Bagaimana Makna Puisi "Sajak Sebatang Lisong" dari Sudut Pandang Kajian Kritik Sastra?

SAJAK SEBATANG LISONG
rendra
Karya: W.S Rendra

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

Makna apa yang terkandung dalam puisi di atas dilihat dari kajian kritik sastra?

Sebelum kita mengenal lebih dalam mengenai karyanya, lebih baik kita mengetahui lebih dulu tentang penulisnya, yaitu W.S Rendra. Dia merupakan seorang pujangga muda yang dimiliki oleh Indonesia yang lahir di Surakarta, 07 November 1935 dan pada usianya yang ke 74 tahunan dia menghembuskan nafas yang terakhir kalinya di kota Depok. Willyibrordus Surendra Hawana Rendra adalah nama lengkapnya dan sekarang lebih terseohor dengan nama panggilan Rendra.

Dalam puisi yang berjudul “Sajak Sebatang Lisong” terlihat sekali bahwa Rendra sangat kritis sekalai dalam masalah kehidupan dan juga kesenian, ini bisa dilihat pada larik terakhir dari puisi tersebut yang bunyinya “Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.” Jika dilihat dari sudut pandang kehidupan Rendra pada masa lalu memang sudah dididik tentang filsafat, ilmu Barat, dan juga segala hal tentang pendidikan. Ini sesuai dengan pernyataan menurut pendapat Rendra yang mengungkapkan jika sejak remaja Rendra suka bergaul dengan para bruder dan pastur. Merekalah yang memperkenalkan kepadanya filsafat Barat, ilmu jiwa, dan ilmu pendidikan. Maka tak heran jika dalam puisi “Sajak Sebatang Lisong” ini Rendra sangat kental sekali dalam mengungkit bidang pendidikan di Indonesia yang pada tahun 1977 sedang tidak baik, sesuai dengan larik yang berbunyi “Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan.” Pada bait ke-dua puisi tersebut.

Jika dari struktur intrinsiknya sendiri, puisi ini dalam pembuatannya sudah menerapkan beberapa majas di dalamnya, salah satunya adalah majas anafora. Larik yang terdapat majas tersebut adalah pada bait ke-4, “tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya.”. Menurut Prihantini majas anafora adalah majas yang berupa pengulangan kata pada awal kalimat yang berturut-turut. Rendra dalam puisi ini juga bermain dengan menggunakan majas metafora yang bisa kita temui pada bait pertama yang berbunyi “Dua tiga cukong mengangkang .” Maksudnya cukong mengangkang disini adalah para penguasa yang sewenang-wenang dengan jabatannya dan menindas orang-orang bawah dan ini sesuai dengan keadaan pada masa itu. Majas metafora sendiri adalah majas perbandingan yang singkat dan padat, yang dinyatakan secara implicit dan langsung.

Jika kita menelaah pada beberapa bait saja, kita sudah bisa menangkap makna dari puisi ini. Kepandaian Rendra dalam pemakaian diksi seperti cukong mengangkang (bait ke-1), penyair-penyair salon (bait ke-8), dewi kesenian (bait ke-8) tetap tidak bisa menyembunyikan untuk siapa puisi ini ditujukan dan apa maksud dari penulisan puisi ini. Dari cukong mengangkang (bait ke-1) maka akan kita tangkap makna bahwa mereka orang-orang yang berkuasa di Indonesia tidak memperhatikan orang-orang yang butuh di bawahnya. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan baris selanjutnya yang berbunyi “berak di atas kepala mereka”, kata “mereka” sendiri di sini lebih merujuk ke penguasa yang congkak itu, karena makna berak sendiri adalah kotoran dan ditambah lagi di taruh di atas kepala mereka dan itu menandakan bahwa mereka benar-benar penguasa yang sangat kotor dan tidak pantas dikatakan sebagai penguasa karena perbuatannya yang tidak manusiawi.

Sedangkan untuk penyair-penyair salon sendiri itu bermakna bahwa Rendra mengkritik para seniman yang dalam berkarya tidak memperhatikan persoalan kehidupan, mereka hanya memperhatikan karirnya saja dalam dunia kesusastraan, karena pada beberapa baris selanjutnya “Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan.”. Artinya Rendra sangat tidak suka denga peyair yang tidak peduli dengan persoalan kehidupan, karena dari diri Rendra sendiri dalam penyusunan karya sastranya sendiri selalu memikirkan persoalan kehidupan seperti yang sudah dijelaskan tadi.

Jadi dari salah satu sudut pandang bisa dikatakan jika Rendra ini memprotes pemimpin yang membiarkan keadaan pendidikan di Indonesia pada saat itu semakin memburuk dan seniman-seniman juga hanya memikirkan kepentingan karir pribadinya dan menyampingkan perihal masalah-masalah sosial. Padahal banyak masyarakat Indonesia yang tersiksa seperti yang digambarkan Rendra pada puisinya, salah satunya terletak pada bait ke-5, “Aku melihat sarjana-sarjana menganggur, berpeluh di jalan raya. Aku melihat wanita bunting antri uang pensiun.” Jelas tergambarkan bagaimana keadaan masyarakat Indonesia yang tidak tentram pada saat itu.

Jika dilihat dari sudut ekstrinsiknya, maka terlihat jelas bagaimana keadaan sosial pada tahun 1977-an ketika Rendra ini sangat mempengaruhi isi dari puisi “Sajak Sebatang Lisong” ini. Isi dari puisi tersebut benar-benar menekankan keadaan masyarakat bawah, dalam bidang ekonomi, sosial, ataupun dalam bidang pendidikannya. Dimana pada masa itu penguasa adalah segalanya. Ungkapan mengenai hal ini langsung diungkapkan oleh Rendra pada bait pertama dan terus menjalar pada bait-bait selanjutnya. Seperti pada bait ke-3 “Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet.” Serta pada ke-8 “Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon.” Itulah kejadian yang dialami oleh Rendra pada saat itu sehingga dituangkan dalam puisinya. Pada akhir puisi, kita akan menemukan kesimpulan dari tujuan dibuatnya puisi ini, “Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir bila berpisah dari masalah kehidupan.”

Dengan adanya puisi W.S Rendra ini setidaknya kita yang sekarang hidup di zaman sekarang bisa mengetahui mengenai keadaan Indonesia pada tahun 1977-an, apalagi ditambah dengan adanya kritik sastra yang bisa menjadikan generasi setelah kita bisa mengetahui tentang peristiwa yang pernah terjadi saat ini, karena dari kritik sastra terhadap salah satu hasil karyanya bisa menjadi sebuah sumbangat untuk peneliti sejarah melalui karya sastra. Sesuai dengan pendapat Yudiono yang mengatakan jika kritik sastra memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau pengembangan teori sastra atau sejarah sastra.