Bagaimana rasanya ketika nyawannya hendak di cabut atau sakaratul maut ?

sakaratul maut

Nyawa adalah daya jasmaniah yang adanya tergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan badaniah (organic behavior) yiatu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar, misal : insting, refelks, nafsu dan sebagainya. Bagaimana rasanya ketika nyawannya hendak di cabut atau pada saat sakaratul maut ?

“Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul pedang”.
(H.R. Ibnu Abu Dunya).

Kematian itu sangat menyakitkan, apalagi bagi orang yang tidak beriman. Orang seperti Nabi saja merasakan sakit saat nyawanya dicabut oleh Malaikat Izrail. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini!” ujar Nabi penuh lirih kepada Jibril yang ada di sampingnya.

Melihat nyawa ayahnya dicabut, mata Fatimah terpejam. Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.

“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.

“Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.

Kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi.

“Ya Allah, dahsyat sekali maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.

“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku” (peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu).

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii?” (“Umatku, umatku, umatku”). Dan pergilah Rasullullah ke haribaan Allah SWT.

Demikian rasa sakit saat nyawa kita dicabut. Jika Nabi saja merasakan sakit saat nyawanya dicabut, apalagi kita sebagai manusia biasa. Terlebih lagi orang kafir, sungguh sangat dahsyat sekali rasa sakitnya. Subhanallah!

Saking sakitnya saat nyawa seseorang dicabut, Nabi sampai memohon kepada malaikat Jibril untuk bertemu Allah dan meminta kepada-Nya agar rasa sakit yang diderita umatnya saat nyawanya dicabut ditimpakan kepadanya. Tetapi Allah tidak mengizinkan permohonan Nabi yang disampaikan melalui malaikat Jibril tersebut. Nabi meminta dua pertiga saja dari rasa sakit umatnya ditimpakan kepadanya, tetap Allah menolaknya. Nabi lalu meminta sepertiga saja, Allah baru mengabulkannya.

Rasa sakit saat nyawa kita dicabut adalah naluriah, seperti kulit kita terkena silet. Siapapun orangnya pasti akan merasakan sakit jika kulitnya tergores oleh silet –begitu juga Nabi karena ia juga manusia biasa kecuali atas izin Allah. Begitulah semua orang merasakan sakit saat nyawanya dicabut. Hanya saja rasa sakit saat silet itu menggores kulit kita bermacam-macam. Jika goresannya tipis, maka sakitnya tidaklah seberapa. Itulah ibarat Nabi saat nyawanya dicabut. Beliau merasakan sakit, tapi sakitnya ringan seperti silet dengan tipis menggores kita.

Tetapi jika silet itu menggores kita terlalu dalam hingga menyentuh daging, tentu rasa sakit yang kita rasakan pun jauh lebih dahsyat. Itulah yang dirasakan oleh orang biasa saat nyawanya dicabut. Apalagi jika orang kafir yang dicabut nyawanya, pasti rasa sakitnya tak terperikan seperti pedang mengoyak-ngoyak tubuh kita. Jadi, rasa sakit saat nyawa kita dicabut pasti dirasakan oleh manusia, tak terkecuali oleh Nabi.

Dari arah mana Malaikat Izrail mencabut nyawa kita?

Jika kita membaca kisah Aslina di atas tampak bahwa Malaikat Izrail mencabut nyawanya dari arah kaki kanannya setelah itu baru pindah ke bagian-bagian lain. Ada lagi yang berpendapat dari arah rambut kepala (ubun-ubun) atau uratnya.

Dalam al-Qur’an disebutkan,

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan.” (Al-Waqi’ah: 83).

Ini menunjukkan bahwa nyawa seseorang dicabut dari arah bawah dulu yakni kuku kaki lalu merembet ke badan hingga kerongkongan. Setelah itu lewat kepala dan terlepaslah nyawa kita dari raga.

Disebutkan dalam suatu riwayat, ketika ajal seorang mukmin telah dekat, ada empat malaikat yang turun menghampirinya. Satu malaikat mencabut nyawa dari telapak kaki kanannya, satu malaikat mencabut nyawa dari telapak kaki kirinya, satu malaikat mencabut nyawa dari tangan kanannya dan satu malaikat lagi mencabut nyawa dari tangan kirinya. Kemudian nyawanya pun lepas begitu saja ketika mereka mencabutnya dari ujung kepala dan ujung jari-jari.

Malaikat mencabut nyawa seseorang itu tergantung amal perbuatannya. Jika orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada Allah, maka malaikat Izrail mencabut nywanya secara kasar. Sebaliknya, jika terhadap yang saleh, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan hati-hati.

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Abu Na’aim dari al-A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah bahwa Rasulullah bersabda,

“Sesungguhnya nyawa orang yang mukmin itu keluar dengan melompat dan nyawa orang yang kafir itu dicabut dengan keras seperti mencabut nyawa keledai.”

