Bagaimana pemikiran Politik Niccolo Machiavelli?

Filsuf ini hidup di zaman renaisans, sebagai seorang yang terlibat politik. Machiavelli adalah nama seorang genius yang sangat besar perannya dalam sejarah.Pikiran-pikirannya diam-diam atau terang-terangan ternyata menjadi ptaktik politik dibanyak Negara dewasa ini, diabad ke-20 ini. Karena itu adalah suatu kelalaian besar melewatkan gagasannya.

PEMIKIRAN FILSUF MACHIAVELLI

Menurut machiavelli yang terpenting dalam politik pemerintahan Negara adalah kekuasaan, dia menghalalkan segala cara untuk tetap berkuasa. Jadi yang dianjurkan bukan bagaimana melaksanakan etika bernegara yang baik tapi bagaimana seseorang atau sekelompok orang dapat merebut kekuasaan dan memepertahankannya.

Sebagai contoh dalam bukunya yang terkenal berjudul il principe (buku ini adalah kumpulan surat-surat yang diterbitkan orang lain setelah niccollo Machiavelli meninggal dunia). Dia menulis bahwa agar penguasa dijunjung tinggi dan dihormati oleh rakyatya, maka dia harus berpura-pura bahwa dia memihak seseorang atau menentang seseorang, dengan demikian antara dia dan rakyat timbul jiwa korzak, senasib sepenanggungan, sebangsa senegara. Jadi tidak memihak sama sekali seseorang pemipimpin, bagi Machiavelli mengajarkan bahwa untuk menundukkan musuh-musuh politik, maka lawan politik tersebut harus dimusnahkan musuh-musuh politik, maka lawan politik tersebut harus dimusnahkan (genocide) sampai ke anak cucunya tanpa ampun, dengan begitu memang Machiavelli mengkombinasikan antara kelicikan (cunning) dengan sikap tidak mengenal belas kasihan.

Machiavelli lebih jauh berpendapat bahwa dalam praktek kekuasaan yang nyata, tidak ada hubungan antara kekuasaan tersebut dengan etika bernegara, karena Negara itu bagi Machiavelli bersifat secular, termasuk didalam berbagai perebutan kekuasaan, sedangkan atika berkaitan dengan norma yang berkenaan dengan peraturan tuhan yang transedental sifatnya, yaitu dianggap berorientasi pada dunia ghaib.

Praktik-praktik busuk kekuasaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Machiavelli misalnya taktik “Machiavellian” seorang dictator.

Kalau membaca gagasan-gagasannya, orang-orang saleh tidak akan menemukan dukungan moral didalamny. Pikirannya dianggap menyimpang dari suara hati yang sehat. Akan tetapi, setelah mendalami gagasan-gagasanny, kita lalu mulai mengakui bahwa Machiavelli adalah nama seorang genius yang sangat besar perannya dalam sejarah.Pikiran-pikirannya diam-diam atau terang-terangan ternyata menjadi ptaktik politik dibanyak Negara dewasa ini, diabad ke-20 ini. Karena itu adalah suatu kelalaian besar melewatkan gagasannya.

Filsuf ini hidup di zaman renaisans. sebagai seorang yang terlibat politik, diamenjalin kontrak dengan bangsawan tinggi kota velentino, casare borga, seorang yang sangat ambisius dan gila kuasa. Ketika tokoh ini mau menaklukkan iltalia yag dikuasai paus Julius II, achiavelli menjadi pengamat pribadinya yang paling jeli.

Kariernya sebagai penasihat politik hancur ketika Florence di kuasai keluarga medici yang memusuhinya da menjebloskanya dalam kerungan penjara selama setahun. Setelah bebas, dia menyingkir kepinggir kota, untuk menulis dan merenungkan hasil-hasil pengamatan dan pengalamannya itu yang dia salurkan dibukunnya yang berjudul il principe dan siscorsi sopra la prima decade di tito livio.

Masalah hubungan Negara dan agama (fungsi politis agama)

Machiavelli juga mebahas masalah hubungan Negara dan agama dan mengangkat fungsi pilitis agama dalam keterlibatan dirinya dalam diskusi tetang soal ini.

