Bagaimana Pandangan Tentang Makna Iman Menurut Aliran Kalam?

beriman

Dalam merumuskan iman terjadi banyak perbedaan pendapat di antara masing-masing aliran-aliran kalam. Ada yang menyatakan bahwa iman itu pembenaran dengan hati dan diucapkan dengan lisan secara bersamaan. Dan ada yang memasukkan amal perbuatan ke dalam konsep iman, dan juga yang menjadi perdebatan apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang, ataukah orang yang melakukan dosa besar itu masih mukmin ataukah ia sudah keluar dari muslim. Bagaimana Pandangan tentang Makna Iman Menurut Aliran Kalam ?

Pandangan tentang Makna Iman Menurut Aliran Kalam


Konsep iman dari dua aliran kalam. Pada perkembangannya kedua aliran ini mengalami beberapa pergeseran. Seperti sunni mengalami pergesaran madzhab kemudian Syi’ah mengalami perpecahan dan melahirkan berbagai varian Syi’ah yang di antaranya adalah aliran Syi’ah Zaidiyah dan al-Asy’ariyah (Ahli Sunnah wal Jama’ah). Perbeda’an Ahlusunnah dan Syi’ah dalam bidang furu’ (rincian ajaran agama) terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa kedua kelompok (sunnah dan syi’ah ) menjadikan al-quran dan hadits sebagai rujukan utama dalam menetapkan hukum. Hanya saja kalau pengertian sunnah dalam pandangan sunni terbatas dalam ucapan, perbuatan dan pembenaran nabi atas apa yang diucapkan/dilakukan sahabat-sahabat beliau, maka dalam pandangan syi’ah sunnah mencakup juga ucapan dan tradisi para imam yang 12 itu. Kedua kelompok ini mengakui ijma (consensus/kesepakatan ulama). Sebagai salah satu sumber hukum walaupun terdapat perbeda’an dalam rinciannya dan pengertiannya. Kaum syi’ah memahami ijma’ dalam arti consensus para pakar agama tentang pandangan imam mengenai satu masalah, sedangkan ijma menurut ulama sunni consensus para pakar agama tentang masalah apapun. Sedangkan qiyas (analogi). Tidak dijadikan sebagai sumber hukum oleh syi’ah, namun mereka menetapkan akal dalam kedudukan yang cukup tinggi sehungga apapun yang dibenarkan akal sehat makahal tersebut dapat dibenarkan agama.

Konsep Iman Menurut Aliran ahlussunnah Wal Jama’ah (Sunni).

Bagi kaum Asy’ ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau 'amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini. Oleh karena itu, iman bagi kaum Asy’ ari,ialah al -tasdiq bi Allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya Tuhan. Al-Baghdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman ialah tasdiq tentang adanya Tuhan, rasul-rasul yang berita yang mereka bawa; tasdiq tidak sempurna jika tidak disertai oleh pengetahuan. Bagaimanapun iman hanyalah tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang dibawa wahyu bersangkutan.

Kaum Muturdiyah golongan Bukra mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ ari. Sejalan dengan pendapat mereka bahwa akal tidak sampai pada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa mengambil bentuk ma’ rifat atau 'amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.

Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq , karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidi menulis sendiri bahwa Islam adalah mengetahui Tuhan tidak bertanya bagaimana bentuknya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam ketuhanannya, ma’ rifah adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifatnya dan tauhid adalah mengenal Tuhan dan keesaannya. Ada juga diberikan definisi lain, yaitu pengakuan dengan lidah dan penerimaan dalam hati. Tetapi definisi ini kelihatannya bukanlah definisi Al-Maturidi, karena dalam Syarh al-Fikh al-Akbar, ditegaskan bahwa definisi Al-Maturidi yang sebenarnya ialah definisi yang pertama. Aliran paham ini merumuskan rukun iman itu ada enam. Karena bagi akidah Sunni, seorang muslim diwajibkan mempercayai enam rukun iman, yaitu sebagai berikut :

  1. Iman kepada Allah
  2. Iman kepada para Malikat.
  3. Iman kepada Kitab-Kitab.
  4. Iman kepada para Rasul.
  5. Iman kepada hari Kiamat.
  6. Iman kepada Qada’ dan Qadar.35

Dalil untuk keenam-enam rukun ini adalah bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits :

Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (al-baqarah ayat 285)

Konsep Iman Menurut Aliran Syi’ah Zaidiyah


Syi’ah lima imam disebut juga dengan syiah Zaidiyah. Dinamakan syiah Zaidiyah lantaran mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Abi Tholib. Kemudian disebut Syiah Lima, lantaran menetapkan Lima Iman bagi mereka. Kelima Iman tersebut yaitu :

  1. Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin.
  2. Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba.
  3. Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid.
  4. Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin.
  5. Zaid bin Ali (658-740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid.

