Bagaimana Pengelolaan Limbah Radioaktif PLTN?

https://i1.wp.com/warstek.com/wp-content/uploads/2018/04/gosgen-npp.jpg?resize=800%2C445&ssl=1

Mitos yang beredar di tengah masyarakat terkait energi nuklir, selain terkait keselamatan dan radiasi, adalah soal limbah radioaktif. Dikesankan bahwa limbah radioaktif PLTN adalah masalah yang belum terpecahkan hingga saat ini. Entah soal pengelolaan maupun pembuangan. Padahal itu tidak benar.

Industri nuklir adalah satu-satunya industri energi yang bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan limbahnya. Bahkan, biaya pengelolaan limbah radioaktif PLTN dimasukkan ke dalam biaya produksi listrik. Walau begitu, nilai biayanya kecil sekali, sehingga tidak menambah mahal harga listriknya [1].

Seandainya limbah radioaktif PLTN tidak bisa dikelola, maka teknologi nuklir kemungkinan besar tidak akan pernah berkembang sejak awal ditemukannya reaktor fisi nuklir oleh Enrico Fermi dan Leo Szilard. Nyatanya, metode pengelolaan limbah yang dikembangkan sebagian besar sudah diterapkan dan berjalan baik-baik saja. Yang belum sepenuhnya diterapkan bukan karena persoalan teknologi, melainkan politik.

Jadi, bagaimana limbah radioaktif PLTN dikelola?

Sebelumnya, perlu dipahami dulu kategorisasi terhadap limbah radioaktif. Secara umum, limbah radioaktif dibagi dalam tiga kategori, meski ada yang menggolongkannya dalam empat kategori [1,2]. Di sini penulis mengambil yang empat kategori, yaitu Very Low Level Waste (VLLW), Low Level Waste (LLW), Intermediate Level Waste (ILW) dan High Level Waste (HLW). Tiap kategori memiliki metode pengelolaan masing-masing, sebagian besar sudah digunakan.

VLLW memiliki kadar radiasi sangat rendah dan tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. Biasanya terdiri dari material seperti beton, semen, batu bata, logam dan sebagainya, dari industri umum, seperti industri besi, industri kimia, dsb. Sebabnya adalah beberapa jenis mineral yang digunakan dalam industri-industri tersebut secara alami bersifat radioaktif. Bisa juga berasal dari bangunan industri nuklir yang entah mengalami rehabilitasi atau dismantling [2].

Karena rendahnya kadar radiasi VLLW, limbah ini bisa dikelola sebagaimana limbah domestik lain. Tidak perlu perlakuan khusus.

LLW memiliki kadar radiasi rendah, biasanya mengandung sedikit unsur radioaktif dengan waktu paruh pendek. LLW berasal dari rumah sakit dan industri nuklir, termasuk siklus bahan bakar nuklir, seperti kertas, pakaian, filter, serta alat-alat sejenis. Sama seperti VLLW, penanganannya tidak perlu menggunakan perisai radiasi. Limbahnya sendiri bisa dikubur di tanah dangkal [2].

Untuk mengurangi volume, limbah ini bisa juga dikompaksi atau insinerasi/dibakar. LLW memiliki volume mencapai 90% limbah radioaktif, tapi hanya mewakili 1% radioaktivitas total [3].

ILW memiliki kadar radiasi sedang. Sebagian limbahnya membutuhkan perisai radiasi dalam pengelolaan. Asalnya dari resin, limbah kimiawi dan kelongsong bahan bakar, juga material yang terkontaminasi unsur radioaktif dari dekomisioning reaktor [2].

Limbah-limbah yang berukuran kecil atau cair dapat dipadatkan dalam beton atau bitumen sebelum dikubur di tanah dangkal seperti LLW. ILW mewakili 7% volume limbah dan 4% radioaktivitas total. [3]

Pengelolaan limbah dengan tiga level radioaktivitas di atas sudah dipraktikkan di banyak negara selama puluhan tahun tanpa ada masalah terhadap manusia maupun lingkungan. Tidak ada ceritanya orang jadi kena kanker atau mengalami mutasi genetik karena berurusan dengan VLLW, LLW dan ILW.

Di Indonesia, VLW dan ILW dari industri dan rumah sakit dikelola oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN. Setidaknya sudah 900 ton limbah yang dikelola PTLR BATAN. Untuk komparasi, limbah rumah tangga harian di Jakarta mencapai 6.000 ton [4].

Terakhir adalah HLW. Limbah ini memiliki kadar radiasi sangat tinggi dan merupakan sisa dari pembakaran uranium di dalam teras reaktor nuklir. Kontennya terdiri dari produk fisi dan elemen transuranik yang dihasilkan dari reaksi fisi nuklir. HLW juga sangat panas, sehingga perlu didinginkan terlebih dahulu sebelum dikelola. Mengelolanya sendiri mesti menggunakan perisai radiasi tebal dan perangkat robotik.

Volume HLW hanya 3% dari limbah radioaktif, tapi mewakili 95% radioaktivitas total. Dengan kata lain, limbah paling berbahaya memiliki volume paling sedikit. Volumenya hanya setara dua unit mobil. Jika diproses ulang, volumenya berkurang jadi tinggal sepersepuluhnya [3].

Ketika dikeluarkan dari teras reaktor, bundel bahan bakar bekas masih sangat panas dan luar biasa radioaktif. Jadi, kelongsong ini disimpan dulu di kolam penampungan limbah sementara untuk didinginkan. Kolam ini berada di dalam bangunan reaktor, dibuat dari beton tebal dan dilapisi besi. Air yang digunakan harus bebas mineral, untuk mencegah korosi [1,2].

