Bagaimana Mungkin Cinta Tuhan Bisa Melepaskanmu Pergi

Taman Surga

Maulana Rumi berkata:

“Jika aku tampak kurang dalam bersyukur, penghargaan, dan sanjungan atas derasnya kebaikan, usaha, dan dukungan yang kalian berikan kepadaku saat aku ada maupun tidak ada, itu bukan berarti aku sombong, tidak peduli atau tidak tahu cara membalas semua kebaikan kalian. Akan tetapi karena aku sadar dari kemurnian iman kalian bahwa kalian melakukan semua itu dengan tulus karena Allah semata, jadi aku membiarkan Allah yang akan berterima kasih langsung kepada kalian, selama kalian melakukan semua hal ini karena-Nya. Jika aku menyibukkan diri untuk berterima kasih padamu, dengan memuliakan dan memujimu, maka seolah-olah sebagian pahala yang telah dipersiapkan Allah kepadamu telah tersampaikan, dan bonus yang hendak Dia berikan telah terbayarkan. Karena bentuk tawaduk, ucapan terima kasih, dan pujian tersebut merupakan bagian dari kesenangan dunia."

Ketika di dunia ini kamu diuji dengan beberapa musibah seperti mengorbankan harta dan jabatan, maka ganti yang paling utama adalah dari Allah SWT. Oleh karena itu, aku tidak menyampaikan rasa terima kasih dan syukur kepadamu karena semua itu bersifat duniawi.

Tidak ada seorangpun yang bisa memakan harta. Seseorang mencari harta untuk mendapat sesuatu yang lain, bukan harta itu sendiri. Dengan harta, seseorang bisa membeli seekor kuda, pelayan perempuan, dan budak. Kemudian mereka menunjukkan kekayaan-kekayaan itu agar ia mendapat pujian dari manusia. Jadi, dunia inilah yang sebenarnya dijunjung tinggi, dihormati, dan dipuji-puji.

Syekh Nassaj al-Bukhari adalah seorang rohaniawan hebat. Para ilmuan dan orang-orang hebat datang kepadanya untuk berkunjung, mereka bersimpuh di hadapannya. Meski beliau buta huruf, namun orang-orang tetap mengunjunginya karena ingin mendengar tafsir beliau atas al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw… Ia berkata:

“Aku tidak paham bahasa Arab, bacakan saja terjemah sebuah ayat atau hadis agar aku bisa memberitahu maknanya pada kalian.”

Mereka pun membacakan terjemah ayat al-Qur’an dan beliau mulai menafsirkan ayat tersebut. Beliau juga berkata: “Muhammad Saw… berada di maqam ini ketika membacakan ayat tersebut. Keadaan maqam itu begini dan begini.” Kemudian secara detail ia menjelaskan derajat maqam itu, berbagai cara untuk mencapainya, dan bagaimana Rasulullah bisa memperolehnya.

Suatu hari, salah seorang keturunan ‘Ali memuji-muji seorang hakim di depan mata syekh Nassaj. Orang itu berkata:

“Tidak ada orang yang seperti hakim ini di dunia. Dia tidak menerima suap, dia berlaku adil kepada semua orang, tidak pernah pilih kasih apalagi berbuat nepotisme, semua yang dilakukannya benar-benar tulus karena Allah SWT.”

Syekh Nassaj berkata:

“Adalah sebuah kebohongan besar jika kamu mengatakan bahwa hakim ini tidak menerima suap. Kamu adalah keturunan ‘Ali, yang berarti memiliki hubungan darah dengan Rasulullah SAW., kamu memuji hakim itu di depannya bahwa ia tidak menerima suap, tapi bukankah ini adalah suap? Tidak ada suap yang lebih baik ketimbang yang kamu lakukan ini, di depannya kamu bisa memujinya dengan lantang?”

Syekh Tirmidzi pernah berkata:

“Alasan kenapa Syekh Burhanuddin bisa menjelaskan berbagai kebenaran dengan gamblang adalah karena ia telah mempelajari kitab-kitab, rahasia- rahasia, dan perkataan para gurunya.”

Seseorang bertanya:

“Anda juga mempelajarinya, tapi kenapa Anda tak bisa mengatakan seperti yang ia katakan?”

Tirmidzi berkata:

“Karena ia betul-betul berusaha keras untuk bisa.”

