Bagaimana penjelasan terkait Kejahatan Pelayaran?

BAB XXIX KEJAHATAN PELAYARAN


Pasal 438

(1) Diancam karena melakukan pembajakan di laut:

  1. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa masuk bekerja menjadi nakoda atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekerasan di lautan bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang dan barang di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk angkatan laut suatu negara yang diakui;

  2. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapa mengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk bekerja menjadi kelasi kapal tersebut atau dengan suka rela terus menjalankan pekerjaan tersebut setelah hal itu diketahui olehnya, ataupun termasuk anak buah kapal tersebut.

(2) Disamakan dengan tidak punya surat kuasa, jika melampaui apa yang dikuasakan, demikian juga jika memegang surat kuasa dari negara-negara yang berperang satu dengan yang lainnya.

(3) Pasal 89 tidak diterapkan.

Pasal 439

(1) Diancam karena melakukan pembajakan di tepi laut dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang di atasnya, di perairan Indonesia.

(2) Yang dimaksud dengan wilayah laut Indonesia yaitu wilayah “Territoriale zee en maritieme kringen ordonantie, S. 1939 - 442.”

Pasal 440

Diancam karena melakukan pembajakan di pantai dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa yang di darat maupun di air sekitar pantai atau muara sungai, melakukan perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang di situ, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut.

Pasal 441

Diancam karena melakukan pembajakan di sungai dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan di sungai terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang di atasnya, setelah datang ke tempat dan untuk tujuan tersebut dengan kapal dan tempat lain.

Pasal 442

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa yang menerima atau melakukan pekerjaan sebagai komandan atau pemimpin sebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk melakukan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 439 - 441.

Pasal 443

Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun, barang siapa yang menerima atau melakukan pekerjaan sebagai kelasi di sebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk melakukan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 439 - 441 ataupun, dengan sukarela tetap tinggal bekerja di kapal itu, sesudah diketahui olehnya bahwa kapal itu digunakan seperti diterangkan di atas.

Pasal 444

Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 - 441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nakhoda, komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 445

Barang siapa melengkapi kapal atas biaya sendiri atau orang lain, dengan maksud untuk digunakan sebagai yang dirumuskan dalam pasal 438, atau dengan maksud untuk melakukan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 439 - 441, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 446

Barang siapa atas biaya sendiri atau orang lain, secara langsung maupun tidak langsung turut melaksanakan penyewaan, pemuatan atau pertanggungan sebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu akan digunakan sebagai yang dirumuskan dalam pasal 438, atau untuk melakukan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 439 - 441, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 447

Barang siapa dengan sengaja menyerahkan sebuah kapal Indonesia dalam kekuasaan bajak laut, bajak tepi laut, bajak pantai, dan bajak sungai, diancam:

  1. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika ia adalah nakoda kapal itu;

  2. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, dalam hal-hal lain.

Pasal 448

Seorang penumpang kapal Indonesia yang merampas kekuasaan atas kapal secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 449

Seorang nakoda sebuah kapal Indonesia yang menarik kapal dan pemiliknya atau dari pengusahanya dan memakainya untuk keuntungan sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan.

Pasal 450

Seorang warga negara Indonesia yang tanpa izin Pemerintah Indonesia menerima surat bajak, maupun menerima atau menjalankan pekerjaan sebagai nakoda sebuah kapal, padahal diketahui bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk pelayaran pembajakan tanpa izin Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Pasal 451

Seorang warga negara Indonesia yang menerima pekerjaan sebagai kelasi di sebuah kapal. Padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk pelayaran pembajakan tanpa izin Pemerintah Indonesia, ataupun secara suka rela tetap bekerja sebagai kelasi sesudah diketahuinya tujuan atau penggunaan kapal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 451 bis

(1) Seorang nakoda sebuah kapal Indonesia yang menyuruh membikin keterangan kapal, yang diketahuinya bahwa isinya bertentangan dengan kenyataan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(2) Kelasi-kelasi yang turut serta menyuruh membikin keterangan kapal yang diketahuinya bahwa isinya tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Pasal 451 ter

Barang siapa untuk memenuhi peraturan dalam ayat ketiga pasal 12 aturan tentang pendaftaran kapal, memperlihatkan surat keterangan yang diketahuinya bahwa isinya tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Pasal 452

(1) Barang siapa dalam berita acara suatu keterangan kapal, menyuruh menulis keterangan palsu tentang suatu keadaan yang kebenarannya harus dinyatakan dalam akta itu, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu, seolah-olah keterangannya sesuai dengan kenyataan, diancam, jika karena penggunaan akta itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja menggunakan akta itu seolah-olah isinya sesuai dengan kenyataan, jika karena penggunaan itu dapat timbul kerugian.

