Bagaimana Perjanjian antara Negara ASEAN yang Terkait dengan Kerja Sama di Bidang Industri?

Perjanjian antara Negara ASEAN yang Terkait dengan Kerja Sama di Bidang Industri

Bagaimana Perjanjian antara Negara ASEAN yang Terkait dengan Kerja Sama di Bidang Industri ?

Ruang lingkup kerja sama ASEAN di bidang Ekonomi tidak terbatas pada bidang perdagangan barang saja. Bidang-bidang kerja sama ASEAN yang lain antara lain: Pangan, Pertanian dan Kehutanan, Bea Cukai, Penyelesaian Sengketa, Telekomunikasi dan Teknologi Informasi, Keuangan, Industri, Hak Kekayaan Intelektual, Investasi, Mineral dan Energi, Jasa, Pariwisata, Transportasi, dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Masing-masing bidang tersebut telah disepakati perjanjian-perjanjian yang terkait dengan bidang-bidang tersebut.

Bidang Industri


Pada KTT ASEAN pertama kali yang diselenggarakan di Bali tahun 1976, dihasilkan Deklarasi Kesepakatan ASEAN atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bali Concord I . Dalam deklarasi tersebut, disebutkan kerja sama ekonomi di berbagai macam bidang, salah satunya adalah bidang industri. Adanya kesepakatan tersebut mewajibkan anggota ASEAN untuk merancang suatu rencana industri untuk memenuhi kebutuhan komoditas di kawasan ASEAN. Selain itu, prioritas akan diberikan kepada proyek yang memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di negara-negara ASEAN, memberikan kontribusi pada peningkatan produksi pangan, meningkatkan pendapatan devisa atau menyimpan devisa dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Berdasarkan itulah, disepakatilah kerja sama di bidang industri yang tertuang dalam ASEAN Industrial Project (AIP), ASEAN Industrial Complementation (AIC), dan ASEAN Industrial Joint Venture (AIJV), dan yang terakhir adalah ASEAN Industrial Cooperation Scheme (skema AICO).

Bentuk kerja sama yang pertama adalah AIP yang didasari oleh Basic Agreement On ASEAN Industrial Projects yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 6 Maret 1980. Berdasarkan ketentuan pasal 2, setiap anggota ASEAN diwajibkan untuk mempunyai paling tidak satu proyek industri di negaranya. Pada saat itu, yang menjadi anggota ASEAN masih sama dengan pendiri ASEAN. Terdapat lima proyek yang ada dalam kawasan ASEAN, yaitu:

  • Pupuk di Indonesia,
  • Urea di Malaysia,
  • Super fosfat di Filipina,
  • Mesin diesel di Singapura dan
  • Natrium kloridanatrium karbonat di Thailand.

Meskipun perjanjiannya sudah rampung pada tahun 1980, namun proyek pupuk di Indonesia baru mulai berjalan pada tahun 1984. Permasalahan tidak sampai situ, terdapat konflik antara proyek regional dengan proyek nasional. Contohnya: Singapura menelantarkan proyek mesin diesel nya dikarenakan keraguan untuk bisa berkompetisi dengan mesin diesel Indonesia; konflik juga pernah terjadi antara Indonesia dengan Thailand ketika Indonesia mengumumkan keinginannya untuk menangani proyek natrium karbonat sebagai proyek nasional; begitu juga dengan Filipina yang ragu-ragu akan melaksanakan proyeknya mulai dari super fosfat, pulp dan kertas, pabrik tembaga.

Mekanisme kerja sama di bidang industri yang selanjutnya adalah AIC yang didasarkan pada Basic Agreement On ASEAN Industrial Complementation yang disepakati di Manila tanggal 18 Juni 1981. Sama seperti AIP, proyek AIC juga dialokasikan di negara-negara ASEAN. Perbedaannya, proyek AIC adalah sektor swasta. Berkaitan dengan itu, proyek tersebut harus diikutsertakan oleh minimal empat negara ASEAN, kecuali telah mendapat rekomendasi dari the Committee on Industry, Minerals and Energy (COTME), dan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan ASEAN Economic Ministers (AEM). Selain itu, proyek AIC telah menikmati tarif preferensi sebagaimana yang diatur dalam PTA.

