Bagaimana peran sastra sebagai media pembangunan karakter bangsa?

peran sastra sebagai media pembangunan karakter bangsa

Sastra mempunyai peran yang penting dalam proses pembangunan karakter bangsa. Bagaimana peran sastra sebagai media pembangunan karakter bangsa?

Karya sastra merupakan salah satu alternatif dalam rangka pembangunan kepribadian dan budaya masyarakat (character and cultural engeneering) yang berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 1987). Dalam istilah yang lebih umum, sastra merupakan karya seni yang dapat berperan sebagai media untuk pembangunan karakter bangsa (character engeneering and nation building). Kemampuan untuk memupuk dan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis, yang dapat diperoleh melalui studi tentang sastra dan Ilmu-ilmu Humaniora lainnya, merupakan modal utama yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam pembangunan bangsa.

Dalam kehidupan masyarakat global yang serba dalam ketidakpastian dan masa depan yang tidak teramalkan (unpredictable), kita harus dapat menghadapinya dengan bijak, tanpa kehilangan arah atau bahkan menjadi terasing, tanpa kehilangan rasa sopan santun kita, identitas kepribadian kita, rasionalitas kita, dan sumber-sumber isnpirasi kita yang selama ini kita pandang luhur bahkan adiluhung. Dalam konteks inilah sastra dan bidang ilmu Humaniora lainnya memberikan kontribusinya membantu kita dalam pengembangan dan penyusunan kerangka moral imajinatif untuk tindakan kita (Al-Ma’ruf, 1995).

Mengkaji karya sastra akan membantu kita menangkap makna yang terkandung di dalam pengalaman-pengalaman pengarang yang disampaikan melalui para tokoh imajinatifnya, dan memberikan cara- cara memahami segenap jenis kegiatan sosial kemasyarakatan, serta maksud yang terkandung di dalam kegiatan-kegiatan tersebut, baik kegiatan masyarakat kita sendiri maupun masyarakat lainnya.

Guna memahami sifat-sifat dan kompetensi manusia diperlukan suatu cara berpikir yang lebih jauh jangkauannya ketimbang yang dimungkinkan oleh metode-metode eksperimental dan analitis yang lazim digunakan dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan ilmu sosial. Kebutuhan manusia, ambisi, aspirasi, frustrasi manusia, dan sejenisnya merupakan realitas yang tak terpahami melalui observasi-observasi empiris semata-mata. Hal itu merupakan realitas yang tak dapat disederhanakan, direduksikan mejadi persamaan-persamaan tanpa kehilangan maknanya. Semua itu hanya dapat dicapai melalui upaya yang berupa proyeksi imajinatif, suatu kemampuan yang hanya dapat diraih antara lain melalui kajian karya sastra.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa sastra memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan. Ketika membaca karya sastra baik hikayat, cerpen, novel, drama, maupun puisi, secara otomatis pembaca akan menerobos lingkungan ruang dan waktu yang ada di sekitar kita. Karya-karya fiksi dan puisi yang diagungkan sebagai karya sastra (literer) adalah karya-karya yang berhasil membangunkan manusia atas rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Karya sastra mampu membuat pembaca memahami segenap perjuangan tokoh- tokohnya, menghayati kehidupan tokoh-tokohnya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita dapat mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam karya sastra yang kita baca. Dalam proses penghayatan itu dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi yang ada di sekitar kita.

Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita ke dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Hal ini merupakan awal dari kemampuan untuk mengembangkan empati dan toleransi.

Sejalan dengan itu, karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan pembaca sebagai pengkaji terhadap nilai-nilai kehidupan dan kearifan dalam menghadapi lingkungan, realitas kehidupan, dan sikap pendewasaan. Melalui sastra sastra yang dapat dilakukan pula dalam pembelajaran sastra, diharapkan pembaca, tumbuh menjadi manusia dewasa yang berbudaya, mandiri, sanggup mengekspresikan diri dengan pikiran dan perasaannya dengan baik, berwawasan luas, kritis, berkarakter, halus budi pekerti, dan santun.

Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Korupsi merajalela dari hilir hingga hulu, ketidakadilan hukum bukan rahasia umum, akhlak masyarakat kini mengalami kemerosotan luar biasa, anarkisme meluas di berbagai kalangan. Oleh karena itu, dalam dekade terakhir ini masalah karakter bangsa menjadi keprihatinan banyak pihak terutama para pendidik, ulama, tokoh masyarakat, dan pemimpin bangsa. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa itulah, karya sastra dapat menjadi alternatif solusi.

Jika ditengok ke belakang, dapat dikatakan bahwa ada yang salah atau kurang tepat dengan pendidikan di Indonesia sehingga sebagian anak bangsa menjadi orang yang anarkis, akhlak/moralitasnya merosot tajam dengan berbagai perbuatan amoral dan kriminal, kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, dan korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti atau akhlak adalah sastra. Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap perbuatannya.

