Bagaimana pandanganmu terkait fenomena hustle culture yang kerap menjadi trend gaya hidup generasi muda? setujukah jika menjadi seorang hustler merupakan sebuah prestis dan acuan untuk terus mengembangkan diri?

Saat ini, banyak sekali anak muda yang “menggandrungi” gaya hidup hustle culture yaitu budaya yang mendorong seseorang untuk terus menerus bekerja, atau bisa dibilang gila kerja.

Tentunya hal itu erat kaitannya dengan kata “produktif” yang selama ini kerap diglorifikasi oleh generasi muda.

Lalu, bagaimana pandanganmu terkait fenomena hustle culture tersebut? setujukah jika menjadi seorang hustler merupakan sebuah prestis dan acuan untuk terus mengembangkan diri?

4 Likes

Menurutku, Hustle Culture atau Workaholic ( Gila bekerja ) mungkin jika di kalangan anak muda lebih kepada suka dengan banyak kesibukan / kesibukan yang padat dan dilakukan dalam waktu yang terus menerus sudah menjadi gaya dan budaya tersendiri.

Karena sebenarnya menurutku hustle culture (Gila bekerja/ kesibukan) ini juga memiliki dampak positif yaitu biasanya orang-orang atau anak muda yang melakukan kesibukan yang padat memiliki motivasi, tujuan, dan keinginan yang ingin dicapai baik itu berupa materi, pengalaman, pembelajaran, maupun relasi dengan banyak orang. Dengan begitu aku setuju jika hustle culture ini digunakan untuk lebih produktif dan mengembangkan diri

Akan tetapi Terlalu menyukai kesibukan atau hustle culture ini juga memiliki dampak negatif yang harus diperhatikan, baik dari fisik maupun psikis. Dampak kurang baik dari workaholic ini pada fisik yaitu jika seseorang memiliki kepadatan aktivitas dan kesibukan yang berlebih otomatis juga akan berpengaruh pada pola tidur dan pola makan yang mungkin juga akan berkurang. Dengan begitu tak sedikit orang-orang atau anak muda yang memiliki kesibukan yang sangat banyak dan padat akan mengalami maag, atau kurang tidur.

Dampak pada psikisnya yaitu, kurang stabilnya emosi, mudah bad mood, stress karena kurang nya rileks dan refreshing yang cukup diakibatkan kesibukan yang padat

Untuk itu, mungkin bisa lebih diseimbangkan kesibukan untuk produktifitas dan refreshing diri.

2 Likes

Kalo dari aku jujur, aku sendiri sepertinya sedang ada dalam fase gaya hidup ini. Jadi, saya suka sekali mengisi waktu saya dengan hal-hal yang lebih produktif. Tapi, terkadang saya bersikap berlebihan sehingga saya cenderung mengalami stress atas tugas-tugas atau kegiatan yang sudah saya pilih sebelumnya.

Jadi, saya sarankan jika ingin menggandrungi gaya hidup ini untuk tidak terlalu berlebihan dan tetap tahu batasan kemampuan dari diri sendiri. Jangan biarkan diri kita burnout/stress karena tugas/kegiatan yang kita pilih sendiri

2 Likes

Menurut saya Hustle Culture itu memang tidak sehat sekali, baik secara fisik maupun mental. Karena manusia tidak bisa selalu dipaksa untuk bekerja tanpa henti. Bahkan hustle culture ini bisa sampai lupa untuk liburan. Karena hari libur pun tetap digunakan untuk bekerja.

Dampaknya tentu saja bisa stres dan burnout. Burnout ini singkatnya merasa kelelahan luar biasa karena banyaknya tuntutan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Waktu untuk istirahat juga berkurang. Bisa sampai mata panda jika tidak tidur-tidur. Beberapa dari teman saya yang suka berorganisasi, kerja, dan lain-lain sambil kuliah ada yang sampai menangis saat mengerjakan tugas karena burnout. Begitu paniknya sampai-sampai keteteran dan menangis.

Namun saya tidak bisa 100% menyalahkan orang-orang yang melakukan hustle culture. Karena menurut saya gaya hidup zaman sekarang menuntut untuk melakukan hustle culture. Inginnya mendapat value yang banyak, bisa ikut lomba yang banyak, bisa magang yang banyak, bisa kerja juga, bisa ngejar beasiswa, sementara waktu yang dimiliki begitu sempitnya. Tujuannya biasanya untuk mempermudah “diri sendiri” ketika akan melamar kerjaan nanti. Karena tuntutan profesi zaman sekarang cukup tinggi spesifikasinya. Termasuk untuk memperindah CV dan portofolio juga.

Selain itu pendidikan secara online yang masih dalam tahap penyesuaian cukup membebani beberapa pihak baik secara finansial maupun secara mental. Belum lagi adanya zoom fatigue, problem intenet use, insomnia dan permasalahan lain yang disebabkan oleh terlalu lama menatap layar device. Permasalahannya cukup kompleks sebenarnya. Oleh karena itu ketika merasa sibuk dan tidak punya waktu istirahat, atau merasa sudah hustle culture, maka lakukan mindfullness di sela-sela kesibukan. Sehingga kita bisa meminimalisir dampak negatifnya terhadap tubuh dan jiwa.