Di zaman abad pertengahan, Negara berada dibawah nominasi kekuasaan rohani gereja katolik yang dipegang oleh paus, sehingga kaisarpun iangkat oleh paus.

Model kekuasaan macam ini, pada zaman renaisans, mulai mengalami krisis.

Gagasan Machiavelli mencerminkan gagagsan renaisas yang banyak mengacu pada kebudyaan klasik. Machivellin menegaskan bahwa Negara jangan sampai dikuasai agama, sbaliknya, menurutnya, Negara harus mendominasi agama, seperti yang berlangsung didalam kekaisaran romawi kuno, saat agama Kristen diatur Negara.

Dengan pendapat ini, dia tidak ingin mengatakan bahwa agama tidak penting.

Dia memang menganggap ajaran-ajaran moral dan dogma-dogma agama pada dirinya tidak begitu penting, tetapi semua yang ada dalam agama, termasuk yang kurang penting itu ternyata memiliki fungsi untuk mempersatu Negara. Jadi, bagi Machiavelli, agama punya segi pragmatis untuk mengintegrasikan Negara. Agama, karena itu, juga dapat mendukung patriotism dan memperkuat pranata-pranata kebudayan.

Dengan gagasan yang sangat pragmatis tentang agama ini, Machiavelli tidak menyatakan diri sebagai ateis.

Yang dipersoalkan bukanlah ada tidaknya tuhan, melainkan fungsi agama dalam kehidupan politis. Akan. Akan tetai dengan gagasannya itu, dia sebetulnya berhasi memperlihatkan bahwa agama tidak sekeramat yang disangka orang.

Agama hanyalah salah satu pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Dalam hal ini, gagasan emngenai agama bersifat secular.

Kelihaian yang melampaui moralitas (mobilisasi nafsu-nafsu rendah dalam politik)

”seorang pangeran harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas… sang pangeran harus bisa memakai kedua kodrat itu… yang satu tanpa yang lin tak dapat ada. Dan karena seorang pangeran harus mampu bermain sebagai binatang buas, dia harus mencontoh rubah dan singa; karena singa tak lepas dari jerat dan rabah tak bisa lolos dari serigala. Jadi, dia harus menjadi rubah untuk mengenali, dan menjadi singan untuk menakut-nakuti serigala-serigala. Mereka yng hanya mencontoh singa tak tahu apa-apa. Seorang penguasa yang credit bisa dan karenanya juga tak harus menempati kata-katanya, jika hal itu merugikannya dan alas an-alasan… mencolok. Andaikata semua manusia baik, nasihat itu kirannya tak ada artinya; tetapi karena mereka tak banyak faedahnya dan kata-kata mereka tak ditepati, untuk mereka kau juga tak perlu menempatinya. Juga seorang pangeran jangan habisan alas an baik untuk mamanis-maniskan pelanggaran janjinya” {Machiavelli, II princie, Bab 18}

Pandangan mochiavelli yang terdapat dalam bukunya il principe soal hubungan antara politik dan moralitas yang dipandangan ini ada hubungannya dengan pandangan dia tentang manusia. Diabad pertengahan, para pemikir mengagungkan manusia sebagai citra Allah.

Pandangan ini tidak disetujuinya. Mengoyahkan anggapan lazim itu, dia memandang manusia sebagi suatu makhluk yang dikendalikan oleh kepentingan diri. Manusia adalah makhluk irasional yang tingkah-lakunya diombang-ambingkan oleh emosi-emosinya. Kalau keadaan manusia semacam itu, menurut Machiavelli, seorang penguasa harus bisa membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkah laku warganya. Karena itu untuk memperkokoh kekuasaan, penguasa harus mampu memobilisasi nafsu-nafsu rendah mereka yang ingin dikuasai demi maksud-maksudnya sendiri.

Dalam rangka dominasi menurut Machiavelli, seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral.

Penguasa bisa saja bertindak sangat moralities, missal menunjukkan kemurahan hati, sikap saleh, manusiawi, jujur, tetapi semua itu harus berfungsi untuk maksud-maksudnya. Kalau keadaan menuntut demi kuasaan juga, dia harus bisa mengambil sikap yang sebaliknya. Demikian pula, perjanjian-perjanjian tidak perlu mutlak dipatuhi seorang penguasa, sebab perjanjian hanyalah menunda perang.