Pasal 453

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, seorang nakoda kapal Indonesia yang sesudah dimulai penerimaan atau penyewaan kelasi, tetapi sebelum perjanjian habis dengan sengaja dan melawan hukum menarik diri dan pimpinan kapal itu.

Pasal 454

Diancam, karena melakukan desersi, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang kelasi yang, bertentangan dengan kewajibannya menurut persetujuan kerja, menarik diri dan tugasnya di kapal Indonesia, jika menurut keadaan di waktu melakukan perbuatan, ada kekhawatiran timbul bahaya bagi kapal, penumpang atau muatan kapal itu.

Pasal 455

Diancam karena melakukan desersi biasa, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu, seorang anak buah kapal—kapal Indonesia, yang dengan sengaja dan melawan hukum tidak mengikuti atau tidak meneruskan perjalanan yang telah di setujuinya.

Pasal 456

Ditiadakan berdasarkan S. 34 - 124 jo. 38 - 2.

Pasal 457

Pidana yang ditentukan dalam pasal 454 dan 455 dapat dilipatkan dua, jika dua orang atau lebih dengan bersekutu melakukan kejahatan itu, atau jika kejahatan dilakukan akibat permufakatan jahat untuk berbuat demikian.

Pasal 458

(1) Seorang pengusaha, pemegang buku, atau nakoda kapal Indonesia yang menerima seorang anak buah kapal untuk bekerja, padahal mengetahui bahwa anak buah kapal itu belum ada sebulan sejak menarik diri dari persetujuannya dengan kapal Indonesia seperti dirumuskan di dalam salah satu pasal 454 atau 455, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Tidak dipidana, jika penerimaan kerja dilakukan di luar Indonesia dengan izin konsul Indonesia, atau kalau ini tidak ada, atas permintaan penguasa setempat.

Pasal 459

(1) Seorang penumpang kapal Indonesia yang di atas kapal menyerang nakoda, melawannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan sengaja merampas kebebasannya untuk bergerak atau seorang anak buah kapal Indonesia, yang diatas kapal dalam pekerjaan berbuat demikian terhadap orang yang lebih tinggi pangkatnya, diancam karena melakukan insubordinasi dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

(2) Yang bersalah diancam dengan:

  1. pidana penjara paling lama empat tahun, jika kejahatan itu atau perbuatan-perbuatan lain yang menyertainya mengakibatkan luka-luka;

  2. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan jika mengakibatkan luka-luka berat;

  3. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan kematian.

Pasal 460

(1) Insubordinasi yang dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam karena melakukan pemberontakan di kapal dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Yang bersalah diancam dengan :

  1. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan jika kejahatan itu atau perbuatan-perbuatan lain yang menyertainya mengakibatkan luka-luka;

  2. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka-luka berat;

  3. pidana penjara paling lama lima belas tahun jika mengakibatkan kematian.

Pasal 461

Barang siapa di atas kapal Indonesia menghasut supaya memberontak, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 462

Penolakan kerja oleh dua orang anak buah kapal Indonesia atau lebih, yang dilakukan bersekutu atau akibat permufakatan jahat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Pasal 463

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, seorang anak buah kapal Indonesia yang sesudah dikenakan tindakan disiplin karena menolak kerja, masih tetap menolak kerja juga.

Pasal 464

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah seorang penumpang kapal Indonesia:

  1. yang sengaja tidak menurut perintah nakoda yang diberikan untuk keamanan atau untuk meneguhkan ketertiban dan disiplin di atas kapal;

  2. yang tidak memberi pertolongan menurut kemampuannya kepada nakoda, ketika diketahuinya bahwa dia dirampas kemerdekaannya untuk bergerak;

  3. yang sengaja tidak memberitahukan kepada nakoda pada saat yang tepat, ketika diketahuinya adanya niat untuk melakukan insubordinasi.

