Bagaimana pengaruh Islam dalam sosio budaya dan jejak arkeologi di Ternate?

Masjid Jami Tidore Pengaruh Islam hadir di wilayah Kepulauan Maluku sejak Abad 14, yang ditandai dengan berdiri dan berkembangnya Kerajaan dengan pemerintahan bercorak Islam. Di Wilayah Maluku Utara di kenal empat Kerajaan Islam yang besar dan pengaruhnya yang tersebar luas. Empat Kerajaan tersebut adalah Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di Wilayah Maluku bagian selatan, dikenal juga kerajaan yang cukup besar pengaruhnya dan perkembangannya sejaman dengan wilayah kerajaan Ternate, yakni Kerajaan Hitu, di bagian utara Pulau Ambon. Perkembangan kerajaan-kerajaan tersebut seiring pula dengan laju gerak niaga yang melibatkan para pedagang asing seperti pedagang Arab, Persia, China, Jawa serta Sumatra. Berkembangnya gerak niaga, dipicu oleh kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah kepulauan Maluku, yakni cengkeh dan pala yang terkenal di seluruh dunia.

Persentuhan wilayah Maluku dengan budaya Islam dapat dijejaki adanya bukti-bukti peninggalan budaya Islam pada awal persentuhannya hingga masa berkembangnya sebagai agama resmi kerajaan. Di Wilayah Ternate, Tiodre, Bacan dan Jailolo, bukti-bukti peninggalan kerajaan Islam seperti Majid Kuno, Alquran kuno dan berbagai peninggalan lainnya membuktikan bahwa pengaruh budaya Islam di wilayah itu sangat kuat. Dapat dikatakan wilayah Ternate, Tiodre, Jailolo dan Bacan adalah wilayah-wilayah pusat peradaban Islam. Pada abad 15-16 Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo di Maluku Utara adalah wilayah-wilayah pusat Kerajaan Islam yang pengaruhnya menyebar ke seluruh wilayah Kepulauan Maluku, bahkan hingga ke sebelah barat dan timurnya. Di bagian selatan Maluku, Kerajaan Hitu di Pulau Ambon dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam. Dari wilayah pusat perdaban dan kekuasaan Islam inilah, kemudian dengan cepat berkembang ke wilayah-wilayah lainnya, seiring laju perdagangan serta ekspansi kekuasaan.

Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang. Di wilayah Pulau Ambon, Kerajaan Hitu juga dianggap sebagai pusat peradaban dan kekuasaan Islam yang sezaman dengan Ternate. Jika kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif, telah memberdayakan masyarakat nusantara untuk keluar dari paham-paham primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan penting di bidang sosial dan struktur politik, maka di wilayah Maluku, wilayah-wilayah pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal, dapat dikatakan mewakili anggapan itu. Pusat-pusat kekuasaan Islam Maluku telah berkembang menjadi daerah kesultanan yang melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke wilayah-wilayah seberang.

Sejarah mencatat, Ternate dan Tidore adalah dua kerajaan di wilayah Maluku Utara yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara. Ternate, melebarkan sayap ke wilayah selatan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Buru, Seram Bagian Barat dan Tengah. Sementara itu Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah kepulauan di sisi paling timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya. Kedua wilayah kesultanan itu saling bersaing melebarkan sayap kekuasaannya hingga keluar wilayah geografisnya ke wilayah pulau-pulau diseberang lautan.

Selain pelebaran sayap kekuasaan yang bertendensi politis, kerajaan-kerajaan besar tersebut juga menyebarkan dan mengembangkan paham-paham bertendensi kultural. Salah satunya adalah penyebaran dan pengembangan agama Islam di wilayah-wilayah pelebaran kekuasaan tersebut. Pengislaman wilayah seberang kesultanan Ternate, tidak lepas dari peranan pusat kekuasaaan itu sendiri. Oleh karena itu bagian selatan Kepulauan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Seram dan pulau-pulau lainnya, keagamaan Islam menyebar dan berkembang berasal dari wilayah kerajaan di Maluku Utara, terutama Ternate dan Tidore. Dalam hal ini Hitu di Pulau Ambon adalah sebuah pengecualian, karena perkembangan Islam di Hitu sezaman dengan Ternate, bahkan sejarah mencatat Raja Hitu bersama Sultan I Ternate, yakni Zaenal Abidin belajar Islam pada waktu bersamaan di Gresik. Justru, dari pertemuan itu keduanya membangun relasi politik antara Hitu dan Ternate dalam suatu ikatan perjanjian yang mungkin sekali juga tentang penyebaran agama Islam di wilayah masing-masing. Proses pengislaman wilayah-wilayah seberang di wilayah Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, biasanya selain karena ekspansi politik, juga dibarengi dengan agenda-agenda perluasan perdagangan.

