LATAR BELAKANG
Salah satu permasalahan sosial yang sering kita jumpai saat ini adalah adanya kasus bunuh diri. Psikolog dan Programer Jiwa Puskesmas Mlati I, Dewi Prabasari Virgandhani SPsi Psi mengatakan beberapa bulan terakhir banyak dijumpai kasus keinginan bunuh diri. Dari kasus tersebut justru kebanyakan terjadi dikalangan remaja dan mahasiswa. Berdasarkan Draft Dewanpers 2019, tingkat bunuh diri di Indonesia menempati posisi yang tinggi, yaitu berada pada peringkat ke-6 di Asia. Faktanya menurut riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2018, dari 265 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat 9,8% atau sekitar 25 juta penduduk mengalami gangguan emosional dan 6,1% atau sekitar 16 juta penduduk mengalami depresi. Ironisnya dari jumlah tersebut, sebanyak 91% atau sekitar 15 juta penduduk tidak mendapatkan penanganan.
Permasalahan-permasalahan psikologis tersebut memberikan dampak yang beragam, dari gangguan jiwa berat hingga memicu terjadinya kasus bunuh diri. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya penanganan psikiater secara intensif dan monitoring secara berkala. Ataupun sebagai alternatif lain, mereka yang mengalami depresi baik itu ringan maupun berat membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya, terutama dukungan dari pihak keluarga. Entah itu hanya sekadar mendengarkan keluh kesah atau mencurahkan perhatian kepada mereka dalam bentuk apapun. Namun pada dasarnya, gangguan emosional seringkali kita remehkan. Gangguan emosional sendiri merupakan ancaman mematikan yang tidak bisa kita nilai dari luarnya, penderita seringkali terlihat baik-baik saja namun sebenarnya mereka banyak memendam “beban hidup” yang akhirnya berujung pada depresi.
Para penderita depresi sendiri menghindari konseling dengan psikiater. Stigma masyarakat menjadi alasan utama mereka untuk menghindari adanya konseling tersebut. Benar adanya jika para penderita depresi menghindari anggapan mengidap gangguan kejiwaan, kebanyakan dari mereka cenderung menghindari berinteraksi dengan psikiater karena lebih mengutamakan citra keluarga dalam masyarakat. Sayangnya, disamping keadaan tersebut mereka juga seringkali sengaja menutup diri dari dunia luar. Lebih parahnya lagi, keadaan yang demikian justru membuat mereka merasakan kesendirian dalam menghadapi beban hidup karena tidak adanya tempat bagi mereka untuk bercerita ataupun meluapkan emosi, bahkan dalam lingkungan keluarga sekalipun. Semua masalah tersebut akhirnya berujung pada semakin banyaknya kasus bunuh diri karena depresi yang tidak mendapatkan penanganan. Data American Foundation for Suicide Prevention menunjukkan, pada tahun 2017, sebanyak 47.173 warga AS meninggal karena bunuh diri atau 129 kasus bunuh diri setiap harinya, dengan rata-rata 14 per 100.000. Angka itu di luar perkiraan 1.400.000 lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri.
KONSELING PSIKIATER
Psikiater mengambil peran penting bagi para penderita depresi. Konsultasi psikiatri adalah janji temu pasien dengan psikiater untuk memperoleh anjuran medis atas gangguan kesehatan yang dideritanya. Konsultasi klinis dengan psikiater dibagi menjadi dua, yaitu konsultasi psikiatri umum dan psikiatri liaison. Pada konsultasi umum, dokter akan menilai kondisi kejiwaan serta memperhatikan faktor psikologis, biologis, dan sosial pasien. Pada konsultasi liaison, dokter umum atau dokter spesialis berkonsultasi dengan psikiater mengenai perawatan dan penanganan gangguan jiwa yang diderita pasien. Konsultasi ini berperan sebagai penghubung kedokteran umum dengan psikiater untuk mendapatkan penanganan optimal bagi penderita depresi.
Di akhir sesi konsultasi, psikiater akan menguraikan diagnosa penyakit dan memberikan rekomendasi perawatan yang sesuai dengan kondisi pasien. Konsultasi ini dilakukan untuk mencegah risiko serius yang dapat disebabkan oleh gangguan kejiwaan. Konsultasi dengan psikiater sendiri meliputi mengevaluasi riwayat penyakit dan kejiwaan pasien, melakukan penilaian terhadap catatan kejiwaan pasien sebelumnya, memeriksa adanya riwayat penyakit kejiwaan turunan, memeriksa riwayat kesehatan pasien terhadap penyalahgunaan zat, membahas gejala-gejala yang dirasakan pasien, membicarakan faktor kemungkinan penyebab gangguan jiwa atau masalah sosial pasien, mendiskusikan dan mengevaluasi perawatan, perawatan, dan kebutuhan rawat inap yang tepat dengan kondisi pasien, merumuskan rencana tata laksana, serta memberikan resep obat jika diperlukan.
Dilansir dari www.kompasiana.com, ketika responden yang terdiri dari para dokter baik spesialis maupun umum ditanya tentang apa saja hambatan yang membuat mereka sulit atau tidak mengkonsulkan pasien yang seharusnya perlu mendapatkan rujukan ke dokter spesialis jiwa atau psikiater, maka jawaban mereka adalah sebanyak 91 responden atau 71,7% pasien menolak untuk dikonsulkan ke psikiater, 43 responden atau 36,36% tidak adanya psikiater di tempat dokter tersebut bekerja, 24 responden atau 18,8% khawatir akan mengeluarkan pengeluaran tambahan untuk konsultasi ke psikiater, dan 15 responden atau 11,7% dikarenakan faktor lainnya.
