Bagaimana pertentangan antara Soekarno dan Hatta di era pasca kemerdekaan?

Pertentangan Pasca Sidang BPUPKI

Pertentangan dimasa ini ditandai dengan dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden no. X (lihat lampiran 1) yang isinya menyatakan bahwa sebelum MPR dan DPR terbentuk tugas tugas kelegislatifan seperti membuat Undang-undang dan GBHN dibebankan kepada KNIP. Munculnya maklumat ini tidak terlepas dari adanya sebuah petisi yang dikeluarkan oleh sidang KNIP kedua dilontarkan usulan agar membentuk suatu badan yang Kepadanya Presiden bertangung jawab, sementeara itu Presiden tidak tahu-menahu tentang adanya petisi ini karena Presiden sedang tidak berada di Jakarta.

Maklumat Wakil Presiden No. X ini merupakan pukulan telak terhadap kepemimpinan Soekarno yang dinilai otoriter karena tidak tidak adanya kontrol terhadap pemerintahan dibawah Presiden Soekarno. Hatta sebagai Wakil Presiden menandatangani maklumat tersebut sebagai ungkapan kekesalannya terhadap kepemimpinan Soekarno dan merupakan bukti bahwa Hatta lebih dekat dengan sistem liberal yang dicita-citakannya, namun Soekarno lebih memilih pemerintahan yang republik kesatuan untuk membendung kemauan keras Hatta.

Pertentangan selanjutnya dianggap lebih serius yaitu dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 1 Nobember 1945 yang diklaim sebagai manifesto politik Hatta. Haluan politik pemerintah Indonesia yang tertuang dalam manifesto tersebut lebih menggambarkan sikap Hatta yang liberal dengan menolak dan akan mengembalikan perusahaan-perusahaan swasta yang dinasionalisasikan oleh Soekarno. Soekarno memandang bahwa revolusi yang belum selesai harus dilaksanakan dengan berbagai cara walaupun dengan cara-cara yang radikal. Perbedaan prinsip inilah yang selalu melatarbelakangi pengambilan suatu keputusan dalam sebuah kebijakan pemerintah pada waktu itu.

Kakuatan Hatta mulai dilihat oleh Soekarno sebagai hal yang mengkawatirkan karena Hatta terus menjalankan pemerintahan tanpa melibatkan Soekarno dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Keluarnya Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 semakin menujukkan bahwa dasar pemikiran Hatta mengenai demokrasi parlementer akan segera terwujud karena isi dari maklumat tersebut berisi mengenai pembentukan partai-partai sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat Indonesia.

Munculnya partai-partai poltik sebagai imbas dari kebijakan tersebut membawa kekawatiran di pihak Soekarno. Ia memandang bahwa perpecahan dalam lingkup negara kesatuan akan segera terlaksana. Kekecewaan soekarno terhadap Hatta banyak diungkapkan oleh teman-temannya termasuk Sayuti Melik dengan mengutif penyataan “bahwa Bung Karno tidak bisa berbuat-apa-apa, Hatta telah menyerobot saya” demikian ungkap Bung Karno (Arifin 1974 dalam Alam 2003).

Kekawatiran Bung Karno mengenai efek adanya kebijaksanaan multi partai terbukti, hal ini pun diamini oleh Bung Hatta yang tidak mengerti dengan kemauan partai-partai yang terus melakukan politik “dagang sapi”, sampai merembet ke bidang kepegawaian untuk diperebutkan masing-masing partai. Bung Hatta tidak bergeming sedikitpun dan mulai melakukan menufer-manufer lainnya yaitu dengan melaksanakan perubahan dari sistem Presidensil menuju ke sistem Parlementer.

Kudeta kontitusional yang dilakukan oleh Hatta tidak semata-mata dilakukan untuk menyingkirakan kedudukan Presiden Soekarno, tetapi hanya mengalihfungsilkan kedudukan presiden Soekarno dan menempatkannya hanya sebagai “Pemimpin Revolusi” (Giebels 2001). Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Bung Hatta sebenarnya telah menjadi sebuah dasar diberlakukkannya demokrasi Parlementer, tetapi tindakan ini menimbulkan kontroversi karena Bung Hatta menerjang aturan-aturan (konstitusi) yang telah digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sehingga perubahan yang fundamental ini menjadi kabur.

Dikemudian hari tindakan-tindakan Bung Hatta yang inkonstitusional menimbulkan efek yang tidak sedikit, sebagai contoh adalah terjadinya banyak kekacauan dalam kehidupan bernegara, akibat tidak dihormatinya konstitusi yang ada. Kekacauan-kekacauan ini meliputi bergonta-gantinya kabinet maupun reshuffle kabinet dalam waktu yang singkat.