Orang itu menjawab:

“Mengapa tidak Anda katakan itu sejak awal? Anda hanya tahu bagaimana mengulang apa yang sudah Anda baca, itulah perbedaannya. Sekarang kita sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih hebat dari buku, dan Anda juga sedang berbicara tentang itu.”

Sebagian orang tidak begitu peduli pada dunia lain di sana. Mereka tinggalkan semua hati mereka di dunia ini. Beberapa orang datang untuk melahap roti Tuhan, sementara sebagian yang lain hanya melihat roti itu. Mereka mempelajari kata-kata ini untuk kemudian mereka jual kepada orang awam . Kata-kata ini laksana mempelai perempuan yang cantik. Jika seorang pelayan cantik dibeli untuk kemudian dijual kembali, bagaimana mungkin pembeli itu bisa mengikat hatinya kepada pelayan cantik itu? Pedagang yang hanya senang menjual adalah pedagang yang impoten. Ia membeli seorang gadis untuk dijual kembali. Pedagang itu tidak memiliki kelelakian dan kejantanan untuk membeli perempuan itu untuk dirinya sendiri.

Jika sebuah pedang India yang indah jatuh ke tangan seorang banci, maka ia akan memungutnya untuk kemudian ia jual. Jika sebuah busur perkasa Pahlevi jatuh ke tangannya, maka ia juga akan mengambilnya dengan tujuan untuk menjualnya, karena lengan yang ia punya tak cukup mampu untuk menarik busur berharga itu. Ia mengiginkan busur perkasa itu karena harga tali senarnya, sementara ia bahkan tak memiliki kemampuan menariknya. Ia cinta pada busur itu hanya karena sesuatu yang melekat pada barang itu. Ketika banci ini menjualnya, ia akan menukarnya dengan pemerah-biru pipi. Apalagi yang bisa ia lakukan? Luar biasa! Apalagi yang ingin ia beli lebih dari pemerah-biru pipi itu?

Kata-kata ini tidak akan mudah dipahami! Ingat, jangan kamu katakan: “Aku sudah mengerti.” Karena semakin kamu mengerti dan memahami kata-kata itu, kamu akan semakin jauh dari pemahaman yang sesungguhnya. Ketika kamu merasa sudah memahami hal itu, berarti kamu belum memahaminya. Semua bencana, musibah, dan kesengsaraanmu berasal dari pemahaman yang sama. Pemahaman itu yang membelenggu dirimu. Kamu harus bisa melepaskan diri dari pemahaman itu sehingga kamu akan mendapatkan sesuatu yang lain.

Kamu berkata:

“Aku telah memenuhi kantong kulit dombaku dengan air laut, tetapi laut itu terlalu luas untuk dimasukkan ke dalam kantong kulit dombaku ini.”

Itu tidak mungkin. Yang benar adalah jika kamu berkata:

“Kantong kulit dombaku terjatuh dan hilang di dalam laut.”

Itu baru sempurna. Itulah akar materinya. Akal akan sangat berguna dan dibutuhkan ketika ia membawamu ke hadapan pintu-Nya. Ketika kamu sudah sampai di depan pintu-Nya, kamu harus meninggalkan akal. Karena pada saat ini, akal akan membahayakanmu, ia adalah pemutus jalanmu. Jika kamu sudah sampai di hadapan Raja, serahkan dirimu kepada-Nya tanpa harus bertanya bagaimana dan mengapa.

Misalnya kamu memiliki kain panjang yang ingin dibuat menjadi jubah atau penutup kepala. Akal membawamu kepada pejahit. Sampai saat itu, akal masih berguna karena ia membawa kain itu ke penjahit. Sekarang—ketika kain itu sudah berada di tangan penjahit—saatnya kamu membuang jauh-jauh akalmu itu dan kamu harus memasrahkan diri sepenuhnya pada si penjahit. Begitu pula akal akan sangat berguna bagi orang yang sedang sakit, karena akal yang membawanya ke dokter. Ketika orang itu sudah berada di tangan dokter, maka akal tidak dibutuhkan lagi. Orang sakit itu harus memasrahkan dirinya pada nasehat-nasehat dokter.

Teman-temanmu mendengar jeritan tangis cintamu kepada Tuhan. Saat mereka datang kepadamu, kamu akan tahu mana temanmu yang memiliki substansi sejati dalam dirinya dan mana yang memiliki jiwa yang peka. Pada sebuah kereta unta, kita akan mudah mengidentifaksi mana unta yang mabuk dan yang tidak dari kedua matanya, cara berjalannya, hembusan nafasnya, dan lain-lain.

