Bagaimana Masalah Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia?

image
Bagaimana pengaturan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia?

Pengaturan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia saat ini disinggung dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Pasal 34 UU Adminduk

  1. Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
  2. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
  3. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri.
  4. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang beragama Islam kepada KUAKec.
  5. Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
  6. Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil.
  7. Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

Pasal 35 UU Adminduk
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:

  1. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan
  2. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk
Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Pasal 35 huruf a tersebut menyatakan bahwa pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 34 UU Adminduk berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan.

Sedangkan yang dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk, yaitu perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Mengenai kemana perkawinan beda agama harus dicatatkan, apakah ke Kantor Urusan Agama (“KUA”) atau Kantor Catatan Sipil (“KCS”), tidak dijelaskan secara rinci.

Pasal 34 ayat (4) UU Adminduk hanya menyatakan bahwa perkawinan yang sah yang dilakukan oleh penduduk yang beragama Islam dilaporkan kepada KUA Kecamatan. Hal ini kembali ditegaskan dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk.

Jika perkawinan beda agama tersebut antara pasangan agama non-Islam dan non-Islam, maka jelas pencatatannya dilakukan di KCS. Akan tetapi bagaimana dengan perkawinan beda agama di mana salah satu mempelainya beragama Islam? Apakah perkawinan beda agama tersebut juga dapat dicatatkan ke KUA Kecamatan?

Untuk menjawabnya, kita dapat merujuk pada pengaturan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).

Dalam Pasal 2 ayat (1) PP 9/1975 dikatakan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu KUA.

Sumber