GENERASI MILENIAL
Istilah milenial pertama kali dicetuskan oleh William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Dibandingkan generasi sebelumnya, generasi milenial memiliki karakter unik ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Karena dibesarkan oleh kemajuan teknologi, generasi milenial memiliki ciri-ciri kreatif, informatif, dan produktif. Dibandingkan generasi sebelumnya, mereka lebih berteman baik dengan teknologi. Generasi ini merupakan generasi yang melibatkan teknologi dalam segala aspek kehidupan. Bukti nyata yang dapat kita amati adalah hampir seluruh individu dalam generasi tersebut memilih menggunakan smartphone . Dari perangkat tersebut mereka mampu melakukan apapun dari sekadar berkirim pesan singkat, mengakses situs pendidikan, bertransaksi bisnis online, hingga memesan jasa transportasi online. Generasi ini mempunyai karakteristik komunikasi yang terbuka, pengguna media sosial yang fanatik, serta kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi.
Dalam hal ini , generasi milenial menjadi kunci utama keberhasilan adanya VIPSI atau Virtual Psikiater berbasis virtual reality sebagai wujud terapi online guna menurunkan tingkat depresi masyarakat. Melalui VIPSI berbasis virtual reality , konsultasi berbagai masalah psikologis dapat dijangkau bagi semua masyarakat, terutama generasi millenial. Mengingat virtual reality saat ini sedang merebak di tengah-tengah masyarakat, terutama di kalangan remaja. Dikaitkan dengan generasi milenial yang memang akrab dengan gadget dan paling suka bermain, menjadikan peluang bagi adanya VIPSI dalam implementasi kehidupan sehari-hari. Terapi online penderita depresi berbasis permainan simulasi dunia maya ini bisa dijangkau oleh semua orang di seluruh dunia tanpa batas dan waktu.
VIPSI BERBASIS VIRTUAL REALITY
Di era revolusi industri 4.0, berbagai inovasi telah muncul di kalangan milenial guna memecahkan berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Di tahun 2019 silam, telah banyak milenial yang membangun startup guna bersaing di era disruptif, seperti Shopee, Tokopedia, Go-Jek, dan sebagainya. Mereka berhasil menjadi unicorn bisnis digital dan menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia. Seperti halnya startup tersebut, kini VIPSI hadir dari pemikiran milenial yang ingin mengurangi adanya kasus kematian karena bunuh diri sekaligus membantu masyarakat dalam menjaga kestabilan emotional controlling untuk menghindari depresi yang berkelanjutan. Pengguna VIPSI dapat log in menggunakan akun yang telah didaftarkan pada konsultan yaitu psikolog ataupun psikiater terdekat yang nantinya juga akan dihubungkan dengan pihak rumah sakit. Sistem informasi jaringan yang diterapkan bersifat terintregasi antara pengguna, psikiater, dan rumah sakit. Rekam jejak dan aktivitas pengguna dapat dipantau oleh rumah sakit sebagai server utama dan psikiater sebagai subserver, namun dengan tetap memperhatikan privasi pengguna.
VIPSI menyajikan konseling digital berbasis virtual reality . Virtual Reality adalah teknologi berbasiskan komputer yang mengkombinasikan perangkat khusus input dan output agar pengguna dapat berinteraksi secara mendalam dengan lingkungan maya seolah-olah berada pada dunia nyata (Deepak Chandel and Akshit Chauhan, 2014). Virtual Reality memungkinkan pengguna dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan virtual (2D atau 3D) yang disimulasikan oleh komputer terhadap suatu objek nyata atau imajinasi dalam bentuk audio dan grafis, sehingga membuat pengguna seolah-olah terlibat langsung secara fisik pada lingkungan tersebut. Virtual Reality bekerja dengan membuat otak manusia seolah-olah merasakan berbagai hal yang virtual atau semu tetapi terasa seperti hal yang nyata benar ada di sekitarnya, jadi bisa di katakan, virtual reality adalah suatu proses penghapusan dan pemanipulasian dunia yang nyata di sekeliling manusia agar tidak terlihat dan di rasakan, dan kemudian membuat otak manusia tersebut merasakan ada di dunia virtual yang kenyataannya sama sekali tidak ada di sekitarnya. Untuk dapat merasakan sensasi virtual reality dibutuhkan sebuah alat yaitu headset VR. Misalnya seperti yang terdapat banyak di pasaran adalah Ocukus Rift atau gear VR , dan juga di butuhkan berbagai macam properti fisik lainnya yang semuanya bergantung pada detail lingkungan pada virtual reality tersebut.
Secara kasat mata, Headset VR berbentuk seperti kacamata selam, namun dengan keadaan lensa tertutup. Bagian yang mirip kacamata selam bernama VR Box , yang merupakan tempat untuk meletakkan smartphone yang memiliki fungsi untuk memproyeksi gambar virtual. Virtual reality yang masih menggunakan bantuan smartphone merupakan perangkat versi Standart. Berbeda dengan VR Headset yang sudah menggunakan teknologi oculus Rift yang merupakan teknologi canggih. Di dalam Headset VR, versi ini sudah tidak lagi menggunakan smartphone di dalamnya, karna sudah terdapat layar yang berfungsi untuk menampilkan vidio atau gambar virtual reality , dan juga bisa terhubung dengan komputer menggunakan Bluetooth .
Melalui VIPSI berbasis VR, pengguna tidak perlu memikirkan stigma masyarakat dan pengguna akan merasakan adanya supporting system untuk dirinya sehingga diharapkan pengguna dapat mengatasi depresi yang dialaminya. Potensi ekonomi VIPSI sendiri sangatlah besar, mengingat di era teknologi 4.0 hampir semua kalangan masyarakat, terutama millenial sangatlah dekat dengan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-harinya.