“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS. al-Fath: 29)

Semua yang diserap oleh akar pohon akan terlihat pada badan, cabang, daun, dan buah pohon itu. Sementara pohon yang akarnya tidak menyerap air akan menjadi layu. Bagaimana bisa kamu belum juga bisa memahami hal ini; apakah teriakan-teriakkan keras mereka ini masih saja tidak terdengar? Rahasianya adalah bahwa mereka bisa memahami banyak kata hanya dari satu kata saja; dari sebuah simbol, mereka akan mengetahui semua isyarat.

Seperti orang yang sudah membaca kitab al-Wasith dan kitab al- Muthawwal, hanya dengan mendengar satu kata dari kitab al-Tanbih dan membaca penjelasannya, ia akan memahami semua gagasan dan persoalan mendasar dari suatu masalah. Ia bisa memberikan berbagai macam pandangan hanya dari satu huruf saja, atau seolah-olah akan mengatakan: “Di kedalaman subyek ini, aku mengetahui dan melihat banyak hal, karena aku bekerja keras dan belajar, mengubah malam menjadi siang, dan aku telah menemukan harta karunnya.”

“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?” (QS. al-Syarh: 1)

Kelapangan dada tidaklah terbatas. Ketika penjelasan yang panjang itu dibaca, seseorang akan bisa memahami banyak hal dengan satu petunjuk saja. Sementara para pemula tidak akan bisa memahami satu kata pun kecuali makna dari kata itu sendiri. Lalu pengetahuan ruhaniah dan kesenangan apa yang bisa mereka dapatkan? Perkataan diucapkan sesuai dengan kemampun pendengarnya. Jika seseorang tidak bisa mengambil intisari dari sebuah perkataan, maka hikmah dari perkataan itu juga tidak akan muncul. Tapi ketika ia mampu dan menyerapnya dengan baik, maka hikmah akan turun. Tetapi dia berkata: “Aneh, kenapa tidak ada kata-kata yang terucap?” maka akan datang jawaban: “Aneh, kenapa kamu tidak menceburkan dirimu dan mencari hikmahnya?” Seseorang yang tidak memiliki kekuatan mendengarkan yang baik, maka ia tidak akan bisa memberikan orang lain alasan untuk berbicara.

Pada masa Nabi Muhammad Saw., ada seorang kafir yang memiliki budak Muslim yang merupakan makhluk sejati. Suatu saat, sang majikan menyuruhnya:

“Ambilkan aku gayung, aku mau pergi ke tempat pemandian.”

Di tengah perjalanan, mereka melihat Nabi Muhammad Saw… sedang menunaikan salat di dalam masjid bersama para sahabat. Budak itu berkata kepada majikannya:

“Tuanku, demi Allah, tolong peganglah gayung ini sebentar karena aku hendak melaksanakan salat dua rakaat. Setelah itu, aku akan kembali melayanimu.”

Setelah memasuki masjid, budak itupun langsung salat.

Nabi Muhammad Saw. beserta para sahabatnya keluar dari masjid, tetapi budak itu tetap berada di dalam masjid. Sementara majikannya menunggu hingga dini hari, ia lalu berteriak:

“Budak, keluarlah!”

Budak itu menjawab,

”Mereka tidak mau meninggalkanku.”

Sang majikan kehilangan kesabarannya, ia kemudian masuk ke dalam masjid untuk melihat siapa yang tidak mengizinkan budaknya keluar dari masjid. Di dalam masjid dia hanya melihat sepasang sepatu dan bayangan manusia, tidak ada seorang pun yang bergerak. Ia kemudian berkata:

“Siapa yang tidak membiarkanmu keluar kepadaku.”

Budak itu menjawab:

“Dia yang membiarkanmu masuk, Yang tidak bisa Anda lihat.”

Manusia selalu rindu untuk melihat sesuatu yang belum pernah dilihat, didengar, dan dia mengerti; ia akan terus mencarinya siang dan malam. Aku adalah hamba bagi Dia yang tidak bisa aku lihat. Manusia akan bosan pada sesuatu yang sudah pernah dilihat dan dipahami, itulah yang kemudian membuat manusia pergi meninggalkan sesuatu itu. Para filsuf menyangkal hal ini dengan berkata: “Seseorang tidak mungkin bosan dengan sesuatu yang dilihatnya.” Sementara para Teologi Sunni berkata: “Hal itu akan terjadi jika Allah hanya menampakkan diri dalam satu warna saja. Tapi kenyataannya, Dia menampakkan diri-Nya dalam ratusan warna setiap saat.”