Disebutkan oleh al-Muhasabi dalam kitabnya Ar-Ri’ayat,

“Sesungguhnya Allah bertanya kepada Nabi Ibrahim, ‘Wahai kekasih-Ku, bagaimana kamu rasakan kematian? Ibrahim menjawab, ‘Seperti sebatang sujen besi sangat panas yang ditempelkan pada kapas yang basah kemudian ditarik.’ Tetapi, Kami akan membantu meringankan kamu, Ibrahim.”

Diceritakan bahwa ketika roh Nabi Musa sudah sampai kepada Allah, Allah bertanya kepadanya,

“Hai Musa, bagaimana kamu dapati kematian?”

Musa menjawab,

“Aku dapati diriku seperti seekor burung emprit yang dipanggang hidup-hidup di atas alat pemanggang tanpa bisa mati supaya tidak merasakan apa-apa lagi dan juga tidak bisa lepas terbang.” Dalam riwayat lain Musa menjawab, “Aku dapati diriku seperti seekor kambing yang dikuliti hidup-hidup oleh seorang tukang jagal.”

Di dalam kisah Nabi Idris a.s disebutkan bahwa beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan shalat sampai puluhan raka’at dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan amal Nabi Idris a.s yang sedemikian banyak, setiap malam naik ke langit.

Hal itulah yang sangat menarik perhatian Malaikat Maut, Izrail. Maka bermohonlah ia kepada Allah Swt agar diperkenankan mengunjungi Nabi Idris a.s. di dunia. Allah Swt, mengabulkan permohonan Malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu ke rumah Nabi Idris.

“Assalamu 'alaikum, yaa Nabi Allah”. Salam Malaikat Izrail.

“Wa 'alaikum salam wa rahmatullah”. Jawab Nabi Idris a.s.

Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu ke rumahnya itu adalah Malaikat Izrail. Seperti tamu yang lain, Nabi Idris a.s. melayani Malaikat Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris a.s. mengajaknya makan bersama, namun ditolak oleh Malaikat Izrail.

Selesai berbuka puasa, seperti biasanya, Nabi Idris a.s mengkhususkan waktunya “menghadap” Allah sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail. Juga ketika Nabi Idris terus-menerus berzikir dalam melakukan kesibukan sehari-harinya, dan hanya berbicara yang baik-baik saja.

Pada suatu hari yang cerah, Nabi Idris a.s mengajak jalan-jalan “tamunya” itu ke sebuah perkebunan di mana pohon-pohonnya sedang berbuah, ranum dan menggiurkan.

“Izinkanlah saya memetik buah-buahan ini untuk kita”, pinta Malaikat Izrail (menguji Nabi Idris a.s).

“Subhanallah (Maha Suci Allah),” kata Nabi Idris a.s.

“Kenapa ?” Malaikat Izrail pura-pura terkejut.

“Buah-buahan ini bukan milik kita”. Ungkap Nabi Idris a.s.

Kemudian beliau berkata: “Semalam Anda menolak makanan yang halal, kini Anda menginginkan makanan yang haram”.

Malaikat Izrail tidak menjawab. Nabi Idris a.s perhatikan wajah tamunya yang tidak merasa bersalah. Diam-diam beliau penasaran tentang tamu yang belum dikenalnya itu.

“Siapakah Engkau sebenarnya ?” tanya Nabi Idris a.s.

“Aku Malaikat Izrail”. Jawab Malaikat Izrail. Nabi Idris a.s terkejut, hampir tak percaya. Seketika tubuhnya bergetar tak berdaya.

“Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku ?” selidik Nabi Idris a.s serius.

“Tidak.” Senyum Malaikat Izrail penuh hormat.

“Atas izin Allah, aku sekedar berziarah kepadamu”. Jawab Malaikat Izrail.

Nabi Idris manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam. “Aku punya keinginan kepadamu”, tutur Nabi Idris a.s.

“Apa itu? katakanlah!”. Jawab Malaikat Izrail.

“Kumohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang. Lalu mintalah kepada Allah SWT untuk menghidupkanku kembali, agar bertambah rasa takutku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku”. Pinta Nabi Idris a.s.

“Tanpa seizin Allah, aku tak dapat melakukannya”, tolak Malaikat Izrail. Pada saat itu pula Allah SWT memerintahkan Malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan Nabi Idris a.s.

Dengan izin Allah Malaikat Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris a.s. sesudah itu beliau wafat. Malaikat Izrail menangis, memohonlah ia kepada Allah SWT agar menghidupkan Nabi Idris a.s. kembali.

Allah mengabulkan permohonannya. Setelah dikabulkan Allah Nabi Idris a.s. hidup kembali.

“Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku ?” tanya Malaikat Izrail.

“Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti”. Jawab Nabi Idris a.s.

“Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu”. Kata Malaikat Izrail.

Jika, rasa sakit yang diderita oleh Nabi Idris saat nyawanya dicabut masih dianggap lembut, apalagi kepada kita.

Subhanallah!