Pertentangan pada Masa Demokrasi Parlementer

Pada kurun waktu 1950-1959 merupakan masa di mana Soekarno dan Hatta sering mengalami benturan politik yang tidak bisa dielakkan oleh keduanya. Soekarno mulai frustasi terhadap Hatta yang terus-menerus merongrong kekuasaannya, penempatan dirinya hanya sebagai simbol “ can do no wrong ” ternyata tidak membuatnya puas. Tugas yang dibebankan kepada Soekarno sebagai presiden nyaris tidak ada, hampir seluruhnya dikerjakan oleh Hatta sebagai Perdana Menteri maupun sebagai Wakil Presiden.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 setelah masa-masa sulit menentukan ke arah mana negara ini mau dibawa terpecahkan. Pertentangan antara Bung Hatta dengn Soekarno kali ini berlanjut dalam memandang permasalahan Irian Barat.

Sesuai dengan kesepakan Konferensi Meja Bundar (KMB) dimana dihasilkan suatu keputusan untuk menunda masalah Irian Barat 1 tahun kemudian. KMB merupakan perundingan yang sangat monumental bagi Hatta dimana hasilnya lebih menguntungkan dibandingkan dengan perundingan-perundingan sebelumnya, walaupun demikian Soekarno tidak merasa puas karena wilayah Irian Barat masih belum berada di pangkuan Ibu Pertiwi. Cita-cita (ambisi) Soekarno yang menginginkan NKRI berwilayah dari Sabang sampai Merauke.

Natsir sebagai Perdana Menteri pertama dalam masa ini lebih condong ke Hatta daripada ke Soekarno. Natsir merupakan kawan Hatta selama masih di Eropa sehingga pemikirannya sama-sama liberal dengan Hatta. Keduanya memandang bahwa masalah Irian Barat hanya dilakukan melalui perundingan-perundingan saja, sedangkan Soekarno lebih radikal dengan mengupayakan segala cara termasuk perjuangan fisik untuk merebut wilayah Irian Barat dari pemerintahan Belanda. Akibatnya, umur kabinet Natsir pun tak lama hanya 6 bulan kabinet ini jatuh karena parlemen melakukan mosi tidak percaya terhadap kabinet. Pada tangal 21 Maret 1951 secara resmi kabinet lengser dari pemerintahan dan mengembalikan mandatnya (Rose 1991).

Pasca lengsernya kabinet Natsir, Soekarno menunjuk Sukiman untuk menjadi perdana menteri selanjutnya. Kabinet inipun tidak berlangsung lama karena skandal Mutual Security Act (MSA). Kebijakan yang diambil kabinet ini adalah mendekatkan diri dengan Amerika Serikat untuk memberikan bantuan keamanan yang menyangkut kepentingan Amerika Serikat di Asia. Akibatnya, banyak tentangan dilakukan oleh partai Masyumi (faksi Natsir) dan PSI-Sjahrir.

Perseteruan antara Hatta dengan Soekarno meningkat pada masa pemerintahan kabinet Wilopo yang mulai memerintah sejak tanggal 30 maret 1952. komposisi kabinet bentukan Wilopo tidak disukai oleh Soekarno walaupun Wilopo dari partai PNI. Wilopo sendiri merupakan temannya Bung Hatta selama menjabat Menteri tenaga kerja semasa Hatta menjadi Perdana Menteri. Banyaknya pergolakan di tubuh TNI dan menguatnya PKI membuat keadaan tidak bisa dikendalikan, termasuk keadaan ekonomi pada waktu itu yang semakin sulit. Kabinet ini kemudian menyerahkan mandatnya pada Juni 1953. Jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu yang singkat ± 3 tahun membuat posisi Hatta semakin melemah dan sebaliknya posisi Soekarno dan golongan nasionalis lainnya semakin menguat dalam pengambilan kebijakan di pemerintahan.

Kabinet berikutnya yang dibentuk adalah kabinet Ali Sastroamidjojo (Ali I). Kmposisi Ali I yang tidak melibatkan Masyumi dan PSI tetapi melibatkan NU (pasca keluar dari Masyumi) banyak menimbulkan pergolakan. Tokoh-tokoh yang pro terhadap ide negara Islam mulai banyak menyerang kabinet Ali I, yang pada akhirnya banyak terjadi gejolak didaerah seperti di Aceh yang menginginkan mendirikan negra Islam. Persoalan lainnya yang menghinggapi selama pemerintahan Ali I adalah mengenai kebijakan luar negerinya yang menginginkan adanya kekuatan penyeimbang antara blok-Barat dengan blok timur degan menyelenggarakan konferensi asia-afrika.

