Bagaimana manajemen terapi penyakit ginjal kronis pada kucing maupun anjing?

Bagaimana manajemen terapi penyakit ginjal kronis pada kucing maupun anjing ?

Bagaimana manajemen terapi penyakit ginjal kronis pada kucing maupun anjing ?

2 Likes

Penyakit ginjal kronis adalah kelainan struktural atau fungsional dari satu atau kedua ginjal yang muncul dalam jangka waktu yang lama, bersifat ireversibel dan kemungkinan merupakan manifestasi akhir dari berbagai macam penyakit seperti penyakit penyakit infeksius, iatrogenik, metabolisme, kongenital, bahan toksik, traumatik, neoplasi, dan proses obstruksi yang menyerang ginjal (Lawson dkk., 2015). Biasanya kejadian penyakit ginjal kronis telah berlangsung dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan (Polzin, 2011).

Penyakit ginjal kronis sering terjadi pada anjing maupun kucing yang sudah tua (Burkholder 2000; Kralova dkk., 2009), biasanya disebabkan oleh diabetes mellitus (Arzi dkk., 2008) hipertensi (Morar dkk., 2011) atau glomerulonephritis (Vaden, 2005). Penyebab umum penyakit ginjal kronis pada anjing dan kucing adalah penyakit ginjal akut yang melanjut, pielonefritis, glomerulonefritis, nefrolitiasis dan ureterolitiasis. Penyebab yang berasal dari penyakit penyakit spesifik seperti FIP dan polycystic kidney disease (PKD) pada kucing, sindroma Fanconi, lyme disease pada anjing, amyloidosis ginjal, displasia ginjal dan limfoma ginjal (Reynolds dan Lefebvre, 2013; Hall dkk., 2014). Menurut Brown (2010), prevalensi penyakit ginjal kronis pada anjing adalah 0,5 – 1%, sedangkan pada kucing 1% - 3% dan kejadian akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur terutama pada kucing.

Ras juga merupakan salah satu faktor predisposisi kejadian penyakit ginjal kronis. Prevalensi kejadian penyakit ginjal kronis dua kali lipat pada kucing jenis Maine Coon, Abyssinian, Siamese, Russian Blue, dan Burmese (Lulich dkk., 1992). Anjing ras yang memiliki kecenderungan mengalami penyakit ginjal kronis antara lain Cocker Spaniel (Lees dkk., 1998), Bull Terrier (Jones dkk., 1989) dan Boxer (Chandler dkk., 2007).
Salah satu faktor risiko yang dicurigai dapat mengakibatkan gagal ginjal kronis adalah pakan komersial. Pakan komersial yang mengandung protein tinggi dan bersifat asam akan menekan kalium sehingga mengakibatkan hipokalemia (Brown, 1996). Hipokalemia tersebut akan mengakibatkan kucing mengalami gagal ginjal kronis. Penelitian awal yang dilakukn oleh Dow dkk. (1987) pada kucing yang diberi diet acidifiers berakibat hipokalemia dan azotemia.

Pengobatan penyakit ginjal kronis didasarkan atas gejala-gejala klinis yang muncul dan ditujukan untuk mengurangi penderitaan pasien. Pengobatan meliputi pemberian cairan pengganti (Wellman dkk., 2012), kalsitriol (Polzin dkk., 2005), antihipertensi/ ACE inhibitor (King dkk., 2006), hormon eritropoietik (Bloomberg dkk., 1992), suplementasi potassium (Sharon dkk., 1997), suplementasi antioxidant (Yu dkk., 2006), terapi alkalin (Allen, 2000), pembatasan diet P (Roudebush dkk., 2009), pemberian agen pengikat P (Bernachon dkk., 2014), dialisis (Crisp dkk., 1989) dan transplantasi ginjal (Bernsteen dkk., 1999). Tujuan utama pemberian diet adalah untuk memenuhi kebutuhan energi, menghilangkan gejala klinis akibat uremia, meminimalisir gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, vitamin, mineral dan asam basa (McLeland dkk., 2014). Penyakit ginjal kronis bersifat ireversibel dan tidak dapat disembuhkan sehingga diperlukan diet yang tepat untuk dapat memperbaiki kualitas serta kenyamanan hidup dan memperpanjang hidup hewan (Bartges, 2012).

Manajemen Terapi

  1. Kontrol status hidrasi
    Terapi cairan pada penyakit ginjal kronis sangat penting artinya karena kondisi hipovolemik dan hipotensi adalah akibat dari kurangya intake cairan (Maddison dan Syme, 2010). Tujuan terapi cairan pengganti adalah mengembalikan volume cairan tubuh kearah normal dan mengurangi gejala klinis uremia (Lee dkk., 2005).

