diantaranya, Paus Fransiskus, Pemimpin umat Katolik sedunia memberikan pernyataan sesaat sebelum Trump mengumumkan kebijakan AS terkait status Yerusalem. Paus Fransiskus menegaskan untuk membela status quo Yerusalem. Status quo yang dimaksud adalah pemahaman bersama di antara komunitas keagamaan dengan penuh hormat terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem dan Bethlehem. Setidaknya tiga agama, yakni Islam, Yahudi dan Kristen memiliki tempat suci di kedua wilayah itu (Novi Christiastuti, 2017).

Pernyataan Paus Fransiskus dilansir Reuters dan AFP dalam detik.com:

Saya tidak bisa diam saja soal kekhawatiran mendalam saya terkait situasi yang muncul beberapa hari terakhir. Pada saat bersamaan, saya memohon dengan tulus kepada semua pihak untuk menghormati status quo kota itu (Yerusalem), sejalan dengan resolusi-resolusi PBB. Yerusalem adalah kota yang unik, sakral bagi umat Yahudi, Kristen dan Muslim. menjaga status quo itu penting demi menghindari munculnya elemen ketegangan baru di dunia yang telah bobrok oleh begitu banyak konflik. Yerusalem memegang ‘panggilan khusus untuk perdamaian’. Saya berdoa kepada Tuhan agar identitas ini dijaga dan dikuatkan demi Tanah Suci, Timur Tengah dan seluruh dunia, dan agar kebijaksanaan juga kehati-hatian bisa diberlakukan.

Sebelum menyampaikan pernyataannya, Paus Fransiskus bertemu dengan sekelompok warga Palestina yang ikut dalam dialog lintas agama di Vatikan. Sedangkan sehari sebelumnya, Paus berbicara via telepon dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas. Percakapan telepon itu membahas rencana Trump mengakui Yerusalem dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke sana. Reaksi penolakan juga didatangi oleh PBB, Uni Eropa (UE) dan Rusia. Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres mengatakan tidak ada alternatif terhadap penyelesaian dua negara antara Israel dan Palestina dan bahwa Yerusalem merupakan masalah penentuan status yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung.

Melalui Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, mengatakan bahwa Uni Eropa bersatu mendukung Yerusalem sebagai ibu kota baik Israel maupun negara Palestina di masa depan. Mogherini menyatakan bahwa Uni Eropa tidak akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel hingga tercapainya kesepakatan perdamaian Israel-Palestina, yang mencakup status akhir kota tersebut. Penolakan Rusia diungkapkan langsung oleh Presiden Vladimir Putin usai mengadakan pertemuan dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, di Ankara. Putin mengatakan keputusan Presiden Trump bisa ‘menghapus prospek perdamaian’ antara Israel dan Palestina.

Respon penolakan juga datang Presiden Perancis Emmanuel Macron, menyatakan tidak sependapat dengan keputusan Trump dan menginginkan solusi dua negara dalam penyelesaian masalah ini. Macron menegaskan bahwa urusan Yerusalem seharusnya dibicarakan antara Israel dengan Palestina di bawah pengawasan PBB (Veronika Yasnita, 2017).

Senada dengan Macron, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, menginginkan solusi dua negara antara Palestina dan Israel terkait masalah Yerusalem dan kota ini tetap menjadi ibukota bersama. May menambahkan bahwa keputusan Trump terkait Yerusalem bisa menjadi penghambat prospek perdamaian di kawasan (Harriet Agerholm, 2018).

Penolakan juga datang dari negara benua Amerika. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau. Trudeau mengatakan "Kami tidak akan memindahkan Kedutaan Besar Kanada untuk Israel ke Yerusalem. Kanada memiliki kebijakan berjangka panjang untuk Timur Tengah.

Kami tetap mengupayakan solusi dua negara melalui negosiasi langsung

(Ruth Vania, 2018)