Selain untuk pendinginan, air juga berfungsi sebagai perisai radiasi. Radiasi gamma dan netron yang terlepas dari bahan bakar bekas tidak bisa bergerak terlalu jauh dalam air. Sehingga, orang-orang yang berada di sekitar kolam terhindar dari dosis radiasi tinggi.

Bahan bakar bekas didinginkan dalam kolam selama setidaknya lima tahun. Setelah sekitar lima tahun, radioaktivitas limbah tinggal 5% dari radioaktivitas awal ketika dikeluarkan dari teras reaktor. Lalu, bahan bakar bekas ini bisa dikeluarkan dan disimpan dalam kontainer penyimpanan kering yang terbuat dari beton. Bahan bakar bekas ini didinginkan dengan udara [2].

Untuk beberapa dekade atau mungkin abad, metode penyimpanan interim ini cukup memadai. Apalagi, setelah 40 tahun, radioaktivitas makin turun lagi sampai tinggal seperseribu radioaktivitas ketika dikeluarkan dari teras reaktor [1].

Apakah kontainer ini membahayakan orang-orang? Tidak sama sekali. It’s just sitting there. Kontainer ini ditata di dalam kompleks PLTN, para pekerja bisa mendekatinya tanpa harus pakai pakaian pelindung radiasi. Bagaimana mungkin limbah yang terkungkung dalam kontainer ini dapat membahayakan masyarakat?

Untuk beberapa dekade atau mungkin abad, metode penyimpanan interim ini cukup memadai. Apalagi, setelah 40 tahun, radioaktivitas makin turun lagi sampai tinggal seperseribu radioaktivitas ketika dikeluarkan dari teras reaktor [1].

Apakah kontainer ini membahayakan orang-orang? Tidak sama sekali. It’s just sitting there. Kontainer ini ditata di dalam kompleks PLTN, para pekerja bisa mendekatinya tanpa harus pakai pakaian pelindung radiasi. Bagaimana mungkin limbah yang terkungkung dalam kontainer ini dapat membahayakan masyarakat?

Setelah ini, ada dua pilihan pengelolaan: didaur ulang atau langsung dibuang. Kalau didaur ulang, maka tidak perlu berpikir dulu soal pembuangan akhir. Tapi, kalau mau langsung dibuang (sangat tidak disarankan), maka opsi pembuangan limbah lestari mesti dipertimbangkan.

Ada beberapa opsi bagaimana pengelolaan HLW untuk dibuang secara permanen. Cara paling mudah, limbah diproses menjadi gelas borosilikat dan buang ke titik-titik acak di laut. Tidak ada yang bisa mengklaim cara ini tidak bisa dilakukan! Bahkan kalaupun seluruh HLW dari seluruh PLTN yang sedang dan pernah beroperasi di dunia ini semuanya dibuang ke laut, tidak akan ada masalah apa-apa. Radioaktivitas laut tidak akan naik barang 1% pun [5].

Tapi tentu saja birokrasi dan politik tidak mau menggunakan cara ini. Akhirnya, metode yang kemudian disepakati adalah dengan menyimpan HLW dalam repositori berupa formasi tanah dalam stabil. Beberapa tempat sudah diajukan untuk repositori abadi, seperti di Finlandia, Swedia, Prancis maupun Amerika Serikat. Di Swiss, ada sejenis formasi batuan alam di bawah tanah yang dianggap potensial untuk dijadikan repositori abadi [1,2].

Hanya saja, belum ada satupun dari repositori abadi itu yang digunakan. Repositori di Pegunungan Yucca, Amerika Serikat sendiri progresnya macet, gara-gara pemerintah federal Nevada menolak mengizinkan tempat itu menjadi repositori HLW.

Tapi sebenarnya, kebutuhan akan repositori limbah abadi ini belum terlalu mendesak. Toh, sebenarnya “limbah” ini masih bisa dimanfaatkan ulang di reaktor maju. Selama masih disimpan di kontainer kering, bahan bakar bekas mudah untuk diambil lagi.

Dalam repositori abadi, limbah divitrifikasi dalam bentuk gelas borosilikat dan dikapsulasi dalam dalam silinder stainless steel setinggi 1,3 meter [5]. Dr. Yudiutomo Imardjoko, ilmuwan nuklir Indonesia (dan dosen saya ketika kuliah), merancang desain kontainer limbah abadi yang mendapat pengakuan dari ilmuwan internasional.

Jadi, apa poin yang bisa diambil?

Salah besar kalau menduga teknologi nuklir tidak memiliki solusi mengenai limbah. Untuk semua kategori limbah, teknologi nuklir memiliki metode pengelolaan yang jelas, terstruktur dan sebagian besar sudah dilaksanakan selama puluhan tahun dengan sukses. Tidak ada industri lain yang bisa menyamai prestasi pengelolaan limbah industri nuklir. Tidak pernah ada pula ceritanya limbah nuklir meracuni sungai atau sumber air masyarakat di sekitarnya. It’s simply impossible.

Persoalan bagaimana mengelola limbah radioaktif sudah selesai dari dulu. Yang belum selesai adalah keputusan politik soal daur ulang bahan bakar bekas. Itu saja. Sekali lagi, bukan masalah teknologi, tapi masalah politik.

Referensi
[1] World Nuclear Association. Radioactive Waste Management. Radioactive Waste Management | Nuclear Waste Disposal - World Nuclear Association. Diakses pada 3 April 2018.

[2] Bahman Zohuri, Patrick McDaniel. 2015. Thermodynamics In Nuclear Power Plant Systems. Swiss: Springer International Publishing.

[3] Max Carbon. 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity, 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.

[4] Begini Cara Batan Kelola Limbah Radioaktif. Begini Cara Batan Kelola Limbah Radioaktif. Diakses 3 April 2018.

[5] Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.