Pertentangan antara Bung Hatta dengan Soekarno pada kabinet ini terjadi pada masalah pengangkatan Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD). Soekarno dengan kekuasannya mengganti KSAD dengan personel militer yang dianggap tidak cocok oleh Hatta. Penunjukkan Bambang Utoyo sebagai KSAD oleh Soekarno banyak dikecam oleh kalangan senior militer yang dekat dengan Hatta. Kalangan senior menilai KSAD tunjukkan Soekarno tidak memiliki persyaratan untuk menduduki jabatan tersebut seperti senioritas dan kecakapan. Permasalahan ini tidak berlalurt-larut dan Soekarno menyerahkn masalah ini ke Bung Hatta untuk menyelesaikannya, sedangkan Soekarno meninggalkan tanah air untuk melaksnakan Ibadah haji. Munculnya permasalahan ini menyebabkan Kabinet Ali I menyerahkan mandatnya kepada Bung Hatta karena Soekarno masih berada di tanah suci Mekah.

Pada masa pemerintahan kabinet Burhanudin Harahap kekosongan kekuasaan ditubuh KSAD diisi oleh Abdul Haris Nasution sebagai perwira paling senior di tubuh AD. Peningkatan intensitas pertentangan antara Soekarno-Hatta pada masa ini mulai dirasakan sangat panas. Penunjukkan Burhanudin Harahap oleh Hatta membuat Soekarno merasa dipinggirkan karena pengangkatannya tanpa sepengetahuannya. Puncaknya terjadi ketika Bung Karno menolak menandatangani RUU (perjanjian KMB). Bung Hatta memandang Soekarno telah melakukan kesalahan besar karena sengaja mencari-cari masalah dalam urusan ini (Noer 1990). Kabinet Burhanuddin Harahap menyerahkan mandatnya pasca pemilu I tahun 1955 yang dimenangkan oleh PNI. PNI sebagai pemegang suara terbanyak dalam pemilu berhak menjadi fomatur dalam kabinet yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (Ali II) pada tanggal 20 maret 1956.

Pertentangan antara Soekarno-Hatta dalam kabinet Ali II mengalami puncaknya yaitu dengan berakibat perngunduran diri Hatta dari pemerintahan (Wakil Presiden). Banyak alasan yang menyertai pengunduran diri Hatta, Rauf (2002:116) memandang bahwa pengunduran diri Hatta merupakan kumpulan akumulasi dari beberapa konflik yang terjadi antara Bung Hatta dengan Soekarno yang tidak bisa diakhiri, sedangkan Nasution (1994) berpendapat bahwa ada dua kemungkinan yang harus diambil oleh Hatta yaitu mundur atau kudeta, atas pertimbangannya akhirnya Ia memilih mundur. Berdasarkan kedua pendapat diatas, dapat ditarik benang merah dari peristiwa pengunduran diri Hatta merupakan kerugian yang sangat berharga dari Soekarno. Bung Hatta selama ini dikenal sebagai simbol keterwakilan luar Jawa sehingga muncul banyak pergolakan di daerah pasca pengunduran diri Hatta dari pemerintahan.

Pertentangan Pasca Mundurnya Hatta

Setelah Hatta mundur dari pemerintahan pertentangan diantara keduanya boleh dibilang telah selesai. Sesekali Hatta hanya mengirimkan surat kepada Soekarno tentang kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Soekarno yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan bantinnya. Adanya surat-surat tersebut membuktikan bahwa Hatta masih respek terhadap kehidupan republik ini walaupun sebagian surat-surat ini ditanggapi dengan dingin oleh Soekarno. (Lubis, tanpa tahun).

Perbedaan yang paling prinsipil dalam masa ini adalah pandangan keduanya mengenai Revolusi sudah selesai atau belum? Soekarno memandang bahwa revolusi belum selesai dan merupakan suatu proses menuju revolusi sosial. Bung Hatta tak sependapat dengan mengatakan bahwa yang belum selesai adalah usaha menyelenggarakan cita-citanya, selesainya revolusi yaitu pada waktu penyerahan kedaulatan 1949 sehingga perlu dilanjutkan dengan konsolidasi untuk merealisasikan hasil revolusi itu (Alam 2003).

Sebagai contohnya adalah perbedaan dalam menanggapi masalah nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Soekarno beranggapan bahwa dalam sebuah revolusi sah-sah saja melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing. Bung Hatta beranggapan tidak demikian, Ia menekankan bahwa tidak bisa dengan seenaknya saja melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut tanpa mengindahkan peraturan yang ada.

Kondisi kabinet Ali II menjadi mengkhawatirkan karena banyaknya pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah akibat adanya perselisihan dalam tubuh (intern) militer. Masuknya militer (secara implisit) dalam kancah pemerintahan membuat kabinet Ali II tidak kuat menahan tekanan yang dilakukan oleh militer, akhirnya pada 1 maret 1957 kabinet ini menyerahkan mandatnya kepada Soekarno.

