Bagaimana Penerapan dan Kritik dari Inflation Targeting Framework?

Penerapan dan Kritik dari Inflation Targeting Framework

Bagaimana Penerapan dan Kritik dari Inflation Targeting Framework ?

Penerapan Inflation Targeting Framework


Dalam pelaksanaannya ITF tidak secara frontal melakukan stabilisasi terhadap inflasi. Sebaliknya ITF secara gradual mengarahkan inflasi dari level yang sedang terjadi menuju ke level steady state yang diinginkan. Alasan penekanan pada inflasi sebagai target utama kebijakan moneter adalah karena pada umumnya pada ahli ekonomi sepakat bahwa kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi besaran riil output dan pengangguran dalam jangka pendek.

Derajat penerapan target inflasi juga berbeda diantara negara-negara yang menerapkan ITF. Selandia Baru merupakan negara yang sangat ketat dalam menjalankan ITF. Untuk menjaga tingkat disiplin otoritas moneter terdapat kontrak yang memberi sanksi jika Bank Sentral gagal mewujudkan target inflasi. Sementara pada negara lain tidak terdapat sanksi khusus jika target inflasi tidak tercapai.

ITF juga memberikan ruang untuk stabilisasi jangka pendek output dan nilai tukar. Ruang itu diberikan pertama dengan menghilangkan pengaruh inflasi dari supply shock seperti dari masalah energi dan pangan.Kedua adalah penggunaan kisaran (range) untuk memberikan keleluasan dalam jangka pendek. Ketiga target inflasi jangka pendek dapat disesuaikan untuk mengakomodasi supply shock yang diluar kendali bank sentral.

ITF bukan pendekatan yang bersifat rule karena tidak ada rule sederhana atau prosedur mekanis yang digunakan dalam penerapannya dan Bank Sentral dapat menggunakan model struktural dan judgment. Selanjutnya tidak ada informasi yang dikesampingkan seperti penggunaan rule pada umumnya. Bank sentral masih bisa melakukan diskresi dalam jangka pendek untuk mempengaruhi output, pengangguran karena pencapaian target inflasi dalam jangka menengah dan panjang.

Kritik Terhadap ITF


Galbraith (1997) memberikan komentar atas penelitian Bernanke dan Mishkin (1997) bahwa ITF berjalan atas pondasi yang lemah dimana para ahli ekonomi masih belum sepakat tentang teori yang melatar belakangi ITF yakni Non Accelerating- Inflation Rate of Unemployment (NAIRU). Selain itu ITF hanya membuat bank sentral tidak peduli kepada besaran kinerja ekonomi makro lain yang penting yakni ouput dan pengangguran karena menjadikan inflasi sebagai satu-satunya jangkar nominal untuk menentukan kebijakan moneter yang diambil.Selain itu dari klaim capaian ITF yakni rendahnya inflasi di Negara ITF,sebagaimana disampaikan sendiri oleh Bernanke dan Mishkin (1997), telah terjadi sebelum penerapan ITF sehingga tidak bisa dianggap sebagai capaian dari penerapan ITF.

Dari sudut transparansi yang menjadi fitur utama, ITF juga mendapatkan sorotan tajam. Friedman (2004) menyatakan bahwa ITF justru tidak transparan karena Bank Sentral negara ITF pada kenyataannya tetap memperhatikan besaran makro ekonomi selain inflasi seperti output, tingkat pengangguran atau nilai tukar. Sementara dalam penyampaiannya kepada publik hanya terbatas kepada besaran target inflasi yang ingin dicapai.

Sementara itu Stiglitz (2008) dalam sebuah artikel mengatakan bahwa dewasa ini inflasi di banyak negara terjadi karena kenaikan harga pangan dan energi dunia.Upaya meredam inflasi tersebut dengan menaikkan suku bunga pada negara yang menerapkan ITF tidak dapat menyelesaikan masalah karena sumber inflasi merupakan imported inflation. Dalam kondisi seperti itu maka kenaikan suku bunga justru akan membuat perekonomian berjalan lebih lambat dan semakin tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan pangan dan energi.

Pendukung ITF sendiri mencatat terdapat tiga kelemahan dalam ITF (Mishkin 1999). Kelemahan pertama adalah pada permasalahan akuntabilitas bank sentral dikarenakan inflasi merupakan besaran ekonomi makro yang sulit untuk dikendalikan. Selain itu terdapat lag kebijakan moneter yang panjang dalam pencapaian target inflasi.

Kelemahan berikutnya adalah ITF tidak dapat mengatasi dominasi kebijakan fiskal. Artinya jika kebijakan fiskal tidak disiplin yang ditunjukkan misalnya dengan semakin besarnya defisit anggaran maka penerapan ITF dapat berakhir. Bank sentral pada akhirnya terpaksa melakukan debt monetizing untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Namun kelemahan ini terjadi juga pada rezim kebijakan moneter yang lain. Dalam hal ini ITF memiliki kelebihan jika pemerintah dapat bersama dengan penguasa moneter duduk bersama berkoordinasi menetapkan target inflasi.

Kelemahan ketiga adalah ITF dapat menimbulkan ketidakstabilan karena ITF memerlukan sistem nilai tukar yang flexible. Permasalahan ini dikenal sebagai bagian dari impossible trinity dimana independensi bank sentral dalam menetapkan kebijakan hanya akan dapat diperoleh ketika sistem nilai tukar dibiarkan mengambang. Dalam sebuah sistem mata uang dengan kurs tetap maka independensi kebijakan bank sentral akan terbentur pada kendala untuk menjaga nilai tukar pada nilai tertentu