Kalau kekuasaan menuntut, perjanjian menjadi tidak relavan untuk dipatuhi.

Didalam perang pun, seorang penguasa dianjurkan bersifat realities, yaitu memihak kubu yang paling kuat agar mendapat bagian maksimal dalam pemampasan perang.

Di dalam pemerintahannya, penguasa yang cerdik akan menyingkrkan orang-orang yang potensial menjadi saingannya. Sebagai gantinya diaakan menempatkan orang-orang yang mematuhinya disekeliingnya.

Dengan pandangan-pandangan tersebut, Machiavelli mendahului mieztsche dia abad ke-19. Bedanya, kalau nierzsche mau membuka kedok moralitas sebaginkekuasaan, Machiavelli memandangan bahwa moralitas dapat diperhatikan dlam kekuasaan hanya sejauh ia berguna untuk kekuasaan.

Dengan cara ini, Machiavelli membenarkan segala cara untuk meraih dan mempertimbangkan kekuasaan, entah lewat kekerasan militer, propaganda yang menipu, ataupun peperangan.

The prince and the discourses

Karier Machiavelli sebagai politius dan diplomat berakhir ketika ia diberhentikan dari jabatannya oleh penguasa italia, meskupun secara pribaditohoh renaisans ini masi berkeinginan berkecimpunang dalam dunia politik kenegaraan. Setalah di berhentikan, Machiavelli mulai sebagai seorag pemikir,menarik diri dari peraturan politik nasional italia. Ia memencilkan diri selama bertahun tahun. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk karya-karya klasi, merefleksikan dan menulis.

Ketika Machiavelli mengekpresikan pemikiran dan pengalaman politik dalam bentuk tulisan, ia juga dipengearuhi oleh kondisi ekonomi dan poltik negaranya.

Mac Lernet melukiskan keadaann Machiavelli demikian: “ia tinggal pda masa ketika pertumbuhan ekonomi telah berkembang jauh sehngga menimbulkan ikatan iatan bentuk politik yang ada saat ini”

Karya Machiavelli itu membuatnya dikenal sebagai seorang ilmuan politik renaisan, meskipun hanna Arrendt dan plamenatz menyaksikannya. Kedunya berpendpat bahwa Machiavelli bukanlah seorang ilmuan poltik karena ia kurang memiliki basis metologi dan pemikiran politik yang sistematis. Dan dinilai pihak, ada bahwa karya tersebut ditulis demi menarik perhatian penguasa italia. Lorenzio de maize.

Dalam sejarah pemikiran politik islam “tuduhan” terhaap machiavellu ini mirip dengan tuduhan dolziher terhadap karya imam almawardi, al ahkam alshulthoniyyah yah ditulis untuk menarik perhatian penguasa da merupakan upaya intelektual memeprthankan kekuasaan dinasti itu.

Buku the prince, teridir dari dua puluh enam bab berisi pemikira Machiavelli mengenai berbagai persoalan macam kerjaan dan cara menegakkannya, sebab sebab kerajaan danius yang ditaklukkan tidak memberontak terhadap penggantinya setelah kematiannya, perebutan wilayah baru dngan kekutan senjata, kewjibab raja terhadap angkatan perang, kekuasaan konsituasional, Negara gereja, bagaimana menaklukkan kekuasaan, sarana-sarana utuk membebaskan bangsa italia dan lain-lain.

Penguasa Negara dan kekuasaan

Dari perspektif sejarah pemikiran politik, gagasan nya itu merupakan pemutusan hubungan total masa kini dengan masa llu, suatu cirri penting abd renaisans.

Berbeda dengan para pemikir adab pertegahan seperti santo augustinus dan Thomas Aqquias yang mengkaitakan kekuasaan dan Negara dengan agama dan tuhan maupun moralitas, Machiavelli justru berpendapat baha kekuasaan hendaknya dipisahkan dari semua itu.

Tidak ada kaitan atau relavasi antara kekuasaan dengan teologi keristen, kecuali sejuh agama moral itu meiliki nilai utilitarianisme bagia kekuasaan dan Negara.