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. al-Rahman: 29)

Meskipun Allah harus mengungkapkan diri-Nya dalam seratus ribu wujud pada satu waktu, niscaya tak ada satu pun wujud yang mirip dengan wujud lainnya. Demikian juga jika saat ini kamu melihat Allah, maka pada waktu yang lain dan seterusnya kamu akan melihat-Nya dalam bentuk lain yang berbeda dari bentuk yang sebelumnya. Ketika senang kamu akan melihat-Nya dalam satu bentuk, dan ketika susah kamu akan melihat-Nya dalam bentuk yang lain. Kamu melihat-Nya dalam satu bentuk saat dirundung rasa takut, dan kamu melihat-Nya dalam bentuk yang lain pada saat-saat pengharapan. Karena ciptaan dan perbuatan-perbuatan Allah berbeda satu sama lain, tentunya kamu dapat meyakini bahwa tampilan Tuhan selalu berbeda dan tidak pernah berakhir. Begitu pula dengan dirimu, karena kamu adalah bagian dari kekuasaan Tuhan, setiap detik kamu mengenakan seribu warna, dan tidak akan pernah menetap pada satu warna itu.

Ada beberapa hamba Allah yang bergerak menuju Tuhan dengan bertolak dari al-Qur’an, sementara yang lainnnya datang dari Allah, baru menemukan al-Qur’an di sini, dan mengetahui bahwa Allah mengirimnya ke dunia ini:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)

Para mufasir mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah al-Qur’an. Itu benar. Tapi, mungkin juga bisa bermakna “Kami letakkan dalam dirimu sebuah esensi, pencarian, dan kerinduan. Kami akan menjaganya, tak akan Kami biarkan ia menghilang. Bahkan Kami akan menggiringnya pada suatu tempat tertentu.”

Katakanlah sekali: “Allah!” Lalu kuatkan dirimu pada semua malapetaka yang menghujam ke arahmu.

Seseorang datang kepada Nabi Muhammad Saw. dan berkata:

“Aku mencintaimu.”

Nabi menjawab:

“Hati-hati dengan omonganmu.”

Orang itu menjawab:

“Aku sungguh mencintaimu.”

Nabi mengatakan hal yang sama:

“Hati-hati dengan omonganmu.”

Ia tetap menjawab:

“Aku sungguh mencintaimu.”

Nabi akhirnya menjawab:

“Sekarang, kuatkan dirimu karena aku akan membunuhmu, dan kesengsaraan akan menimpamu.”

Pada zaman Rasulullah Saw., seseorang berkata:

“Aku tidak menginginkan agama ini. Demi Tuhan, aku tidak menginginkannya. Ambil kembali agama ini. Sejak aku masuk agamamu ini, aku sama sekali tidak pernah merasa senang. Hartaku raib, istriku pergi, anakku menjauhiku, aku tidak punya kehormatan, bahkan tidak punya syahwat.”

Nabi Muhammad menjawab:

“Maha Suci Allah, ke manapun agama kita pergi, ia tidak akan pernah kembali kecuali dengan mencabut akar diri manusia dan membersihkan rumahnya.”

“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. al-Waqi’ah: 78)

Karena Dia layaknya orang yang dicinta. Selama masih ada seutas rambut cinta dalam dirimu, wajah-Nya tidak akan tampak di hadapanmu, kamu tidak akan mampu menyatu dengan-Nya, dan Dia tidak akan mengizinkanmu pergi kepada-Nya. Kamu harus menjadi orang yang tidak memedulikan dirimu sendiri dan duniamu ini, serta menjadi musuh bagi dirimu sendiri agar Kekasih dapat menunjukkan wajah-Nya kepadamu. Begitu juga dengan agama kita yang bertempat tinggal di semua hati, ia tidak akan menarik tangannya dari hati itu sampai ia bisa membawanya kepada Allah dan memisahkannya dari semua yang tidak layak baginya.

Rasulullah melanjutkan perkataannya:

“Kamu tidak merasakan kedamaian karena kesedihan itu. Tujuan kesedihan itu adalah mencabutmu dari kesenangan-kesenanganmu terdahulu.”

