Bagaimana Pengaruh Pemakaian Jilbab terhadap Perilaku Moral?

jilbab

Menurut Ar-Rozi (tt) dalam Sudarsono (2010) etika atau moral adalah sebagai obat pencahar rohani (spiritual physic), merupakan sebuah penjelasan yang terpercaya mengenai ajaran plato tentang jiwa yang mempunyai tiga bagian untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan lurusnya moral spiritual jiwa (Sudarsono, 2010).

1 Like

Pengaruh Pemakaian Jilbab Terhadap Perilaku Moral


1. Hubungan Perilaku Moral dengan Karakter

Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok masyarakat tertentu. Moral dalam hal ini berarti adat kebiasaan atau tradisi. Perilaku tidak bermoral berarti perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok sosial tersebut. Ketidakpatuhan ini bukan karena ketidakmampuan memahami harapan kelompok tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap harapan kelompok sosial tersebut, atau karena kurang merasa wajib untuk mematuhinya. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku

Menurut Tadkiratun Musfiroh “Karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skills), meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik” (2008). Menurut Megawangi dalam buku Darmiyati (2004) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya”

Menurut Mulyana nilai merupakan “Sesuatu yang diinginkan sehingga melahirkan tindakan pada diri seseorang. Nilai tersebut pada umumnya mencakup tiga wilayah, yaitu nilai intelektual (benar-salah), nilai estetika (indah-tidak indah), dan nilai etika (baik-buruk)” (2004).

Istilah moral berasal dari kata moralis (Latin) yang berarti adat kebiasaan atau cara hidup: sama dengan istilah etika yang berasal dari kata ethos (Yunani). Tema moral erat kaitannya dengan tanggung jawab sosial yang teruji secara langsung, sehingga moral sangat terkait dengan etika. Sedangkan tema nilai meski memiliki tanggung jawab sosial dapat ditangguhkan sementara waktu. Sebagai contoh kejujuran merupakan nilai yang diyakini seseorang, namun orang tersebut (menangguhkan sementara waktu) melakukan korupsi (Udik Budi Wibowo, 2010).

Dari pemaparan diatas tampak bahwa pengertian karakter kurang lebih sama dengan moral dan etika, yakni terkait dengan nilai-nilai yang diyakini seseorang dan selanjutnyaditerapkan dalam hubungannya dengan tanggung jawab sosial. Udik Budi Wibowo (2010: 4) mengemukakan “Manusia yang berkarakter adalah individu yang menggunakan seluruh potensi diri, mencakup pikiran, nurani, dan tindakannya seoptimal mungkin untuk mewujudkan kesejahteraan umum”.

2. Perilaku Moral dalam Islam

Pengertian akhlak dan moral sering disamakan dengan etika, ada pula ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan etika islam. Akhlak secara etimologi istilah yang diambil dari bahasa arab dalam bentuk jamak. Al-Khulq merupakan bentuk mufrod (tunggal) dari Akhlak yang memiliki arti kebiasaan, perangai, abiat, budi pekerti.

Tingkah laku yang telah menjadi kebiasan dan timbul dari dari manusia dengan sengaja. Kata akhlak dalam pengertian ini disebutkan dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal. Kata khulq dalam firman Allah SWT merupakan pemberian kepada Muhammad sebagai bentuk pengangkatan menjadi Rasul Allah”. Sebagaimana diterangkan dalam Qur’an Surat Al-Qalam ayat 4: “dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.

Secara etimologi kedua istilah akhlak dan etika mempunyai kesamaan makna yaitu kebiasaan dengan baik dan buruk sebagai nilai kontrol. Selanjutnya Untuk mendapatkan rumusan engertian akhlak dan etika dari sudut terminologi, ada beberapa istilah yang dapat dikumpulkan. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘ulumiddin, menyatakan bahwa, “Khuluk yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lairnya perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa pertimbangan dan pemikiran yang mendalam.”

Al-Ghazali berpendapat bahwa adanya perubahan-perubahan akhlak bagi seseorang adalah bersifat mungkin, misalnya dari ifat kasar kepada sifat kasian. Disini imam al-Ghazali membenarkan adanya perubahan-perubahan keadaan terhadap beberapa ciptaan Allah, kecuali apa yang menjadi ketetapan Allah seperti langit dan bintang-bintang. Sedangkan pada keadaan yang lain seperti pada diri sendiri dapat diadakan kesempurnaannya melalui jalan pendidikan. Menghilangkan nafsu dan kemarahan dari muka bumi sungguh tidaklah mungkin namun untuk meminimalisir keduanya sungguh menjadi hal yang mungkin dengan jalan menjinakkan nafsu melalui beberapa latihan rohani.