(2) Ketentuan tersebut pada no. 3 tidak berlaku jika insubordinasi tidak terjadi.

Pasal 465

Pidana yang diancam pada pasal 448, 451, 454 , 455, dan 459 -464 dapat ditambah sepertiga, jika yang melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal itu, berpangkat perwira kapal.

Pasal 466

Seorang nakoda kapal Indonesia yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum atau untuk menutupi perbuatan itu menjual kapalnya, atau meminjam uang dengan mempertanggungkan kapalnya atau perlengkapan kapal itu atau perbekalannya, atau menjual atau menggadaikan barang muatan atau barang perbekalan kapal itu, atau mengurangi kerugian atau belanja, atau tidak menjaga supaya buku-buku harian di kapal dipelihara menurut undang-undang, ataupun tidak mengurus keselamatan surat-surat kapal ketika meninggalkan kapalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 467

Seorang nakoda kapal Indonesia, yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau untuk menutupi keuntungan yang demikian, mengubah haluan kapalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 468

Seorang nakoda kapal Indonesia yang di luar keharusan atau bertentangan dengan hukum yang berlaku baginya, meninggalkan kapalnya di tengah perjalanan, dan juga menyuruh atau memberi izin kepada anak buahnya untuk berbuat demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Pasal 469

(1) Seorang nakoda kapal Indonesia yang di luar keharusan dan di luar pengetahuan lebih dahulu dan pemilik atau pengusaha kapal, melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa karena itu kapalnya atau muatannya kemungkinan ditangkap, ditahan atau dirintangi, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah.

(2) Seorang penumpang kapal yang di luar keharusan dan di luar pengetahuan lebih dulu dan nakoda melakukan perbuatan yang sama dengan pengetahuan yang sama pula, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Pasal 470

Seorang nakoda kapal Indonesia yang di luar keharusan sengaja tidak memberi kepada penumpang kapalnya apa yang wajib diberikan padanya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 471

Seorang nakoda kapal Indonesia yang sengaja membuang barang muatan di luar keharusan dan bertentangan dengan hukum yang berlaku baginya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 472

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusakkan, atau membikin tak dapat dipakai muatan, perbekalan atau barang keperluan yang ada dalam kapal, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Pasal 472 bis

Barang siapa sebagai penumpang gelap turut berlayar di atas sebuah kapal, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan.

Pasal 473

Seorang nakoda yang memakai bendera Indonesia, padahal diketahuinya bahwa dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 474

Seorang nakoda yang dengan memakai tanda-tanda pada kapalnya sengaja menimbulkan kesan seakan-akan kapalnya adalah kapal perang Indonesia kapal Angkatan Laut atau kapal penunjuk yang bekerja di perairan atau terusan laut Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 475

Barang siapa yang diluar keharusan melakukan pekerjaan nakoda, juru mudi atau masinis di kapal Indonesia, padahal diketahuinya bahwa kewenangannya untuk berlayar telah dicabut oleh penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Pasal 476

Seorang nakoda kapal Indonesia yang tanpa alasan yang dapat diterima menolak untuk memenuhi permintaan berdasarkan undang-undang untuk menerima di kapalnya seorang terdakwa atau terpidana beserta bendabenda yang berhubungan dengan perkaranya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 477

(1) Seorang nakoda kapal Indonesia yang dengan sengaja membiarkan lari, atau melepaskan seorang terdakwa atau terpidana atau memberi bantuan ketika dilepaskan atau melepaskan diri, padahal orang itu diterima di kapalnya atas permintaan berdasarkan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika orang itu lari, dilepaskan atau melepaskan dirinya karena kealpaan nakoda itu, maka dia diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 478

Seorang nakoda kapal Indonesia yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya menurut ayat pertama pasal 358a Kitab Undang-undang Hukum Dagang untuk memberi pertolongan kalau kapalnya terlibat dalam suatu tabrakan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 479

Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 438 - 449, 446, dan 467, dapat dinyatakan pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 no. 1 - 4.

Bagaimana penjelasan terkait Kejahatan Pelayaran?