Selama masih ada makanan yang mengisi perutmu, kamu tidak akan diberi makanan lain. Selama proses pengosongan perut, ia tidak makan apapun sampai menjadi lapar. Setelah lapar, baru ia diperkenankan untuk makan melahap makanan baru. Bersabarlah dan bersedihlah, sebab sedih akan melepaskanmu dari kungkungan keakuanmu. Setelah kamu lepas, kamu akan diliputi kesenangan, kesenangan yang tanpa kesedihan, mawar yang tak berduri, dan alkohol yang tidak memabukkan.

Di dunia ini, siang dan malam, kamu terus mencari ketenangan jiwa dan kepuasan. Di dunia yang fana ini kamu tidak mungkin bisa menemukannya. Meski demikian, kamu tidak boleh melewatkan sedetik pun waktumu tanpa pencarian. Jika kamu menemukan kepuasan itu, maka bentuknya akan seperti kilat yang lewat sesaat dan tak pernah tinggal. Kilat jenis apakah yang menyambar itu? Kilat yang dipenuhi oleh rasa dingin, dipenuhi oleh air hujan, bermuatkan salju, dan penuh dengan kesengsaran.

Misalnya, seseorang hendak bepergian ke kota Anatolia. Ia pergi ke arah Caesarea dan berharap akan sampai di Anatolia. Ia tidak berputus asa dan terus berusaha, meski tidak mungkin ia akan sampai ke Anatolia melalui jalur ini. Sementara orang yang melalui jalur Anatolia, meskipun ia lumpuh dan lemah, ia pasti akan sampai ke kota itu karena Anatolia berada di ujung jalan yang sedang dilaluinya. Tidak ada satu pekerjaan pun di dunia dan di akhirat yang bisa dicapai tanpa penderitaan. Oleh karena itu, dalam segala hal, persembahkanlah penderitaanmu untuk alam akhirat agar rasa sakitmu tidak menjadi sia-sia. Kamu berkata: “Wahai Muhammad, jauhkan agama ini dariku sehingga aku bisa memperoleh kesenangan.” Bagaimana bisa agama kita meninggalkan seseorang yang sedang berjalan sebelum ia membimbingnya untuk sampai kepada tujuannya?

Dikisahkan ada seorang guru yang, karena kemiskinannya, hanya memiliki sebuah baju katun di musim dingin. Tiba-tiba, aliran air hujan yang deras dari gunung menyeret seekor beruang hingga yang terlihat hanya bulunya di atas permukaan air. Para murid, yang hanya melihat punggung beruang itu, berteriak:

“Guru, lihatlah! Mantel bulu mengambang di atas air, sementara Anda sedang kedinginan. Ambillah!”

Karena sangat membutuhkan mantel bulu untuk mengusir dingin yang menusuk tubuhnya, guru itu melompat ke dalam air untuk menangkap sesuatu yang dia anggap sebagai mantel bulu itu. Beruang segera mencengkeram guru itu dan menjadinya sebagai tawanan di dalam air. Murid-muridnya berteriak:

“Guru, tunjukkan mantel itu. Jika Anda tidak berhasil menggapainya, tinggalkan saja dan kemarilah!”

Guru itu menjawab:

“Aku sudah melepas mantel bulu ini, tapi mantel ini tidak mau melepaskanku. Apa yang harus aku lakukan?”

Bagaimana mungkin cinta Tuhan bisa melepaskanmu pergi? Di sinilah kita patut bersyukur kepada-Nya karena Dia tidak membiarkan kita pergi. Kita tidak berada dalam kekuasaan diri kita sendiri, melainkan berada dalam genggaman tangan-Nya. Seperti seorang bayi, yang ia tahu hanyalah susu dan ibunya. Allah tidak membiarkan bayi itu selamanya dalam kondisi begitu, maka Dia kemudian menyuguhkan roti dan berbagai permainan untuknya. Begitu seterusnya, Dia membawanya ke derajat akal sehingga bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Begitu pula dengan semua isi dunia ini—yang dianalogikan sebagai masa kanak-kanak dan dibandingkan dengan dunia akhirat—Allah tidak akan membiarkanmu selamanya berada di sana, Dia akan membawamu pergi sehingga bisa menyadari bahwa fase di dunia ini hanyalah fase masa kanak-kanak yang sama sekali bukanlah sesuatu yang penting.

“Aku takjub pada mereka yang harus digiring ke surga dalam keadaan diikat dengan rantai besi.” “Tangkap dan rantailah dia! panggang dia di surga, panggang dia dalam kesatuan, panggang dia dalam keindahan, dan panggang dia dalam kesempurnaan.”