  2. Hewan penderita penyakit ginjal kronis yang mengalami asidosis metabolik mungkin dapat di koreksi dengan pemberian natrium bikarbonat oral dengan dosis 8 – 12 mg/kgBB 2 – 3 kali sehari. Pakan dengan formulasi asam basa yang seimbang ditujukan untuk meminimalisir kejadian asidosis pada kucing penderita penyakit ginjal kronis (Sparkes dkk., 2016).

  3. Kontrol hiperfosfatemia
    Jika fungsi ginjal normal, secara klinis hiperfosfatemia jarang terjadi (Bellasi dkk., 2006;). Penyakit ginjal kronis adalah penyebab paling umum dari hiperfosfatemia pada kucing dan anjing dewasa (Kidder dan Chew, 2009). Pengobatan untuk kontrol hiperfosfatemia biasanya menggunakan intestinal phosphate binding agent seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, alumunium hidroksi, sukrosa alumunium hidroksi (sucralfate), lanthanum karbonat sevelamer HCl dan epakitin (Houston, 2016)

  4. Kontrol renal secondary hyperparathyroidism
    Hiperfosfatemia mengakibatkan berbagai konsekuensi seperti renal secondary hyperparathyroidism dan osteodistrofi renal (Nelson dan Feldman, 2004). Renal secondary hyperparathyroidism adalah suatu keadaan dimana terjadi hiperaktivitas kelenjar paratiroid dan peningkatan sekresi hormon paratiroid sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan kadar fosfat, kalsium dan kalsitriol dalam batas normal pada penderita penyakit ginjal kronis (Marx, 2000). Pemberian kalsitriol oral dosis rendah dianggap aman dan efektif untuk mengontrol renal secondary hyperparathyroidism pada anjing. Sebaliknya, pemberian dosis rendah pada kucing tidak mepunyai pengaruh yang berarti dalam mengontrol renal secondary hyperparathyroidism (Hostutler dkk. 2006).

  5. Terapi penyakit ginjal kronis dengan menggunakan Recombinant human erythropoeitin (rhEPO) pada kucing telah berhasil mengobati anemia non regeneratif. Kucing penderita menunjukkan peningkatan jumlah eritrosit, peningkatan berat badan, peningkatan nafsu makan, pertumbuhan rambut dan peningkatan aktivitas (Cowgill dkk., 1998; Randolph dkk., 2004; Chalhoub dkk., 2012). Selama terapi perlu dilakukan pemantauan yang seksama pada status Fe dan tekanan darah karena salah satu efek samping dari pemberian rhEPO adalah meningkatnya tekanan darah (Bloomberg dkk., 1992).

  6. Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi pada hewan kecil yang sudah tua (Jepson dkk., 2007). Angiotensin I-converting enzyme inhibitor (ACEi) dan calcium channel blocker (CCB) sudah sering digunakan untuk anjing dan kucing penderita hipertensi (Brown dkk., 2007). Termasuk dalam kelompok ACEi adalah benazepril, enalapril dan temocapril. Angiotensin I-converting enzyme inhibitor menghambat kerja ACE secara kompetitif (Lopez-Sendón dkk., 2004), dengan cara menghambat pembentukan angiotensin II (Sweitzer, 2003). Pemberian generasi baru ACEi (temocapril) mampu menurunkan tekanan darah pada anjing penderita penyakit ginjal kronis stadium awal.

  7. Kontrol hypokalemia
    Frekuensi kejadian hipokalemia akibat penyakit ginjal kronis lebih sering terjadi pada kucing dibandingkan dengan anjing (Ross, 2008). Hipokalemia dapat menyertai poliuria pada penyakit ginjal kronis awal, terutama pada penyakit-penyakit pada tubulus ginjal. Banyak bentuk suplemen kalium tersedia seperti serbuk yang dicampur dengan pakan, tablet kunyah maupun non - kunyah dan bentuk gel (Wolf, 2015). Selain diet dengan penambahan K, pemberian Kalium glukonat dan kalium sitrat per oral serta kalium klorida parenteral sering digunakan untuk koreksi hipokalemia pada anjing dan kucing (Ross, 2008).

  8. Kontrol Proteinuria
    Proteinuria adalah manifestasi utama pada penyakit ginjal dan merupakan indikator turunnya fungsi ginjal. Beberapa metode deteksi dapat digunakan untuk mengevaluasi kejadian proteinuria pada anjing dan kucing seperti analisa urin konvensional, penentuan rasio protein urin: kreatinin (UP/C), pemeriksaan konsentrasi albumin urin (Lees dkk., 2005; Bacic dkk., 2010), N-konsentrasi acetyl-β-d-glucos-aminidase (Jepson dkk., 2010), retinol binding protein (Smets dkk., 2010).

Referensi

Yanuartono et al,. 2017. Penyakit Ginjal Kronis pada Anjing dan Kucing: Manajemen Terapi dan Diet. Jurnal Sain Veteriner. Vol. 35 (1) : 16- 34.