Baik dan buruk akhlak manusia sangat tergantung pada tata nilai yang dijadikan pijakannya. Abul A’la al-Maududi membagi sistem moralitas menjadi dua. Pertama, sistem moral yang berdasar kepada kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati. Kedua, sistem moral yang tidak mempercayai Tuhan dan timbul dari sumber-sumber sekuler (al-Maududi, 1971).
Sistem moral yang berdasar pada gagasan keimanan pada Tuhan dan akhirat dapat ditemukan pada sistem moral Islam. Hal ini karena Islam menghendaki dikembangkannya al-akhlaq al-karimah yang pola perilakunya dilandasi dan mewujudkan nilai Iman, Islam, dan Ihsan. Iman sebagai al- quwwah al-dakhiliyyah, kekuatan dari dalam yang membimbing orang terus ber-muraqabah (mendekatkan diri kepada Tuhan) dan muhasabah terhadap perbuatan yang akan, sedang, dan sudah dikerjakan. Dan ubudiyah adalah merupakan jalan untuk merealisasikan tujuan akhlak. Cara pertama untuk merealisasikan akhlak bahkan hanya dengan mengikatkan jiwa dengan ukuran-ukuran peribadatan kepada Allah. Akhlak tidak akan nampak dalam perilaku tanpa mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. (Hawa, 1977).

Sedangkan sistem moral yang kedua adalah sistem yang dibuat atau hasil pemikiran manusia (secular moral philosophies), dengan mendasarkan pada sumber-sumber sekuler, baik itu murni dari hukum yang ada dalam kehidupan, intuisi manusia, pengalaman, maupun akhlak manusia (Faisal Ismail, 1998). Sistem moral ini merupakan topik pembicaraan para filosof yang sering menjadi masalah penting bagi manusia, sebab sering terjadi perbedaan pendapat mengenai ketetapan baik dan buruknya perilaku, sehingga muncullah berbagai aturan perilaku dengan ketetapan ukuran baik buruk yang berbeda. Sebagai contoh aturan Hedonisme menekankan pada kebahagiaan, kenikmatan, dan kelezatan hidup duniawi. Aliran intuisi menggunakan kekuatan batiniyah sebagai tolok ukur yang kebenarannya bersifat nisbi menurut Islam. Aliran adat kebiasan memegangi adat kebiasaan yang sudah dipraktekkan oleh kelompok masyarakat tanpa menilai dari sumber nilai universal (al-Quran).

3. Pengaruh Pemakaian Jilbab Terhadap Perilaku Moral

Pada hakikatnya jilbab merupakan penutup aurat bagi wanita muslim dan diwajibkan bagi wanita muslim memakai jilbab di luar rumah. Jilbab diidentitaskan bahwa pemakainya adalah seorang muslim karena tingkatan bagi muslimah yang sejati akan terlihat jika selalu memakai busana yang selalu menutup auratnya bila bertemu yang bukan muhrimnya dan ketika keluar rumah. Di masyarakat umum masih banyak ditemui wanita muslim yang mempraktikkan pemakaian jilbab “kadang-kadang”, dalam pengertian belum seterusnya memakai jilbab.

Di dalam masyarakat umum wanita yang memakai jilbab juga ditemukan di kampus, dari mulai staf/karyawan, dosen sampai mahasiswi. Lembaga pendidikan formal yang mewajibkan warganya memakai jilbab merupakan lembaga yang basisnya beragama Islam seperti madrasah ataupun kampus swasta Islam, di kampus negeri ataupun swasta juga dapat kita lihat banyak mahasiswinya yang memakai jilbab ketika di kampus.

Fenomena menarik pada pola pemakaian jilbab di kalangan mahasiswi FKIP Universitas Pasundan Bandung memberi daya tarik bagi peneliti untuk mengetahui lebih dalam tentang hal tersebut. Di kampus negeri tersebut terdiri dari murid laki-laki dan wanita yang mayoritas beragama Islam dan beberapa mahasiswa yang beragama non Islam. Ternyata, kebanyakan mahasiswi di kampus tersebut banyak yang memakai jilbab. Namun, pemakaiannya belum dijadikan suatu kewajiban pada diri mahasiswi baru beberapa saja mahasiswi yang memakai jilbab sebagai kewajiban dan untuk sebagian pula hanya dijadikan mode yang sedang nge-trend. Padahal dengan berjilbab sedikit banyak dapat mempengaruhi jiwa wanita sehingga dapat membentuk budi pekerti yang luhur. Sebab aktivitas berjilbab tidak hanya mementingkan cara berjilbab, bentuk, ukuran, dan nilai seninya saja, akan tetapi juga diharapkan dapat mencerminkan perilaku yang baik terhadap sesama dan pribadi yang berakhlak mulia. Sehingga mereka yang sebelum berjilbab menghabiskan waktu mereka dengan kegiatan yang kurang bermanfaat setelah memakai jilbab diharapkan sedikit demi sedikit dapat merubah kebiasaan tersebut, yang akhirnya dapat menjadi wanita muslimah yang berakhlak mulia. Sehingga, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di FKIP Universitas Pasundan Bandung.

1 Like