2 Likes

Fenomena hustle culture memang tidak bisa lepas dari dinamika keseharian kita apalagi sebagai generasi muda. Banyak sekali anak muda di sekitar kita yang sangat gila kerja atau menjelma sebagai workaholic dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat atau mengambil waktu untuk bersantai atau istilahnya “me time”. Menurut saya, fenomena seperti ini merupakan fenomena yang sudah biasa namun tidak baik untuk dibiasakan. budaya berekrja yang tidak kenal lelah, tidak kenal istirahat, dan terus menerus diforsir, akan membahkan dampak negatif bagi kondisi fisik atau kesehatan seperti kelelahan, pusing, bahkan memicu penyakit kesehatan serius lainnya. Alih-alih menjadi produktif dan mencapai kesuksesan, hustle culture dapat menghambat maksimalisasi pencapaian kesuksesan karena dampaknya yang cukup buruk pada kesehatan tersebut. Selain dampak pada fisik, hustle culture juga memberi dampak negatif terhadap kondisi psikis seorang hustler tersebut. seorang hustler dapat merasakan stress berlebih, capek mental, dan burnout. Maka dari itu, menjadi seorang hustler atau orang yang mengalami budaya hustler culture tersebut, menurut saya bukan merupakan sebuah prestis atau sesuatu yang memiliki value tinggi. Dengan segala dampak negatif terhadap fisik dan psikis, hustler culture bukan menjadi sebah tolak ukur apakah orang tersebut akan mencapai kesuksesan atau tidak. Seseorang dapat mencapai produktivitas dan lebih mengembangkan diri mereka ketika mereka dapat menyesuaikan komposisi antara pekerjaan dengan kapasitas fisik dan psikis yang dimiliki, jadi tidak ada paksaan bagi tubuh untuk terus bekerja.

1 Like

Saat ini kita mempunyai fenomena baru di kalangan anak muda, yakni hustle culture. Hustle culture dapat kita lihat jika kita menemukan teman yang ikut banyak organisasi (baik internal atau eksternal kampus), ikut kepanitiaan di 3 organisasi, internship, dan rapat 3x sehari disambi ikut kelas.

Hustle culture dapat dimaknai sebagai proses betapa sibuk mereka, seberapa banyak tugas yang dikerjakan dalam satu hari, dan bekerja secara konstan. Bagi mereka tidak ada waktu untuk istirahat dan sering mengesampingkan kesehatan mental karena motto mereka adalah “bekerja,bekerja,dan bekerja”.

Menurutku, budaya hustle culture ini sangat tidak baik. Dampaknya bisa saja kita tidak memberikan hasil maksimal di satu tempat karena harus mengejar tugas di tempat lain. Selain itu, kita bisa kecapekan, tidak punya waktu istirahat, dan melewatkan kesempatan-kesempatan yang mungkin bisa bikin kita lebih happy.

Untuk mengatasi budaya tersebut terdapat dua solusi. Pertama, manajemen waktu dengan menyusun prioritas aktivitas. Kita juga harus memberikan waktu untuk “me time”. Kita juga tidak lupa untuk istirahat dan menjaga kesehatan agar bisa melakukan aktivitas di kemudian hari. Kedua adalah Kerja cerdas. Artinya, kita mampu mengerjakan tugas dan kesibukan kita dengan cara yang efektif, efisien, dan hasil semaksimal yang kita bisa.

1 Like

Dan saya pada jama era globalisasi yg terus terus mengikuti jaman. Berpandangan dalam masa masa sekarang inih mencari kerja amat sulit dan di persulit, namun di jaman inihh saya menghimbau ngapain kerja klau susah cari kerja coba buka pola pikir kita terus ambil satu yg telah berpikir apa kita bisa bikin peluang usaha sendiri, udah pasti bisa cara a ikuti hobi dan yg Kalian suka itu jadi peluang usaha, pake ajh boa mah

1 Like

Terlihat bahwa banyak sekali generasi jaman sekarang yang gaya hidupnya ya hustle culture ini. Saya pribadi pun tidak mengelak jika saya terkadang bergaya hidup hustle culture. Hal tersebut tentu menuaikan pro dan kontra, bagus dan tidak serta ikuti atau jauhi. Seperti memiliki kemauan untuk belajar dan terus berkembang dengan aktivitas yang diikuti sehingga terkesan lebih produktif. Faktor persaingan juga menjadi pengaruh karena kita merasa selalu ingin berada di depan. Namun jika hal tersebut tidak di kontrol dengan baik akan menjadi toxic dan tidak baik untuk diri sendiri.

Membahas mengenai “toxic” ada istilah yang bernama “toxic positivity”.

Menurut Dr. Jaime Zuckerman, Psikolog Klinis di Pennsylvania, toxic positivity itu suatu dorongan untuk tetap berasumsi positif walaupun sedang mengalami situasi tertekan. Asumsi ini bersumber dari dalam hati atau perkataan orang di sekitar. Seringkali merasa lelah dan capek karena suatu pekerjaan yang menumpuk. Namun yang keluar dari ucapan dan pikiran kita adalah:

“Jangan menyerah, kamu pasti bisa. Ayo bisa kerjakan lagi!”

“Masa gitu aja capek? Ingin sukses kan? Yuk terus bekerja tanpa kenal lelah”

Padahal, kita tau nih kalau diri kita udah tidak mampu dan butuh istirahat, tapi kita tetap memaksakan, hal itulah yang tidak baik dan harus dihindari. Boleh kerja keras tapi tidak memaksakan diri sendiri.

1 Like

Aku ga setuju terhadap pernyataan bahwa hustle culture merupakan cara untuk terus mengembangkan diri, karena bekerja yang berlebihan akan menghasilkan kualitas hasil kerja yang rendah. Selain itu, belum lagi adanya distraction dalam bekerja. Jadi, menurutku seseorang yang menjalani gaya hidup hustle culture itu belum tentu produktif, karena yang dimaksud produktif disini adalah seberapa efisien production input yang dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu. Bukan hanya sekedar menyibukan diri aja. working hard doesn’t mean working efficiently

1 Like