Masa transisi sebelum terbentuknya kabinet yang baru diwarnai perdebatan mengenai cara-cara Soekarno dalam membentuk kabinet. Pertentangan keduanya aktif kembali manakala Soekarno menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi formatur kabinet, hal ini dipandang oleh Hatta sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Langkah-langkah yang diambil oleh Soekarno banyak mendapatkan legitimasi dengan dalih bahwa negara dalam keadaan darurat (SOB) sehingga presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata melakukan cara-cara yang darurat yang dianggap perlu.

Munculnya desakan untuk memulihkan “dwitunggal” mendapatkan respon dari Soekarno dengan menunjuk Djuanda agar melibatkan Hatta dalam membentuk formasi kabinetnya ataupun sebagai Ketua Badan Perencana Nasional, namun tawaran ini kemudian ditolak oleh Hatta. Sementara itu keadaan menjadi sangat tidak menentu akibat timbulnya politik tiga kaki “AD-Soekarno-PKI” (Gaffar, 2004). Masuknya posisi angkatan darat ke dalam kekuatan politik Indonesia membuat para petinggi memiliki bargaining position yang kuat terhadap Presiden Soekarno. Dalam masa ini juga banyak terjadi pemberontakan di daerah-daerah seperti PRRI-PERMESTA yang didukung oleh Amerika, namun pemberontakan ini akhinya dapat dipadamkan. Imbasnya Partai Masyumi dan PSI dibubarkan oleh Soekarno karena pemimpinnya banyak yang terlibat dalam pemberontakan ini.

Puncak dari segala kekacauan yang terjadi pada tahun 1959 adalah ketika berlangsung sidang Konstituante untuk membahas Undang-Undang Dasar, terjadi perdebatan yang sengit antara golongan nasionalis dan Islam. Hatta merasa kecewa dengan para pemimpin Islam yang mendesakkan dimasukkannya piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar padahal suara mereka dalam parlemen hanya 48% saja. Soekarno merespon apa yang terjadi di dewan konstituante dan segera membekukan aktifitas perpolitikan di tanah air kemudian mengeluarkan Dekrit presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya yaitu membubarkan dewan konstituante.

Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapatkan respon dari Hatta. Hatta selalu mengkritik Soekarno terhadap kebijakan-kebijakan yang kurang terkontrol yang di tulisnya dalam artikel dengan judul “Demokrasi Kita” sebelumnya Hatta selalu mengkritik kebijakan-kebijakannya hanya melalui surat pribadinya dan mulai menyebut Soekarno sebagai seorang diktator (Lubis, tanpa tahun).

Pada tanggal 4 Januari 1962 di Sulawesi terjadi percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Sjahrir dan Subadio (PSI) yang dituduh berada di belakangnya kemudian ditahan oleh Soekarno. Hatta sebagai teman dekat Sjahrir menyurati Soekarno agar membebaskan Sjahrir tetapi surat Bung Hatta tersebut tidak ditanggapi oleh Soekarno. Ironinya walaupun terjadi pertentangan tajam diantara keduanya tetapi ketika Bung Hatta sakit, Soekarno menyempatkan diri menjenguknya di rumah sakit seraya menyarankan Hatta untuk berobat ke Swedia atas biaya negara (Rose, 1991).

Krisis ekonomi tahun 1964 membuat pemerintahan Soekarno kalang kabut, kebijakan-kebijakan pun diambil untuk mengatasinya seperti dekon, berdikari maupun yang lainnya. Tak lupa juga Soekarno meminta bantuan Hatta untuk mengatasi masalah ini, sayangnya kejadian ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Hatta untuk menyerang Hatta. PKI yang memegang peranan penting pada masa itu mulai mengambil langkah-langkah strategis untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno (Alam, 2003).

Pertentangan antara Soekarno-Hatta pada masa demokrasi terpimpin terjadi pada persoalan mengenai ide penyatuan Nasionalis, Agama, dan Komunis (nasakom) yang digulirkan oleh Soekarno. Hatta memandang bahwa ketiga ideologi itu mustahil digabungkan karena bagaimanapun juga Agama (Islam&Kristen) sangat menolak kehadiran komunis yang selama ini dikenal sebagai anti agama dan berbeda pandangan mengenai kehidupan.

Ide penggabungan yang ditelorkan oleh Soekarno sebenarnya adalah hasil dari buah pikirannnya pada tahun 1926 yang tertuang dalam sebuah artikel Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang memungkinkan membuka suatu sintesa terhadap seluruh aliran ditanah air. Konsep tersebut Ia peras menjadi satu kata: Nasakom.