Istilah birokrasi merusak demokrasi sudah sering terdengar akhir-akhir ini,mengingat kata demokrasi menjadi kata yang “sakral” di Indonesia . Bagaimana pendapatmu terkait dengan istilah tersebut ?
Eksistensi Birokrasi Menyebabkan Dilema Bagi Demokrasi
Peran birokrasi dalam sistem demokratis mempunyai banyak persoalan. Aturan main (rule of game) sistem demokrasi definisinya sangat terbatas, ambigu, sering saling bertolak belakang satu sama lain. Karena itu, argumen pertama saya dalam relasi birokrasi dan demokrasi ini adalah bahwa eksistensi birokrasi menyebabkan dilema bagi demokrasi.
Birokrasi menjadi ancaman bagi demokrasi karena pertama, birokrasi bisa menjadi alat bagi perluasan dominasi negara, misalnya partai yang sedang berkuasa, dan lebih jauh lagi mungkin menjadi alat bagi penindasan yang dilakukan oleh negara.
Kedua, penelitian terkini misalnya menunjukan perluasan peran birokrasi akibat kemajuan teknologi yang dengannya pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data informasi tentang warga negaranya, telah memperkuat kekuasaan negara lewat birokrasinya. Karena itulah kemudian teridentifikasi bahwa birokrasi memiliki potensi menerobos kebebasan dan privasi warganegara. Kedua prinsip tersebut justru merupakan esensi dari demokrasi. Lebih jauh lagi, birokrasi pula yang harus menjaga dan melindungi kerahasiaan tersebut.
Ketiga, birokrasi memiliki potensi untuk bisa lolos atau bebas dari kontrol para politisi yang terpilih lewat pemilu. Dengan kata lain penyebab birokrasi menjadi dilema bagi demokrasi adalah birokrasi merupakan satu unit yang perlahan-lahan menjadi independen dan kuat, sementara aturan yang melingkupi penerapan kekuasaan tersebut tidak terdefinisi dengan jelas. Pada titik ini, birokrasi kemudian dapat mengancam keberadaan institusi atau struktur demokratis dan pada para politisi yang mengomandani institusi-institusi tersebut. Pada saat yang sama, birokrasi yang independen dan kokoh juga dibutuhkan untuk menghindari korupsi politik dan demi menjaga keberlangsungan proses demokrasi. Karena itu, birokrasi adalah ancaman sekaligus hal yang dibutuhkan oleh demokrasi.
Peluang ancaman birokrasi terhadap demokrasi memunculkan pertanyaan, hal apa dari birokrasi yang kemudian dibutuhkan oleh demokrasi? Proses pengalokasian sumber daya yang menjadi peran utama negara-negara modern harus dilakukan oleh sebuah institusi netral dengan menggunakan kriteria-kriteria yang juga bersifat netral, non-partisan. Dan tugas ini hanya bisa dilakukan oleh birokrasi, ketimbang dilakukan oleh partai politik yang akan jauh lebih partisan daripada birokrasi. Ukuran-ukuran yang dipakai harus netral, yakni pertimbangan-pertimbangan yang ada di luar proses dukung-mendukung sebagaimana yang terjadi dalam partai politik. Kalau tugas alokasi sumber daya ini diberikan pada politisi, dasar-dasar yang akan mereka gunakan adalah kepentingan kelompoknya sendiri, yang akan menguntungkan mereka, para pendukungnya dan demi kepentingan jangka panjang mereka. Situasi seperti ini akan menciptakan pelanggaran-pelanggaran terselubung, sejenis korupsi politik yang justru akan mengubah proses pemilu menjadi sesuatu yang tidak terpuji. Situasi seperti ini hanya bisa dihindari kalau sebuah lembaga yang netral, kuat, independen yang bisa meminggirkan kepentingan-kepentingan kelompok bisa dalam penentuan alokasi sumber daya.
Birokrasi-lah yang dianggap dapat melakukan peran ini. Lewat cara ini birokrasi kemudian dapat menyelamatkan sistem demokrasi. Persis di titik inilah birokrasi justru memiliki peluang memberi persoalan (dilema) bagi demokrasi. Di satu sisi ada ancaman terbebaskannya birokrasi dari proses kontrol politik oleh politisi (misalnya karena keahlian, lama dibidangnya, lebih paham persoalan dari pada politisi); dan di sisi lain ada keperluan juga bagi birokrasi untuk bisa dilepaskan dari proses kontrol politisi (misalnya dari campur tangan birokrasi dalam pengambilan keputusan, dalam penentuan jabatan karier, posting pejabat dalam posisi strategis) justru demi melindungi diri dari kemungkinan gangguan terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Demokrasi Menyebabkan Dilema Bagi Birokrasi
Argumentasi kedua adalah sebaliknya bahwa demokrasi menyebabkan dilema bagi birokrasi termasuk para birokrat yang berada dalam lembaga birokrasi. Karena demokrasi memiliki aturan main yang sering kacau, birokrasi ditempatkan dalam posisi yang terikat dalam dua hal. Berdasarkan aturan main, birokrasi diharapkan bersikap netral sekaligus patuh; hanya bertanggung jawab pada pekerjaan yang diurusi dan sekaligus tunduk pada tanggung jawab yang sudah digariskan oleh kementerian masing-masing; bersikap politis dan non-politis pada saat yang sama.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis, birokrasi diikat oleh dua hal sekaligus ;
- Birokrasi bekerja dan diatur para politisi tapi sekaligus juga dibebaskan dari kontrol tersebut;
- Birokrasi bekerja di bawah aturan kementrian tertentu, tapi pada saat yang sama harus juga bertanggung-jawab atas tindakannya sendiri;
- Birokrasi bertugas menerapkan peraturan yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan yakni para politisi tapi pada saat yang sama juga bertugas dalam formulasi kebijakan tersebut;
- Birokrasi bertugas membuat kebijakan dan pada saat yang sama juga harus netral secara politik
- Singkat kata, birokrasi diharapkan politis dan tidak politis dalam waktu yang bersamaaan.
Ketika birokrasi terlibat dalam pembuatan formula kebijakan, pejabat birokrasi yang lebih tinggi terlibat dalam pengambilan kebijakan alokasi sumber daya. Karenanya para pejabat ini terlibat dalam kekuasaan atau politik. Dalam menjalankan peran ini para pejabat senior ini tidak bisa tidak tunduk juga pada tekanan yang berasal dari kelompok-kelompok kepentingan, harus pula memberi respon terhadap tekanan ini, dan bahkan melakukan manuver di antara tekanan-tekanan tersebut, persis sebagaimana yang dilakukan oleh seorang politisi.
Birokrasi dari ilustrasi ini jelas terlibat dalam politik. Namun demikian, menurut banyak pengamat, keterlibatan politik jenis ini sah atau legitimate, dianggap berguna bagi proses demokrasi, dan merupakan peran yang memang harus dijalankan birokrasi dalam sistem yang demokratis. Kalau kemudian birokrasi mendukung salah satu partai politik lewat kebijakannya, tipe politisasi seperti ini dianggap tidak sah dan melemahkan proses demokrasi. Masalahnya terletak pada kenyataan bahwa banyak sekali jenis kebijakan yang sulit dilepaskan dari kepentingan kelompok tertentu seperti parpol. Garis antara politik kebijakan (politics of policy) dan kebijakan parpol (party politics) amat kabur, karenanya sulit ditentukan, dan justru hal seperti inilah yang lebih sering terjadi.