Tidak seperti pemikir abad pertngahan, Machiavelli melihat kekuasaan sebagi tujuan itu sendiri. Ia mnyanhkal asusi bahwa kekuasaan adalah alat intrumen belakan untuk memeprthankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama.

Bagi machiavelii segala kebajikan, agama, moralitas justru harsu dijadikan dijadikan alat untukmemperoleh dan meperbesar kekusaan. Bukan sebaliknya, jadi kekuasaan haruslah diperoleh digunakan dan diperthakan semata –mata demiki kekuasaan itu sendiri.

Dengan pandangan itu machivelli menolak tegas diktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik.
Aquinas dalam karyanya the government of prince berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran surgawi kelak.

Bagi Machiavelli justru terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduannya harus berusaha mengerjar kekayaan dan kejayaan Karen keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.

Bagi machiavelii kekuasaan adalah rasion d’etre Negara.

Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi kekuasaan poltik yng sifatnya mencakup semua dan mutlak.

Machiavelli membahas perebutan kekeuasaan, bila seseorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintah dan memepertahankan Negara yang baru saja direbut itu.

Pertama memusnahkan dan membumihanguskan Negara dan membunuh keluarga penguasa lama.
Kedua melalukan kolonisasi, mendirikan pemukiman baru.
tetapi menurut Machiavelli cara yang efektif adalah cara yg pertama meskipun bertentangan dengan aturan moralitas.

Dalam the prince machavelli juga menguraikan bahwa mereka yang menjadi penguasa lewat cara-cara keji, kejam, dan jahat tidaklah dapat direbut memperolah kekuasaan berdasarkan kebajikan dan nasib baik.

Cara seperti ini yang di praktikkan Agathocles yang membunuh secara biadab semua senior Syracuse demi menduduki tahta kekuasaan, memang bisa menjadikan mereka penguasa Negara.

Tetapi kata Machiavelli penguasa itu tidak akan dihormati dan dipija sebagai pahlawan.

Apalagi setelah berkuasa ia menjadikan kekerasan, kekejaan dan perbuatan keji lainnya sebagai bagian dari kehidupan politik sehari-hari.

Machiavelli menyimpulkan bahwa cara-cara itu hanya aka menjadikan sang penguasa berkuasa tetapi tidak menjadikan terhormat, pahlawan atau orang besar.


Daftar pustaka
Syafiie, Inu Kencana. 2009. Pengantar ilmu politik. Bandung;Pustaka reka cipta
Hardiman, f.budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang membentuk dunia modern. Jakarta;Erlangga
Suhelmi, ahmad. 2001. Pemikiran politik barat. Jakarta;PT Gramedia Pustaka Utama

Riwayat Hidup Niccolo Machiavelli


Niccolo Machiavelli lahir di Florence tanggal 3 Mei 1469, anak kedua dari Bernardo, seorang pengacara bereputasi cemerlang, dan istrinya yang bernama Bartolommea di Stefano Nelli. Kedua orang tuanya menjadi bagian dari kelas ningrat dinasti tua Florentine. Ketika usianya dua pulih tahun, Savonarola menguasai Florence; akhir riwayat karena dia mengatakan “semua nabi yang bersenjata berhasil mencapai tujuannya, sedangkan yang tidak bersenjata gagal,” untuk mengomentari Savonarola sebagai nabi yang tidak bersenjata. Di lain pihak ia menyinggung (Nabi) Musa, Cyrus, Theseus dan Romulus. Dan inilah tipikal Renaisans bahwa Kristus tidak disinggung.

Semasa hidupnya Niccolo Machiavelli tentu saja melewati tiga periode sejarah penting, yang masing-masingnya merupakan era yang unik dan khusus dalam sejarah Florence. Machiavelli melewati masa mudanya dengan menyaksikan kejayaan. Florence terjadi tahun 1494, ketika Machiavelli mulai bekerja untuk pemerintah (Machiavelli, 2014). Kehidupan Machiavelli adalah selama masa kerjanya pada pemerintahan disebutkan di atas, sejak masa tersingkirnya Medci di tahun 1494 sampai saat mereka kembali berkuasa di tahun 1512. Setelah bekerja selama empat tahun di salah satu kantor negeri, Machiavelli ditunjuk sebagai pejabat tinggi di pengadilan dengan gelar Chancellor and Secretary to the second Chancery, the Ten Liberty and Peace.

