Bagaimana proses terjadinya dan terapi pada kolibasilosis?

Kuman E. coli dibedakan ke dalam kuman yang bersifat enteropatogenik, yang mengakibatkan terjadinya diare, dan kuman yang bersifat septisemik, yang menyebabkan sepsis dan kematian penderita dalam waktu yang singkat. Kuman E. coli paling banyak mengakibatkan sakit pada pedet-pedet yang berumur antara 2-10 hari (1-21 hari), dengan angka sakit, morbidity rate, pada kandang peternakan yang telah terinfeksi sebesar 30%. Pada kandang demikian angka kematian pedet, mortality rate, berkisar dari 10 hingga 50%. Kalau kuman E. coli yang bersifat septisemik tidak menyebabkan sakit pada pedet yang telah menerima cukup kolostrum, tidak demikian halnya dengan kuman yang bersifat enteropatogenik. Kuman tersebut mampu berkoloni pada mukosa usus, dan dapat menyebabkan lesi yang bersifat berat.

cows

Proses terjadinya
Di dalam saluran pencernaan kuman E. coli menghasilkan enterotoksin (endotoksin), yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit ke dalam lumen usus. Untuk menutupi kekurangan, cairan dan elektrolit dari jaringan lain akan ditarik dan dimobilisasikan ke dalam usus. Akibat dari hal tersebut jaringan di luar usus akan kekurangan cairan dan elektrolit, hingga merigalami dehidrasi dan goncangan keseimbangan elektrolit. Asidosis yang ditimbulkan oleh keadaan ini akan mengakibatkan kolapnya sistem peredaran darah yang mungkin akan segera diikuti dengan shock dan kematian. Enterotoksin diduga mampu merangsang aktivitas adenilsiklase, hingga adenil-monofosfat (AMP) juga meningkat jumlahnya. Peningkatan jumlah AMP akan menyebabkan kenaikan dari sekresi sel-sel kelenjar di dalam usus Cairan yang diekskresikan oleh kelenjar mukosa usus mengandung banyak NaHCO3, hingga ion Na dan HCO3 akan ditarik dari darah dan hal tersebut mengakibatkan derajat keasaman (pH) darah menurun terjadinya dari darah (Merritt, 1980).

Terapi
Pemberian cairan faali dan elektrolit dipandang sangat pen ting untuk dilakukan dalam praktek. Tergantung pada derajat dehidrasi yang dialami oleh penderita, Sherman pada 1976 menganjurkan pemberian campuran garam faali dengan sodium bikarbonat faali (1.3%) dengan dosis 50-100 ml/kg berat badan pada 6 jam yang pertama. Selanjutnya pada 20 jam berikutnya diberikan larutan tersebut sebanyak 140 ml/kg berat badan, yang diberikan secara bertahap dengan suntikan intravena (Sherman 1976).

Selanjutnya, perlu disarankan untuk tidak memberikan kepada pedet penderita air susu atau air susu pengganti (milk replacer) selama 1-2 hari, sampai diarenya dapat diatasi. Pemberian antibiotika khloramfenikol, apabila diizinkan pemakaiannya, secara intravena atau intramuskuler dengan dosis 10 mg/kg berat badan dapat pula dicoba. Begitu pula pemberian obat-obat spasmolitika dan protektiva, meskipun mungkin tidak banyak manfaatnya, dianjurkan pula untuk dicoba. Pemberian antibiotika secara oral mungkin menghasilkan akibat negatif, yaitu kemungkinan terbebaskannya endotoksin secara langsung sebagai akibat kematian dan terlarutnya sel-sel kuman E. coli. Toksin tersebut dapat mengakibatkan kematian mendadak karena terjadinya shock endotoksin.

Referensi: Subronto. 1989. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.