Pemancing ikan tidak menarik gagang pancingnya sekaligus. Ketika kail sudah masuk ke dalam tenggorokan ikan, mereka akan menariknya perlahan sampai darahnya hilang dan menjadi tidak berdaya dan lemah. Mereka letakkan kembali, lalu ditarik kembali, sampai ikan itu benar-benar menjadi lemah tak berdaya. Ketika kail cinta jatuh ke dalam tenggorokan manusia, Allah akan menariknya secara bertahap, sehingga kekuatan dan darah busuknya keluar sedikit demi sedikit. Allah menyempitkan dan juga melapangkan.

“Tiada Tuhan selain Allah” adalah iman dari kebanyakan orang. Sementara iman orang-orang khusus adalah “Tidak ada Dia selain Dia.” Seperti seseorang yang bermimpi menjadi raja. Ia duduk di atas singgasana, sementara para budak, penjaga, dan menteri, semuanya berdiri di sekitarnya. Ia kemudian berkata: “Aku adalah raja, dan tidak ada raja kecuali aku.” Ia mengatakan hal ini dalam mimpinya. Ketika ia terjaga dan tidak melihat siapapun di dalam rumah kecuali dirinya sendiri, saat itu ia berkata: “Aku, tidak ada seorang pun selain aku.” Oleh karena itu, mata yang tersadar itu sangat penting, karena mata yang tidur tidak dapat melihat hal ini, dan itu bukan tugasnya.

Setiap kelompok menaklukkan kelompok yang lain. Mereka berkata: “Kita yang benar karena kita diiringi oleh wahyu, dan mereka adalah salah.” Kelompok lainnya juga mengatakan hal yang sama. Jadi, tujuh puluh dua kelompok keyakinan saling membunuh satu sama lainnya menyimpulkan bahwa kelompok yang lain tidak memiliki wahyu. Satu kelompok keyakinan tertentu percaya bahwa kelompok lainnya tidak memiliki wahyu. Mereka juga percaya bahwa hanya ada satu dari semua keyakinan agama mereka yang dibarengi dengan turunnya wahyu. Dengan demikian, Seorang Mukmin yang cerdas adalah yang bisa mengetahui mana jalan yang benar dari semua kelompok tersebut.

“Seorang Mukmin adalah orang yang cerdas, pintar, dan dapat berpikir.”

Sementara iman adalah pembedaan (antara yang baik dan yang buruk) dan pemahaman itu sendiri.

Seorang berkata:

‘Mereka yang tidak mengetahui sangatlah banyak, sedang mereka yang mengetahui sangatlah sedikit. Jika kita sibukkan diri kita dengan membedakan antara yang tahu dan tidak tahu, waktu kita yang sangat panjang akan terkuras.”

Maulana berkata:

“Meski yang tidak tahu itu banyak, kalau kamu mengetahui yang sedikit, maka kamu akan mengetahui semuanya. Sama halnya kalau kamu melihat segenggam jagung, berarti kamu telah melihat harta karun dunia. Kalau kamu sudah merasakan manisnya gula, kemudian kamu disuguhi berbagai macam manisan, kamu akan bisa mengetahui bahwa di dalam berbagai macam manisan itu terdapat gula, karena kamu sudah merasakan gula itu. Sementara seseorang yang mencicipi gula dari tebu, maka ia tidak akan mengetahui gula itu sendiri, bahkan dia mengira bahwa keduanya berbeda.

Kalau kamu merasa kata-kata ini terus diulang-ulang, ini menunjukkan bahwa dirimu masih belum memahami pelajaran sebelumnya. Dengan demikian, sudah jadi kewajibanku untuk menyampaikan hal ini setiap hari. Seperti sebuah cerita yang mengisahkan seorang guru yang didatangi oleh salah satu muridnya. Setelah tiga bulan belajar, sang guru masih belum selesai mengajar alif untuk kalimat

Ayah dari anak itu kemudian mendatangi sang guru dan berkata:

“Aku tidak pernah lupa membayar gajimu. Jika aku pernah menunggaknya, tolong beritahu aku, aku akan membayarmu lebih.”

Guru itu menjawab:

“Kegagalan ini bukan karena dirimu, tapi anakmu tidak bisa lebih dari ini.”