Semasa hidupnya Niccolo Machiavelli tentu saja melewati tiga periode sejarah penting, yang masing-masingnya merupakan era yang unik dan khusus dalam sejarah Florence. Machiavelli melewati masa mudanya dengan menyaksikan kejayaan. Florence terjadi tahun 1494, ketika Machiavelli mulai bekerja untuk pemerintah.4 Kehidupan Machiavelli adalah selama masa kerjanya pada pemerintahan disebutkan di atas, sejak masa tersingkirnya Medci di tahun 1494 sampai saat mereka kembali berkuasa di tahun 1512. Setelah bekerja selama empat tahun di salah satu kantor negeri, Machiavelli ditunjuk sebagai pejabat tinggi di pengadilan dengan gelar Chancellor and Secretary to the second Chancery, the Ten Liberty and Peace. Di sinilah terdapat dasar-dasar kuat yang melatarbelakangi kejadian-kejadian dalam kehidupan Machiavelli, karena selama ini Machiavelli memegang peranan penting dalam urusan-urusan pemerintahan Republik.

Filsafat Politik Machiavelli


Filsafat politik memiliki hubungan yang sangat menarik dengan politik. Di satu sisi, fokusnya pada yang normatif, bentuk- bentuk kehidupan yang baik, telah menempatkannya pada pusat hal yang oleh kebanyakan akademika kontemporer dianggap sebagai teori politik: sebuah panduan, koreksi, dan justifikasi untuk bentuk-bentuk kehidupan sosial terorganisasi dan lembaga politik yang terbuka dan beradab. Di sisi lain, batasan disipliner yang diterapkan untuk menghasilkan filsafat yang baik juga terlalu sering menjauhkan praktisinya dari bahan politik yang sesungguhnya yang turut menambah pemahaman umum yang mengasingkan filsafat dari kehidupan publik (Gaus, 2013).

Tujuan Filsafat sering dicirikan dengan pencarian kepastian dan kebenaran, bukan hanya mengejar kemurnian metodologis atau pemahaman yang kritis pada diri sendiri. kepastian merujuk pada kebebasan dari kontingensi dan aspirasi untuk mencapai pengetahuan yang tak tergoyahkan. Ketunggalan filsafat politik saat diilhami kerangka pikir etika merupakan salah satu kekuatannya yang terbesar. Bagaimanapun, tugas utama filsuf politik sebagai filsuf moral ialah menetapkan standar perilaku masyarakat. Standar itu sangat penting dalam bidang seperti distribusi barang langka, atau penggunaan kekuasaan oleh para pemimpin politik dan pembuat keputusan. Masyarakat sudah sepantasnya mengandalkan filsuf- filsuf politik untuk menjelaskan cara memperbaiki pranata sosial, karena etika politik bersinggungan dengan penanaman praktik- praktik publik yang luhur.

Hubungan antara politik dan urusan negara juga membantu dalam menjelaskan mengapa gambaran negatif atau buruk sering melekat pada politik. Hal ini dikarenakan, dalam pemikiran awam, politik terkait erat dengan aktivitas dari para politisi. Secara kasar, para politis sering dilihat sebagai para munafik pencari-kekuasaan yang menyembunyikan ambisi pribadi di balik retorika layanan masyarakat dan keyakinan ideologis. Sesungguhnya, persepsi ini menjadi semakin umum di masa modern ketika media semakin banyak mengangkat dan menyoroti kasus-kasus korupsi dan ketidakjujuran, yang kemudian memunculkan fenomena anti-politik.

Pandangan negatif semacam ini mencerminkan persepsi liberal, karena individu-individu bersifat mementingkan kepentingan-diri, kekuasaan politik bersifat korup, karena ia mendorong mereka yang “sedang berkuasa” untuk mengeksploitasi posisi mereka untuk keuntungan pribadi dengan mengorbankan yang lain.