Menurut Undang-undang Pelayaran, pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

Dari pengertian tersebut, maka pelayaran meliputi hal-hal yang berada di darat (pelabuhan) maupun di tengah perairan (laut, danau, dan sungai), berikut seluruh aktivitas yang sedang dilakukan. Sehingga aktivitas yang termasuk di dalam kegiatan pelayaranpun terdapat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut :

KUHP


Kejahatan pelayaran secara khusus diatur di dalam Buku Kedua Bab XXIX KUHP, walaupun ada juga tindak pidana di bidang pelayaran yang tidak diatur di dalam Bab XXIX. Tindak pidana pelayaran yang diatur di dalam Buku Kedua Bab XXIX KUHP tentang Kejahatan Pelayaran, yaitu Pasal 438 sampai dengan Pasal 479 KUHP, sedangkan Buku Ketiga mengatur mengenai Pelanggaran Pelayaran, yaitu Pasal 560 sampai dengan Pasal 569 KUHP.

Kemudian ada juga pasal-pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana di bidang pelayaran yang tidak masuk, baik di dalam Kejahatan Pelayaran maupun Pelanggaran Pelayaran, yaitu Pasal 196 dan 197 KUHP (menghancurkan, merusak, memindahkan tanda-tanda yang dipasang untuk keselamatan pelayaran), Pasal 198 dan 199 KUHP (menenggelamkan kapal, mendamparkan, menghancurkan, membuat sampai tidak dapat dipakai atau merusak suatu kapal).

UU Pelayaran


Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengatur mengenai beberapa tindak pidana di bidang pelayaran, namun tidak memberi penjelasan, perbuatan mana yang digolongkan sebagi kejahatan atau pelanggaran. Beberapa tindak pidana yang diatur di dalam UU Pelayaran adalah berupa perbuatan yang berkaitan dengan “pemberian ijin”, dan hal tersebut menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut sebenarnya termasuk di dalam lingkup hukum administrasi negara, namun memberikan sanksi pidana bagi para pelanggarnya.

Ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana di dalam UU Pelayaran terdapat dalam pasal 284 sampai dengan pasal 336, dan terdapat beberapa tindak pidana dengan subyek hukum yang khusus, yang tidak ditujukan kepada setiap orang melainkan kepada orang tertentu, yaitu Nakhoda (Pasal 286, 302, 309, 315, 317, 320, 322, 323, 330), Petugas Pandu (Pasal 319), Pemilik kapal (Pasal 320, 321), dan Awak Kapal (Pasal 324), Pejabat (Pasal 336).

Selain sanksi pidana, Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran sebagai undang-undang admistrasi, tentunya juga memberikan sanksi administratif terhadap pelanggar beberapa ketentuan yang diaturnya. Terdapat 2 (dua) pasal yang memberikan alternatif sanksi administratif atau pidana, yaitu bagi yang melanggar Pasal 8 ayat (2), Pasal 28 ayat (4), serta 2 (dua) pasal yang mengenakan sanksi administratif dan pidana sekaligus, yaitu Pasal 130 ayat (1), dan Pasal 132 ayat (1).

Dikatakan alternatif, karena pada Pasal 59 menyebutkan bahwa pelanggar “dapat” dikenakan sanksi administratif, sehingga kata “dapat” di sini tidak bisa diartikan sebagai kepastian namun hanyalah pilihan. Sedangkan bagi pelanggar Pasal 130 ayat (1) dan Pasal 132 (1) akan dikenakan sanksi administratif dan pidana secara kumulasi, karena Pasal 171 tidak menggunakan kata “dapat”, sehingga pengenaan sanksi administratif merupakan kepastian bukanlah pilihan.

Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran tidak memberikan penjelasan berkaitan dengan penjatuhan sanksi pidana dan administratif, baik secara alternatif maupun kumulatif, apakah pengenaan sanksi administratif lebih didahulukan dibandingkan pengenaan sanksi pidana, atau sebaliknya.

Jika mengacu kepada prinsip hukum pidana sebagai ultimum remidium, maka seharusnya pengenaan sanksi administratif lebih diutamakan dibandingkan sanksi pidana. Namun,sekali lagi tidak ada penjelasan yang memadai di dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, apakah sanksi administratif lebih didahulukan daripada sanksi pidana atau tidak.

Seharusnya jika prinsip hukum pidana sebagai ultimum remidium benar-benar menjadi acuan di dalam pembuatan Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, maka penggunaan sanksi administratif lebih diutamakan dibandingkan dengan sanksi pidana.

