Bagaimana pengaruh ikhlas dalam amal perbuatan manusia ?

Ikhlas

Ikhlas adalah mendekatkan diri pada Allah semata tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri pada Allah.

Bagaimana pengaruh ikhlas dalam amal perbuatan manusia ?

Allah telah menjelaskan bahwa amal tanpa disertai dengan keikhlasan karena Allah dan syariat yang benar, maka perbuatan itu tidak akan diterima dan sia-sia saja amalannya. Jika ikhlas itu diperuntukkan kepada Allah dan ikhlas dalam mengesakannya, maka ikhlas itu akan terealisasi dalam amal perbuatan.

Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa Allah tidak menerima satu amal pun tanpa disertai keikhlasan, dan amalnya tidak akn diridhai di sisi Allah. Amal yang tidak didasari ikhlas adalah bagaikan gambar mati, raga tanpa jiwa. Allah hanya menginginkan hakikat amal, bukan rupa dan bentuknya. Sedang Allah meridhai amal saleh, jika disertai dengan keikhlasan, terlepas dari syirik kecil maupun yang besar, yang tampak maupun yang tersembunyi.

Ikhlas dalam amal tidak akan terwujud kecuali dilandasi dua unsur yang fundamental:

  • Menghadirkan niat dalam amal, sebab semua amalan bergantung kepada niat; dan

  • Melepaskan dari noda-noda individual dan duniawi, sehingga amal itu murni karena Allah.

Ikhlas erat kaitannya dengan niat, niat merupakan dorongan-dorongan yang berasal dari hati, kalau hati tertembus hidayah dari Allah, tentu hati akan condong untuk menjalankan perintah Allah agama, maka mudah baginya menghadirkan niat ikhlas menuju kebaikan. Berangkat dari sini, bahwa niat itu dapat menimbulkan motivasi-motivasi untuk berbuat baik bahkan sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya. Namun, bagi orang yang condong pada dunia dan tunduk pada hawa nafsunya, maka hal demikian tidak mudah baginya, bahkan untuk melaksanakan hal-hal yang bersifat fardhu sekalipun, kecuali jika dipaksakan.

Ada manusia yang menghendaki kehidupan dunia saja, dan ada manusia yang menghendaki akhirat. Dunia hanya sebagai sarana bukan tujuan utama, sehingga akan mendapatkan dunia dan akhirat. Berkenaan hak itu, Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 18-19:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam Keadaan tercela dan terusir. Dan Barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik”.

Allah memberikan balasan kepada amal seseorang menurut niat dan apa yang dikehendakinya. Firman Allah surat Al-Syura ayat 20:

“Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.

Peranan niat penting dalam diri seseorang, apabila dalam niatnya terdapat motivasi yang baik dan benar akan menghasilkan perbuatan yang jelek dan menimbulkan kerusakan di dunia. Ikhlas adalah sangat penting dalam amal saleh, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal saleh, tanpa ikhlas amal saleh tidak diterima di sisi Allah. Dan tercantum juga dalam Firman Allah swt,

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. Q.S. al-Bayyinah ayat 5.

Ikhlas yang sudah tertanam kuat dalam diri seseorang akan mempengaruhi amal perbuatan manusia, antara lain:

  1. Orang yang ikhlas akan senantiasa istiqamah dalam melakukan amal perbuatan.

    Semua perintah ibadah dilakukan hanya untuk mencari keridhaan Allah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Rasul yang selalu ikhlas dalam menjalankan ibadah. Allah tidak akan menerima ibadah hamba-hamba-Nya kecuali dengan dua syarat yaitu selalu kontinyu dalam amal perbuatan yang sesuai dengan syariat Allah dan ikhlas dalam menjalankan syariat tersebut, tidak dikotori oleh syirik kepada-Nya.

    Segala sesuatu yang dilakukan karena Allah, akan abadi dan berkesinambungan, tidak mundur dan tidak malas-malasan. Karena perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah, bukan untuk mencari kepentingan pribadi. Dalam diri mereka itu terdapat sifat konsisten terhadap ikrak syahadatnya dan tanggung jawab terhadap amalnya (ikhlas) tidak pernah sirna dari dirinya.

    Sedang orang yang beramal karena nafsu perut dan kemaluan, akan menghentikan amalnya jika dia tidak mendapatkan sesuatu yang mengenyangkan nafsunya. Orang yang beramal karena mengharap ketenaran dan kedudukan, tentu akan bermalas-malsan atau merasa berat jika ada pertanda harapannya akan kandas. Orang yang beramal karena mencari muka di hadapan pemimpin atau penguasa, tentu akan menghentikan amalnya jika pemimpin tersebut dipecat atau meninggal. Orang seperti ini hanya mementingkan dirinya sendiri dan merugikan orang lain, dan kelak di akhirat mereka akan menjadi orangorang yang merugi.

  2. Ikhlas dapat menghilangkan kemudharatan.

    Keikhlasan dalam ibadah dapat menghingakan sifat buruk yang dalam melakukan sesuatu perbuatan ditujukan untuk selain Allah. Sedangkan seorang yang selalu ikhlas dalam ibadah kepada Allah dan keikhlasan yang direfleksikan dalam amal perbuatan tersebut hanya bertujuan satu yaitu hanya untuk Allah semata dan tidak untuk selain-Nya.

    Dengan kemurnian ibadahnya kepada Allah, orang mu’min terbebas dari kesengsaraan dan kesesatan penyembahan kepada selain Allah, seperti terhadap harta, kedudukan, dan kesenangan dunia lainnya. Mereka hanya mencari keridhaan Allah dan tujuan kepada akhirat. Sehingga tidak akan mudah tergoda oleh dunia.

    Orang yang ikhlas akan menjadikan dunia ini sebagai sarana untuk menuju akhirat, bukan sebagai tujuan utama. Sehingga tidak menjadi budak dunia atau kita diperbudak dunia karena perbuatan kita sendiri, dan menjadikan dirinya sengsara baik di dunia maupun di akhirat.

Referensi :

  • Imam AI Ghazali, dkk, Pembersih Jiwa, (Bandung :Pustaka, 1990).
  • Sayyid Qutub, Fi Zilal Al-Qur’an, II (Bairut: Lihanon, t.t),.
  • Isma„il Haqqiy Al Burwasawiy, Tafsir Ruh Al-Bayan, (Mesir :Dar al fikri, t.t).