Dalam sejarah pemikiran Barat terutama berkaitan dengan politik selalu menjadi fokus utama. Dimulai dari Socrates, pemikir yang memperkenalkan istilah theoria sebagai pengetahuan. Menurut dia, tugas negara adalah mendidik warga negara dalam keutamaan yakni memberikan kebahagiaan kepada setiap warga negara serta membuat jiwa mereka sebaik mungkin. Penguasa negara haruslah memiliki pengertian tentang “yang baik”. Socrates di masanya belum menawarkan sebuah sistem pemerintahan demokratis yang berlaku di Athena, di mana pemegang kuasa dipilih oleh majelis rakyat atau ditentukan dengan undian, karena yang dipilih bukanlah seorang yang mempunyai keahlian khusus. Bagi Socrates, keahlian yang sungguh-sungguh menjamin kesejahteraan negara adalah pengenalan tentang yang baik (Azhar, 1997).

Zaman Renaisans (1350-1600) merupakan masa transisi dalam sejarah barat antara abad pertengahan dengan abad modern. Istilah Renaissance merupakan bahasa Perancis yang dalam bahasa Latin disebut re + nasci yang berarti lahir (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh sejarawan terkenal, Michelet, lalu dikembangkan oleh J. Burchkhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan dengan periode abad pertengahan. Karya filsafat pada abad ini sering disebut renaisans (Dagobert, 1971).

Ciri utama renaisans ialah humanisme, individualisme, lepas dari agama (tidak mau diatur), empirisme, dan rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Sains pun berkembang akhirnya karena semangat empirisme tersebut. Agama (kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Kelak zaman renaisans ini sebagai pintu pertama terbukanya era modern nanti.

Ciri lain dari renaisans ini adanya sikap oposisi terhadap segala dominasi gereja yang mengungkung kreativitas individual masyarakatnya. Akibat gerakan renaisans, muncul berbagai upaya untuk mengutamakan individu yang kreatif dan ingin kembali meraih kejayaan seperti pada era Yunani Kuno di mana aspek pemikiran dihargai secara posesif. Secara politis, era renaisans merupakan simbol dari adanya sebuah revolusi individualisme dan humanisme menentang semangat dominasi dan kolektivisme gereja abad pertengahan. Walaupun abad ini lebih ditandai dengan kebangkitan kembali aspek ilmu, seni kebudayaan, namun dapat diperkirakan hal ini juga melahirkan dimensi filsafat politik yang lebih bersifat “liberal”, individualistik, humanistik serta semangat anti-diktator tokoh-tokoh agama (gereja); pola pemikiran politik yang bercorak antroposentrik berhadapan dengan pola teosentrik. Wibawa dan otoritas mereka sebagai “wakil” negara menjadi luntur. Implikasi dari perubahan ini mengakibatkan eksisnya filsafat pemikiran politik yang substantif-individualistik ketimbang institusinalistik.

Segera setelah Savonarola dieksekusi, Machiavelli menduduki jabatan rendah di pemerintahan Florence (1498). Dia tetap menjadi pembantu dalam misi-misi diplomatik penting sampai restorasi Medici pada tahun 1512; kemudian karena selalu menentang penguasa-penguasa Medici, dia ditahan tetapi selanjutnya dibebaskan dan dibiarkan hidup menyendiri di negara dekat Florence. Dia menjadi seorang pengarang untuk memenuhi keinginan penguasa lain. Karyanya yang paling terkenal adalah The Prince yang ditulis pada tahun 1513, dan didedikasikan untuk Lorenzo II, karena dia berharap (namun terbukti sia-sia) akan mendapatkan kemurahan hati Medici. Pendapatnya barangkali sebagian dilatari oleh tujuan praktisnya, karyanya yang lebih panjang, Discourses , yang ditulis pada tahun yang sama jauh lebih bersifat republik dan liberal. Dia menulis pada awal The Prince bahwa dirinya tidak akan berbicara tentang bentuk negara republik dalam buku ini, karena dia telah menulisnya di lain tempat. Mereka yang belum membaca Discourses. Discourses mungkin hanya akan mendapati pandangan yang sangat satu sisi dalam pemikirannya.