Seperti yang dianut oleh Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006. Undang-Undang Kepabeanan menjadi acuan, karena baik pelayaran maupun kepabeanan, jika dicermati memiliki satu kesamaan, yaitu melayani pelaku-pelaku ekonomi di bidang perdagangan, terutama perdagangan internasional. Bagi para pelaku ekonomi atau bisnis, efisiensi adalah mutlak, sehingga jika mereka melakukan kesalahan di bidang hukum pun, mereka akan lebih menyukai penyelesaian yang sederhana dan cepat, sehingga tidak mengganggu atau menghambat kegiatan usaha mereka.

Dan jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui hukum pidana, maka penyelesaian melalui hukum administrasi adalah penyelesaian yang lebih cepat dan sederhana. Dengan penyelesaian yang cepat dan sederhana tersebut, para pelaku bisnis, dapat segera fokus melanjutkan kegiatan usahanya, tidak tersita waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengurus proses penyelesaian melalui hukum pidana yang membutuhkan waktu lama, karena melalui proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan.

Kemudian dalam penyelesaian melalui sistem peradilan pidana, maka akan ada benda yang dijadikan barang bukti, yang tidak menutup kemungkinan benda tersebut adalah vital bagi usaha yang dijalani si pelaku usaha, sehingga usahanya bukan hanya menjadi terhambat melainkan bisa terhenti, misalnya barang bukti tersebut adalah kapal, yang mau tidak mau akan dikembalikan saat putusan telah berkekuatan hukum tetap. Undang-Undang Kepabeanan lebih mengutamakan penggunaan sanksi administratif dibandingkan sanksi pidana, sebagai contoh yaitu ketentuan mengenai “pelaksanaan audit kepabeanan oleh pejabat bea dan cukai” dalam Pasal 86 UU Kepabeanan, yang secara substantif mirip dengan ketentuan “pemeriksaan kapal oleh pejabat pemeriksa keselamatan kapal” dalam Pasal 304 jo Pasal 128 ayat (2) UU Pelayaran.

Substansi dari kedua pasal dari dua undang-undang yang berbeda ini adalah, mengenai “kewajiban untuk membantu pelaksanaan pemeriksaan/audit oleh pejabat yang berwenang”, namun kedua undang-undang memberikan ancaman yang berbeda bagi pelanggarnya, yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bagi pelanggar ketentuan UU Pelayaran, serta sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) bagi pelanggar ketentuan UU Kepabeanan.

Kemudian, jika dicermati maka terdapat beberapa tindak pidana yang diatur di dalam KUHP diatur pula di dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Terhadap kondisi dimana perbuatan-perbuatan yang diatur oleh KUHP ternyata diatur pula oleh Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, maka seharusnya berlaku asas lex posterriore derogat lex priori, yaitu aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Prinsip-prinsip dalam asas ini, yaitu

  1. Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
  2. Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.

A.A. Oka Mahendra yang mengutip pendapat Bagir Manan, menambahkan bahwa asas lex posterior derogat legi priori antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting.

Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.207 Selain KUHP dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, jika mengacu kepada pengertian pelayaran seperti dimaksud di dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, maka termasuk di dalamnya adalah perlindungan lingkungan maritim.

Perlindungan maritim di dalam pelayaran memberikan perhatian terhadap pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan, pengoperasian kapal, pengangkutan limbah, bahan berbahaya dan beracun di perairan, pembuangan limbah di perairan serta penutuhan kapal. Jika terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan yang berasal dari kegiatan-kegiatan tersebut, maka telah terjadi pula tindak pidana di bidang lingkungan hidup, sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, atau pada saat diundangkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, maka yang masih berlaku adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Sedangkan pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Masih berkaitan dengan pencemaran lingkungan laut oleh kegiatan pelayaran, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga mengatur tentang pencemaran yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sedangkan yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yaitu meliputi perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jadi, jika terjadi pencemaran di laut Indonesia yang disebabkan oleh kegiatan pelayaran, maka dapat dipastikan bahwa pelanggaran tersebut dapat dituntut dengan menggunakan 3 (tiga) undang-undang sekaligus, yaitu

  1. Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran,
  2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
  3. Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.