Jejak-jejak arkeologi atau bukti fisik pengaruh budaya Islam dapat dilihat dengan berbagai bentuk tinggalan budaya Islam masa lampau baik peninggalan kerajaan maupun peninggalan daerah negeri-negeri yang bercorak Islam. Daerah Pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara peninggalan arkeologi yang monumental misalnya istana atau kedaton, masjid kuno, alqur‟an kuno dan berbagai naskah kuno lainnya, selain tentu saja berbagai benda pusaka peninggalan kerajaan. Sementara itu, di wilayah Maluku bagian selatan, meskipun tidak berkembang menjadi sebuah kesultanan dengan wilayah kekuasaan yang lebih luas, namun pengaruh Islam dapat dilihat dengan adanya negeri-negeri bercorak keagaaam Islam. Diantara negeri mbergabung menjadi kesatuan adat yang menunjukkan adanya ikatan integrasi sosial yang kuat. Meskipun tidak berkembang menjadi daerah Kesultanan namun negeri-negeri tersebut memiliki pemerintahan dan simbol-simbol kepemimpinan tertentu. Selain itu dapat dijumpai pula beberapa bangunan monumental peninggalan Islam yang tidak jauh berbeda dengan peninggalan yang terdapat di pusat-pusat kekuasaan Islam diantaranya masjid kuno, naskah kuno dan berbagai barang pusaka kerajaan.

Jika di wilayah Maluku Utara terkenal dengan sebutan Moluko Kie Raha, yakni empat kerajaan sebagai pusat kekuasaan Islam yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, di wilayah Maluku bagian selatan, juga dikenal beberapa wilayah negeri yang juga dikenal dengan sebutan kerajaan, yakni Kerajaan Hitu, sebagai kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang paling besar yang selama ini dikenal dalam catatan sejarah. Ada pula kerajaan Hoamoal, di wilayah Seram Bagian Barat, yang juga tersiar dalam berbagai penulisan sejarah sebagai wilayah kerajaan Islam yang memiliki periodesasi yang sama dengan Kerajaan Hitu, dan bahkan menjalin kerjasama dalam rangka mengikis hegemoni kolonial. Di Pulau Haruku, terdapat persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw, Kailolo, Kabauw, Hulaliu dan Rohomoni yang disebut sebagai Amarima Hatuhaha, masing-masing juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha yang berpusat di desa Rohomoni.

Di Pulau Saparua, terkenal dengan kerajaan Iha dan Honimoa (Siri Sori Islam), sebagai dua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh di wilayah itu sehingga dikenal sebagai sapanolua artinya sampan dua atau perahu dua yang dimaksudkan ialah pulau Saparua mempunyai dua Jasirah yang besar yang diatasnya berkuasa dua orang raja dengan tanahnya yang sangat luas itu disebelah utara Raja Iha dengan kerajaanya dan di sebelah tenggara Raja Honimoa (Sirisori dengan Kerajaannya).

Beberapa catatan sejarah menyebutkan, di wilayah Maluku, Islam hadir karena penyebaran yang berasal dari Ternate. Jaffaar menuliskan, Islam adalah salah satu faktor ikatan integrasi, oleh karena itu daerah-daerah yang telah menerima Islam, seperti Hoamoal (Seram Barat), Saparua, Haruku dan sebagainya, menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan, bagian dari kesultanan Ternate. Dapat disimpulkan kehadiran Islam di beberapa daerah di bagian selatan Kepualuan Maluku atau daerah Propinsi Maluku tak dapat dilepaskan dari gerakan Islamisasi dan ekspansi kekuasaan oleh Kesultanan Ternate. Meski demikian, Islam terbukti telah menjadi salah satu faktor ikatan integrasi, oleh karena itu daerah-daerah yang telah menerima Islam, menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan, bagian dari kesultanan Ternate.