Guru itu memanggil si anak dan berkata:

“Katakanlah: Alif untuk kalimat

Anak itu menjawab: Anak itu tidak bisa berkata: “Alif.” Guru itu kemudian berkata: “Lihatlah? Karena anak ini masih belum bisa melewati titik ini, bagaimana bisa aku memberinya pelajaran yang lain?” Si ayah berkata

“Terpujilah Allah.”

Kita tidak berkata, “Terpujilah Allah” karena ada keterbatasan pada roti dan kenikmatan. Roti dan nikmat tidak ada batasnya. Akan tetapi karena rasa laparnya sudah hilang dan para tamu sudah kenyang, itulah mengapa kemudian diucapkan, “Terpujilah Allah.” Roti dan kenikmatan ini tidak sama dengan roti dan kenikmatan dunia. Karena meski tidak memiliki nafsu makan, kamu tetap bisa memakannya sekehendakmu. Karena roti adalah benda tak bernyawa. Kau akan dapat memakannya kapan pun kau mau. Karena ia tidak bernyawa, kamu bisa menyeretnya kemana pun kamu mau.

Ia juga tidak memiliki roh yang bisa mencegahnya dari kekurangan. Berbeda dengan nikmat ketuhanan yang merupakan hikmah. Nikmat Tuhan ini hidup. Oleh karena itu, ia akan datang kepadamu dan menjadi santapanmu hanya ketika kamu memiliki nafsu makan dan menunjukkan hasratmu padanya. Kalau tidak, kamu tidak akan bisa memakannya. Ia bersembunyi di balik selubung dan tidak akan menampakkan wajahnya kepadamu.

Maulana Rumi menceritakan kisah tentang keajaiban para wali, beliau berkata:

“Jika ada orang yang bisa pergi dari tempat ini ke Ka’bah dalam waktu satu hari atau dengan satu kerdipan mata saja, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa atau sebuah keajaiban. Kemampuan seperti ini juga dimiliki oleh angin muson yang pergi dari satu tempat ke tempat lain sekehendak hatinya. Adapun keajaiban yang sejati adalah jika Allah membawamu dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi dan kamu bepergian dari sana ke sini, dari kejahilan menjadi akal, dari kematian menuju kehidupan. Sebagaimana awalnya kamu adalah tanah yang mati, lalu Allah membawamu ke alam tetumbuhan, kemudian kamu pergi dari alam itu ke dunia segumpal darah dan daging. Dari situ, kamu berpindah ke dunia hewan. Akhirnya dari dunia hewan kamu pergi ke dunia manusia. Inilah yang disebut dengan keajaiban. Allah mempermudah jalan itu untukmu. Selama berada di tempat dan jalan yang kamu tempuh itu, tidak terlintas dalam pikiran dan benakmu bahwa kamu akan sampai, dari jalan mana dan bagaimana kamu datang, dan dibawa oleh siapa. Namun secara ringkas, kamu datang. Demikian pula kelak kamu akan dibawa menuju seratus dunia yang lain dan berbeda. Jangan meragukannya, dan jika kamu diceritakan kisah- kisah seperti ini, percayalah.”

Umar ra. diberi sebuah cangkir berisikan racun sebagai hadiah. “Apa gunanya benda ini?” tanya Umar.

“Jika Anda tidak menginginkan seseorang mati secara terbuka, Anda cukup memberi orang itu sedikit racun ini, maka dia akan mati secara diam-diam. Jika ada musuh yang tidak bisa dibunuh dengan pedang, maka hanya dengan memberikan setetes racun ini, ia akan mati terbunuh,” Jawab mereka.

Umar menjawab:

“Wah, bagus sekali. Kamu membawakanku barang yang sangat istimewa. Berikan racun itu padaku agar aku meminumnya, karena di dalam diriku ada musuh besar yang tidak bisa ditikam oleh pedang. Aku tidak punya musuh yang lebih berbahaya selain dia.”

Mereka berkata:

“Anda tidak perlu meminum semunya sekaligus. Cukup setetes saja. Satu cangkir ini bisa membunuh seratus ribu orang.”

Umar berkata:

“Musuhku juga bukan hanya satu orang. Ia adalah musuh yang berkekuatan seribu orang dan telah mengalahkan seratus ribu orang.”

Setelah itu, Umar meneguk racun di dalam cangkir itu dan langsung membuatnya hilang kesadaran dengan satu tegukan. Seketika sekelompok orang yang berada di sana itu menjadi beriman. Mereka berkata: “Agamamu benar.”

Umar menjawab:

“Kalian semua sudah mejadi Muslim, tapi seorang kafir dalam diriku belum beriman.”