Zaid bin Ali lahir tahun 80 Hijriyah dan meninggal tahun 122 Hijriyah, dikenal dengan kelembutannya, kuat hafalan, cerdas, berani, amanah, serta ikhlas dalam menegakan kebenaran. Sejak kecil ia belajar kepada ayahnya, Ali Zainal Abidin, kemudian kepada saudaranya Muhammad al-Baqir. Ia juga belajar masalah-masalah agama, baik ushul dan furu’ hingga matang,serta pernah belajar tentang masalah ushul kepada Washil bin Atha lantaran pernah berguru kepadanya dan banyak diskusi tentang persoalan persoalan teologi, sehingga pemikiran Zaid dan para pengikutnya cenderung kepada pendapat dan pemikiran Mu’tazilah.36 Dalam sekte Syi’ah terdapat pokok agama dan masalah dalam penerapan agama. Syi’ah memiliki lima pokok agama (rukun iman) yaitu:

  1. At-Tauhid (iman kepada Allah).
  2. Al-Adl (iman kepada keadilan Allah).
  3. An-Nubuwah (iman kepada kenabian).
  4. Al-Ma’ad (iman kepada hari kiamat).
  5. Al-Imamah (ima m yang memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian)37

Adapun pembagian antara rukun iman Syi’ah begitu berbeda dengan rukun iman Sunni. Namun, Pada hakikatnya mereka percaya kepada para malaikat, kitab-kitab serta qadha dan qadar. Namun tidak dinyatakan secara tertulis dalam rukun iman mereka seperti rukun iman Sunni yang jelas dapat dilihat dalil yang diajukan oleh Syi’ah dalam perbincangan keimanan tentang malaikat, kitab, serta qadha dan qodar adalah dalil-dalil Al-Qur’an yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 285. Yang membedakan aliran Syi’ah dengan yang lain adalah keyakinan tentang kenabian sebagai berikut :

  • Jumlah nabi dan rosul ada 124.000.
  • Nabi dan rosul terakhir adalah Muhammad SAW.
  • Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apapun. Dialah nabi yang paling utama dari seluruh nabi yang ada.
  • Ahlul baitnya, yaitu Ali bin Abi Tholib, Fatimah, Hasan, Husain dan sebilan imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
  • Al-Qur’an ialah mukjzat kekal nabi Muhammad SAW.

Demikian terlihat perbedaan antara Ahlusunnah Syiah Imamiyah menyangkut kepercayaan tentang rasul Iman kecuali rukun imamah dalam pandangan Syiah adalah perbedaan sistematik, walaupun tentu terdapat juga perbedaan dalam beberapa perincian masalah-masalah yang sama itu. Namun, perbedaan tersebut tidak mengakibatkan cideranya Keimanan atau keluarnya si penganut dari koridor Islam. Para imam golongan syi’ah imamiyah seluruhnya berjumlah dua belas orang, oleh sebab itu mereka juga dinamai al-istna asy’ariyah (syi’ah dua belas). Sebelas orang diantaranya telah wafat, sedangkan imam ke dua belas, yakni Muhammad ibnu hasan al- askari, telah lahir 260 Hijriyah, kemudian menghilang dan akan kembali muncul pada suatu ketika. Imam kedua belas inilah yang mereka percayai sebagai imam mahdi.

Pengertian Imamah/imam menurut Aliran Syi’ah


Adapun sifat dan kedudukan seorang imam bagi syi’ah dikemukakan oleh ayatollah ruhullah Khomeini sebagai berikut: “sesungguhnya imam memiliki kedudukan yang tinggi dan terpuji serta kekhalifahan terhadap alam yang tunduk kepada kekuasa’annya. Semua butir-butir alam raya, sesungguhnya merupakan bagian dari pemahaman aksioma mazhab kami adalah bahwa imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak dicapai oleh malaikat yang didekatkan allah (allah ke sisiNya). Tidak juga oleh nabi yang diutus sesuai dengan riwayat-riwayat dan hadits-hadits yang ada pada kami.

Menurut syekh Muhammad husein seorang ulama besar dan mujtahid syi’ah menjelaskan bahwa Yang dimaksud syi’ah imamiyah tentang imamah adalah suatu jabatan ilahi. Allah yang memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali menyangkut hamba-hambaNya, sebagaimana dia memilih nabi. Dia memerintahkan kepada nabi untuk menunjukannya kepada umat dan memerintahkan mereka mengikutinya. Golongan syi’ah imamiyah ini percaya bahwa allah swt memerintahkan nabi Muhammad untuk menunjuk dengan tegas ali dan menjadikannya tonggak pemandu bagi manusia sesudah beliau.

Ulama syi’ah imamiyah yang lain yakni syekh Muhammad ridha al-mudzaffar mengemukakan bahwa kami percaya bahwa imamah, seperti kenabian, tidak dapat wujud kecuali dengan nash(pernyataan tegas) dari allah swt. Melalui lisan rasulNya atau lisan imam yang diangkat dengan nash apabila dia akan menyampaikan dengan nash imam yang bertugas sesudahnya. hukum ketika itu sama dengan kenabian tanpa adanya perbedaan. karena itu masyarakat tidak memiliki wewenang menyangkut siapa yang ditetapkan allah sebagai petunjuk dan pembimbing bagi seluruh umat manusia, sebagaimana mereka (manusia) tidak mempunyai hak untuk menetapkan, mencalonkan, atau memilihnya.

Referensi :
  • Syeikh abdurohman as-sa’idi , Hakikiat, Pokok-Pokok, dan Buah Iman , (Jakarta: Darul HAQ, 2015).
  • M. Quraish shihab, Sunnah Syiah, Bergandengan Tangan, Mungkinkah? (Jakarta: Lentera Hati, 2014.
  • Nunu Burhanudin, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan , (Jakarta, Prenadamedia Grup, 2016).
1 Like