Islam, sebagai agama maupun kultur merupakan media ikatan integrasi, terbukti telah menyatukan berbagai negeri dalam satu ikatan kekuasaan politik dan kultural. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, wilayah-wilayah yang menerima Islam, secara otomatis juga mengakui kekuasaan kerajaan besar penyebar Islam. Daerah-daerah di wilayah bagian selatan Kepulauan Maluku baik sebagai kerajaan maupun negeri menyatakan menerima Islam sekaligus menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan bagian dari kekuasaan Kerajaan Ternate ataupun Tidore. Dapat dijelaskan pula, daerah-daerah Islam di bawah kekuasaan kerajaan Hitu di Pulau Ambon, merupakan negeri-negeri Islam yang memiliki pemerintahan adat sendiri, namun mengakui Hitu sebagai kerajaan Islam yang merupakan induk dari wilayah Islam lainnya di jazirah Leihitu Pulau Ambon, bahkan pengaruhnya kemungkinan juga menyebar ke wilayah pulau-pulau lainnya.

Di Hitu, terdapat peninggalan mesjid Kuno yang tinggal puing-puing pondasi saja, dinamakan mesjid Tujuh Pangkat. Menurut Hikayat Tanah Hitu penamaan masjid tujuh pangkat diberikan oleh Empat Perdana Hitu berdasarkan tujuh negeri yang menjadi wilayah Hitu pada masa itu. Penyebutan mesjid Tujuh Pangkat ini juga secara arkeologis dibuktikan dengan tujuh susunan batu yang sisa-sisanya masih ada. Di Pulau Haruku, terdapat persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw, Kailolo, Kabauw, Hulaliu dan Rohomoni yang disebut sebagai Amarima Hatuhaha, masing-masing juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha yang berpusat di desa Rohomoni. Dari kelima negeri itu, hanya Hulaliu yang saat ini merupakan desa Kristen. Hal ini merupakan salah satu pengaruh dari hegemoni Kolonial yang snagta kuat baik secara politik maupun kultur. Bukti arkeologis menyatunya kekerabatan Amarima Hatuhaha ini yakni dengan dibangunnya masjid kuno yang dinamai Masjid Uli Hatuhaha.

Demikian juga di Kepuluan Gorom, sebagai wilayah penyebaran Islam yang berasal dari Kerajaan Tidore. Di wilayah ini terdapat 3 (tiga) negeri atau kerajaan kecil yang berpemertintahan otonom namun menyatakan diri sebagai wilayah dari persekutuan 3 (tiga) wilayah negeri sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan yakni Negeri Kataloka, Ondor, dan Amar Sekaru yang merupakan negeri-negeri adat bercorak Islam. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu, menerima Islam dan mengakui sebagai bagian dari kekuasaan Kerajaan Tidore. Demikian pula di Pulau Saparua, terdapat Kerajaan Islam Iha, yang juga merupakan gabungan negeri-negeri sebagai satu kesatuan politik dan budaya.

Dengan demikian, penerimaan keagamaan Islam secara resmi oleh pemerintah dalam hal ini kerajaan ataupun negeri telah menandai bersatunya beberapa pemerintahan otonom dalam persekutuan pemerintahan yang secara politis mengakui adanya satu wilayah tertentu sebagai induk atau pusat pemerintahan. Bukti-bukti arkeologi atau peninggalan budaya materi hingga saat ini masih dapat ditemukan dan dapat menjadi petunjuk paling berharga untuk melihat bagaimana identitas sosial masyarakat dalam dinamika keagamaan pada masa pengaruh Islam mulai masuk hingga masa terbentuknya kerajaan atau kesultanan dengan corak pemerintahan Islam. Sejurus dengan itu kemudian menjadi agama resmi kerajaan hingga menjadi anutan masyarakat hingga menjelang kolonial masuk, seterusnya pada masa hegemoni kolonial dan masa hengkangnya dari bumi Maluku.

Bentuk Peninggalan Islam di Ternate


Kerajaan Ternate meninggalkan berbagai macam peninggalan penting jejak sejarah sejak berdirinya Ternate sampai masa kemasan hingga sekarang, seperti :

Komplek Istana/ Masjid dan Makam

Istana kesultanan Ternate bergaya abad ke-19 berlantai dua menghadap ke arah laut, dikelilingi perbentengan, terletak satu komplek dengan masjid Jami Ternate yang terletak di wilayah administratif Soasiu, Kelurahan Letter C, Kodya Ternante. Pemugaran masjid ini telah dilaksanakan sebanyak dua kali antar 1978-1982 oleh Mendikbud yang dipimpin oleh DR. Daoed Joesoef. Komplek ini dijadikan sebuah Museum Kesultanan Ternate.