“Sastra juga mengajarkan karakter tanpa harus menggurui lewat cerita-cerita (fiksi), puisi, dan lakon (drama) yang dapat membangun karakter bangsa. Masyarakat saat ini membutuhkan role model yang kuat,” Pernyataan ini mengiringi gugatan para pakar tentang peran pendidikan yang mengabaikan sastra dalam membangun karakter bangsa; bahwa posisi dan porsi sastra sangat kecil di bidang pendidikan bahasa. Keprihatinannya terhadap pudarnya karakter bangsa dapat dipengaruhi oleh dua bahasa yang mendominasi persada Indonesia akhir-akhir ini, yaitu bahasa politik yang berorientasi pada siapa pemenang dan bahasa ekonomi yang berorientasi pada keuntungan. Kapan bahasa sastra dengan fokus etika atau moral akan dibahas?

Seperti kritik yang dilontarkan oleh Rushord Kidder (pakar etika) bahwa suatu negara dapat saja kehilangan politikus atau ekonom dan akan digantikan oleh negarawan lainnya. Namun, bila negara sudah kehilangan karakter berbangsa dan bernegara, akan punahlah bangsa itu. Negarawan ataupun penyelenggara kehidupan bernegara dan berbangsa harus menjadi teladan bagi masyarakat. Mereka harus dapat menjadi anutan. Lebih jauh ia menegaskan tiga dimensi yang mempengaruhi pembentukan karakter bangsa, yaitu kesadaran perbedaan sebagai suatu bangsa, ketegaran, dan moral bangsa.

Sejak tahun 1971, pakar sastra Barat, H.L.B. Moody sudah menggambarkan sastra dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Padahal dengan posisi dan porsi yang sedemikian kecilnya dalam pembelajaran bahasa, para pakar sastra secara teoretis telah mengemukakan pentingnya sastra dalam pendidikan karakter. Moody (1979:16) menjelaskan bahwa telaah karya sastra pada dasarnya memiliki banyak manfaat. Manfaat yang utama adalah:

  1. membantu pembaca sastra memiliki keterampilan berbahasa
  2. meningkatkan pengetahuan budaya
  3. mengembangkan daya cipta dan rasa
  4. menunjang pembentukan watak

Dalam konteks ini, dengan membaca dan menikmati karya sastra, seseorang akan memperoleh nilai-nilai kehidupan yang dapat memperkaya khasanah batin dan memperluas waasannya di samping memperoleh kesenangan dan kenikmatan.
Pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran dijelaskan oleh Rosenblatt (dalam Rudy, 2005) sebagai berikut.

  1. Sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam demokrasi

  2. Sastra mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap, emosi, dan ukuran nilai sosial serta pribadi

  3. Sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan hidup, pola hubungan, dan filsafat

  4. Sastra membantu pemilihan imajinasi yang berbeda melalui pengalaman mengkaji karya sastra

  5. Pengalaman sastra memungkinkan pembaca memandang kepribadiannya sendiri dan masalah-masalahnya secara objektif dan memecahkannya dengan lebih baik

  6. Sastra memberikan kenyataan kepada orang dewasa tentang sistem nilai yang berbeda sehingga mereka terbebas dari rasa takut bersalah dan tidak pasti.

Sejalan dengan pandangan Rosenblatt di atas, aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kearifan dapat ditingkatkan melalui sastra. Kecerdasan emosional dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, terbuka, dan meronta-ronta. Bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang penting melainkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai kehidupan di dalam karya sastra. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut.

Manfaat pembelajaran sastra sudah banyak dikemukakan para ahli sastra. Ironisnya, teori-teori yang membahas manfaat sastra belum menyentuh tataran praktis. Untuk mencapai tataran praktis, teori-teori tersebut harus dieksplorasi dan dianalisis ke arah terciptanya pembelajaran sastra yang estetik, pembelajaran yang mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pembelajaran sastra yang dapat mengembangkan ketiga aspek penting tersebut telah diteliti dan dikembangkan. Rudy (2001) menemukan bahwa apresiasi sastra dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra pembaca

Talib (2010) turut memberikan penekanan mengenai hal itu sebagai berikut. Dengan melihat pentingnya peran bahasa dan sastra lokal dalam masyarakat, maka perlu dilakukan pelestarian sastra lokal sedini mungkin. Dalam hal ini dengan mengaktifkan kembali kegiatan pewarisan budaya lokal yang mempunyai makna luhur baik melalui jalur keluarga, masyarakat maupun jalur pendidikan. Dengan cara demikian, maka karya sastra akan memberikan kontribusi positif dalam pembangunan karakter bangsa.