Proyek AIC yang pernah dibuat pada tahun 1983 adalah proyek pembuatan komponen untuk otomotif. Namun lagi-lagi proyek ini tidak berhasil dikarenakan adanya ketentuan yang mensyaratkan minimal partisipasi dari empat negara. Adanya partisipasi empat negara menyebabkan antar negara-negara tersebut tidak dapat memasarkan atau tidak dapat mengekspor produknya ke negaranegara tersebut, yang dapat dilakukan hanya impor. Permasalahan lainnya yaitu sulitnya alokasi produk dikarenakan negara-negara lebih memilih untuk membuat produk yang bernilai tinggi, contohnya: pembuatan mesin lebih diminati dari pada pembuatan gagang pintu mobil. Selain itu, adanya variasi model dan merek mobil yang berbeda-berbeda menyebabkan komponen yang dibuat belum tentu sesuai dengan merek tertentu.

Hal inilah yang memicu dibuatnya skema brand-to-brand complementation (BBC) melalui Memorandum of Understanding Brand-to-Brand Complementation on the Automotive Industry under the Basic Agreement on ASEAN Industrial Complementation pada tanggal 18 Oktober 1988. Skema BBC ini mengkhususkan proyek pada merek tertentu atau model tertentu saja juga hanya mensyaratkan dua negara yang harus berpartisipasi dalam suatu proyek yang akan menikmati hak istimewa seperti preferensi tarif maupun hak istimewa lainnya yang diatur di pasal 9. Namun, adanya preferensi tarif sekalipun masih tidak mengurangi tarif secara signifikan. Selain itu, kecuali Singapura, negara-negara ASEAN lainnya memilih untuk membuka perusahaan otomotif sendiri dengan partisipasi perusahaan multinasional di negaranya masing-masing. Dengan demikian AIC dengan skema BBC pun dapat dikatakan tidak berhasil.

Selain AIC, pada tahun 1983 dibentuk juga kerja sama ASEAN di bidang industri yaitu ASEAN Industrial Joint Venture s (AIJV). AIJV menawarkan skema yang lebih fleksibel, yaitu hanya membutuhkan minimum dua partisipasi negara ASEAN, terbuka untuk partisipasi perusahaan multinasional, dan proyek AIJV dapat menikmati konsesi tarif sampai 90%. Berbeda dengan AIC, mayoritas proyek AIJV yang diajukan permohonannya merupakan proyek-proyek berskala besar seperti pembuatan kertas atau traktor. Nyatanya, hanya sedikit proyek AIJV yang dapat diimplementasikan. Kegagalan AIJV lebih dikarenakan adanya keengganan negara-negara anggota ASEAN untuk berpartisipasi. Alasan mereka antara lain yaitu dengan adanya tarif preferensi, maka produk yang dihasilkan dari proyek AIJV nantinya akan bersaing dengan produk nasional mereka.

Ketidakberhasilan skema BBC maupun AIJV membentuk kerjasama industri lain yaitu melalui skema ASEAN Industrial Cooperation Scheme (AICO) dengan pemberian preferensi bea masuk 0 - 5%145 yang didasari pada skema CEPT-AFTA, bagi industri-industri di ASEAN. Kerja sama industri ini telah dimulai sejak ditandatanganinya Basic Agreement on the ASEAN Industrial Cooperation Scheme pada bulan April 1996; yang kemudian diamandemen dengan Protocol to Amend the Basic Agreement on the ASEAN Industrial Cooperation (AICO) Scheme yang disepakati di Singapura tanggal 21 April 2004.

Skema AICO ini merupakan program kerja sama industri di antara negara-negara ASEAN dalam rangka mendorong sharing kegiatan-kegiatan industri dari paling sedikit 2 (dua) atau lebih perusahaan industri di dua atau lebih negara ASEAN yang berbeda. Perusahaan yang terlibat dalam suatu AICO Arrangement akan menikmati fasilitas-fasilitas yang meliputi: Preferensi tarif bea masuk impor 0 -5 %, Keringanan akreditasi kandungan lokal (bila ada), dan Insentif non tarif lain (bila ada). Preferensi tarif tersebut berlaku untuk semua produk yang disetujui, meliputi bahan baku, produk setengah jadi dan produk jadi.