Masjid Jami Kesultanan Ternate berada dalam Komplek Kesultanan Ternate berdenah Persegi, menghadap ke timur dan didirikan oleh Sultan Hamzah, Masjid memiliki atap bersusun tujuh, dengan luas masjid 22.40 X 39.30m dengan tinggi keseluruhan 21.74 m. Masjid memiliki 4 tiang utama dan 12 tiang penyokong, masjid dikelilingi pagat tembok dengan pintu gapura beratap dua susun yang berfungsi sebagi menara adzan terletak di belakang komplek makam terdapat pemakaman yang juga dikelilingi tembok, luas dari komplek makam utara 65m, timur 30 m, selatan 65m dan barat 21 m. terdapat makam sultan-sultan yang menjabat anatar abad 18-20 diantaranya : Sultan Siraju Muluk Iskandar sampai dengan Sultan Muhammad Uthman.

Makam disini dapat dibedakan anatara dua yaitu berhias dan tidak berhias, ragam hias umumnya bercorak floralistik, berpola jalinan/ susunan daun-daunan khas Ternate, sering dianggap pola hias Polinesia. makam Sultan Muhammad Uthman (W. 1212 H/ 1728 M), Sultan Amiruddin Iskandar (W. 1276 H/1850 M) Sultan Muhammad Ali (W.1226 H/ 1811 M) dan beberapa makam sultan yag menjabat tahun-tahun belakangan. Selain komplek makam tersebut terdapat makam-makam di luar komplek tersebut yang berada di bukit Formadyahe diantaranya : Sultan Khairun dan Sultan Babullah, namun makam keduanya tidak berhias.

Koleksi Istana Kesultanan Ternate

Koleksi istana yang telah menajadi koleksi artefak Museum Kesultanan Ternate, menurut para ahli tahun 1995 setelah di identifikasi pengelompokan koleksi Museum sebagai berikut :

Kelompok Artefak Nomor Jenis Artefak
Ideofak 1 Al – Qur‟an
2 Cis
3 Tempat berdoa
1 Bendera atau apanji-panji
2 Singgasana/ mahkota, dll.
3 Tongklat kebesaran
1 Pedang/ tombak/ senapan
2 Topi militer
3 Baju besi
4 Tameng /perisai

Pada museum ini tersimpan berbgai macam peninggalan yang bercirikan Ideofak, yang menyimpan berbagai peninggalan sejarah seperti Naskah, Perhiasan, serta Al-Qur’an yang ditulis di Maluku. Perhiasan emas amat menjadi identitas Kesultanan Ternate karena emas menandakan suatu ornamen dari kesultanan Ternate.

Selai itu Museum menyimpan banyak Naskah / Maklumat yang dikeluarakan Baik dari dari Kesultanan dan Juga Negeri asing (Belanda), Selain itu terdapat enam Jilid Al-Qur’an yang di tulis ulama setempat, serta koleksi Senjata buatan lokal maupun Asing, seperti : Meriam Sundut yang berukuran Kecil dan sedang beserta pelurunya yang dibuat oleh, Portugis, Inggris dan Belanda.

Peninggalan Kolonial

Pada masa kolonial terdapat banyak peninggalan berupa benteng-benteng yang berada sejak abad 17-20, diantaranya : Portugis, Benteng Sanata Lucia (1502 M), Benteng Santo Paolo (1522 M) di kampung Kastela, Benteng santo Pedro dikampung Laguna, dan Benteng Santo Ana, Benteng Belanda, Fort Oranje (1609M).

Al-Quran

Salah Satu Al-Quran di Asia Tenggara yg berusia 800 tahun, Al Quran tua milik kesultanan Ternate, Al Quran tua ini terbuat dari kulit kayu berisikan ayat-ayat Allah lengkap 30 juz (114 surat) dengan pembungkus berupa kotak dari kayu Al-Quran kuno ini dibawa ke Alor Besar pada 1519 M oleh Iang Gogo yang merantau bersama keempat saudaranya dengan misi penyebaran Agama Islam hingga ke Alor. Al Quran ini dibawa pada masa Kesultanan Babullah ke-5 bersaudara berlayar dari Ternate dengan menggunakan perahu layar yang menurut riwayat bernama Tuma Ninah, yang berarti berhenti atau singgah sebentar.

Al Quran tersimpan di rumah pondok sekitar tahun 1982, saat itu, terjadi kebakaran besar yang melanda rumah pondok tempat menyimpan Al Quran tua ini yang menghanguskan seluruh bangunan dan dan isi rumah termasuk semua benda-benda peninggalan Ia Gogo yang dibawa dari Ternate. Namun Alhamdulillah, Al Quran tertua ini tidak terbakar dan hingga saat ini masih tetap terawat dan utuh ,sampai sekarang masih tetap terjaga di Kedaton Kesultanan Ternate