Setelah gagal mengambil hati Medici, Machiavelli terpaksa terus menulis. Dia hidup menyendiri sampai tahun kematiannya yang bersamaan dengan diserangnya Roma oleh pasukan Charles V. Tahun tersebut juga dianggap sebagai tahun kematian Renaisans.14 Caesar Borgia, anak Alexander VI, muncul dengan pujian selangit. Tetapi dia memiliki masalah pelik: pertama, dengan kematian saudaranya, maka dia menjadi satu- satunya ahli waris ambisi dinastik ayahnya; kedua, dia ingin menaklukkan, dengan kekuatan senjata Paus, wilayah-wilayah yang seharusnya setelah kematian Alexander menjadi miliknya, bukan milik-milik negara kepausan; ketiga, dia ingin memanipulasi Badan Kardinal sehingga Paus berikutnya akan dijabat oleh sahabatnya. Dia mencapai tujuan sulit ini dengan kemahiran yang luar biasa dari kehidupan nyatanya. Dia mencapai tujuan sulit ini dengan kemahiran yang luar biasa; dari kehidupan nyatanya, Machiavelli menunjukkan bahwa seorang pangeran baru harus menciptakan aturan.

Realitas Politik menurut Machiavelli


Machiavelli menangkap dan memahami realitas politik bertolak dari rangkaian aksi bangsa-bangsa yang diwarnai dengan kepentingan masing-masing bangsa. Interaksi hubungan internasional membawa Machiavelli ke pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia menurut pengalamannya. Dalam konteks hubungan internasional yang saling memanipulasi untuk tujuan-tujuan nasional masing-masing bangsa, maka wajah realitas politik dapat ditemukan terutama pada profil-profil para pemimpin bangsa pada waktu itu dengan pola-pola manajemen kekuasaan yang diterapkan oleh masing-masing pemimpin nasional itu. Itulah kondisi-kondisi politik nyata, yang hendak dideskripsikan secara sempurna dalam tulisan-tulisan Machiavelli. Interaksi hubungan internasional yang menjadi bagian dari realitas politik harus dipahami oleh para penguasa dalam perspektif sejarah. Kepentingan yang paling utama di balik hubungan internasional adalah kepentingan ekonomi masing-masing negara.

Hal itu tercermin dalam misi-misi diplomatik yang sudah lama dipraktekkan sebagai tanda meningkatnya pemahaman masyarakat tentang tindakan-tindakan aktual negara-negara dan diplomasi. Karena dalam sejarah kekuasaan pada masa silam (terutama sejarah Kekaisaran Romawi) terjadi pengulangan-pengulangan praktek kekuasaan seperti disaksikan oleh Machiavelli pada masanya, maka tulisan-tulisannya berisi ramalan bahwa praktek kekuasaan masa silam dan kontemporer akan diulang dan diterapkan dengan cara yang hampir sama di masa-masa yang akan datang, karena memang demikianlah realitas politik. Aspek hubungan internasional sebagai bagian realitas politik merupakan trend pertama dalam tulisan Machiavelli.

Sedangkan trend kedua bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamati oleh Machiavelli. Ternyata kondisi kehidupan politik nyata ditandai oleh adanya semacam anarki kekuasaan (di mana rakyat tidak mengakui sepenuhnya kepemimpinan sang penguasa dan golongan elite juga saling bertarung merebut kekuasaan) dan adanya kemerosotan moral dalam hubungan dengan pemerintahan suatu negara (rezim baru merebut kekuasaan dari rezim lama dan timbul usaha membangun rezim yang lebih baru untuk merebut kekuasaan dari sang penguasa saat itu seperti pengalaman kekuasaan selama Machiavelli hidup di negara Florence).

Karena itu Machiavelli melihat praktek politik yang nyata dalam sebuah negara pada tingkah laku penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama dan kalau diperlukan menggunakan kekerasan dan kekuatan (terjelma dalam lembaga kemiliteran) untuk mempertahankan kekuasaan dan bila ada peluang dan kesempatan memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang kehidupan bangsa dan negara untuk melanggengkan dan melestarikan kekuasaan itu sebelum kekuasaan itu merosot dan hancur oleh bangkitnya rezim yang baru sebagai rezim pengganti. Itulah kehidupan kekuasaan yang tunduk pada hukum-hukum perkembangan alam, seperti disaksikan pada pertumbuhan dan perkembangan serta kemerosotan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dan alam.17 Sejarah bangsa-bangsa dan negara-negara besar masa silam juga menggambarkan perjalanan kekuasaan semacam itu.