Tujuan Umar mengatakan hal itu adalah keimanan, tapi bukan keimanan manusia biasa. Keimanan Umar melampaui keimanan kebanyakan orang, bahkan lebih. Imannya serupa dengan iman para shiddiqin (orang-orang yang jujur). Imannya merujuk pada iman para Nabi, orang-orang khusus, dan mereka yang sudah mencapai tingkatan ‘ainul yaqin (melihat dengan mata hati). Itulah yang dia harapkan. Kabar tentang keberadaan seekor singa menyebar ke seluruh penjuru dunia. Seorang laki-laki terpesona dengan berita ini pergi menuju hutan untuk melihat langsung si raja hutan. Dalam perjalanan panjang, ia merasakan sulitnya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika laki-laki itu sampai di hutan dan melihat sang singa dari kejauhan, ia tidak berani mendekat. Orang- orang berkata kepadanya: “Kamu telah menyusuri jalan yang panjang untuk menemukan singa ini. Singa ini memiliki satu keistimewaan, bahwa siapapun yang berani mendekatinya dan menarik tangannya dengan penuh kasih sayang, raja hutan tidak akan menyakitinya. Namun jika orang itu takut kepadanya, sang singa akan marah dan menyerang orang tersebut sembari berkata: ‘Pikiran buruk macam apa yang kamu miliki tentang diriku?’ Demi melihat singa itu kamu berjalan sangat jauh, dan sekarang kamu sudah dekat dengan singa itu. Mengapa kamu tetap berdiri di situ? Majulah satu langkah!”

Tidak seorangpun yang memiliki keberanian untuk mendekati singa itu. Semua orang berkata:

“Langkah-langkah yang dulu kita lalui sangatlah mudah. Tapi sekarang kami merasa kesusahan untuk melangkah lagi.”

Yang dimaksud Umar dari iman itu adalah langkah itu, yaitu langkah-langkah yang membawanya mendekati sang singa. Satu langkah itu adalah sesuatu yang besar dan langka, dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang khusus dan mereka yang dekat dengan-Nya. Inilah langkah yang sebenarnya, sementara yang lain hanyalah jejak kaki. Iman itu tidak akan sampai kecuali kepada para Nabi, yang mencuci tangan mereka dari kehidupan mereka sendiri.

Seorang pecinta adalah sesuatu yang mengagumkan. Kita bisa mendapatkan kekuatan, kehidupan, dan pertumbuhan hanya dari mengkhayalkan kekasih. Khayalan Laila memberikan kekuatan kepada Majnun dan menjadi makanan baginya. Ketika khayalan orang yang dicinta memiliki kekuatan dan pengaruh luar biasa yang memungkinkannya memberikan kekuatan kepada kekasihnya, mengapa kamu heran bahwa Kekasih Hakiki bisa memberikan kekuatan lahir dan batin seperti itu kepada Umar? Tapi di manakah letak khayalan ini? Jiwa dari segala realita tidaklah disebut sebagai khayalan.

Kamu menyebut dunia yang dibangun di atas khayalan sebagai ‘realitas’ karena ia bisa dilihat dan dirasa oleh panca indera. Sementara dunia yang tidak bisa dilihat dan dirasa kamu sebut sebagai ‘khayalan.’ Padahal yang benar adalah kebalikannya. Dunia ini adalah khayalan, karena realitas itu bisa menunjukkan seratus dunia seperti ini. Dunia ini suatu saat akan punah dan menghilang, kemudian akan muncul sebuah dunia baru yang lebih baik. Dunia itu tidak memiliki progres, karena ia berada di atas pembaruan dan progres. Cabang-cabang darinyalah yang memiliki progres dan pembaruan. Sementara Pencipta dunia ini suci dari keduanya, Dia ada di atas keduanya.

Seorang arsitek berencana untuk membangun sebuah rumah di dalam pikirannya. Ia mengimajinasikan bahwa tampilannya akan seperti ini, ukurannya sepanjang ini, dan lantainya seperti ini. Orang-orang tidak menyebut rancangan arsitek itu sebagai sebuah khayalan karena bangunan itu berasal dari pikirannya. Tetapi ketika seseorang selain arsitek ini mengimajinasikan bangunan rumah di dalam pikirannya, orang-orang akan menyebutnya khayalan. Biasanya orang-orang akan berkata kepada orang kedua ini: “Kamu mengkhayal.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum