Bagaimana Konsep Penelitian Sosiologi Sastra?

image
Pendekatan sosiologi sastra sering digunakan dalam mengkaji sebuah karya sastra, baik itu sastra tulis ataupun sastra lisan.

Bagaimanakah konsep penelitian sosiologi sastra?

Sastra Konsep adalah wilayah pemikiran. Pemikiran adalah asumsi-asumsi dasar yang melandasi keilmuan. Asumsi adalah anggapan dan terkaan awal dalam penelitian. Asumsi yang mendasari berbagai latar belakang, konsep, dan metode yang hendak digunakan. Asumsi penting penelitian sosiologi sastra adalah sastra tidak akan lepas dari masyarakatnya. Asumsi ini menjadi dasar pemikiran dan pijakan peneliti. Pemikiran sosiologi sastra yang menjadi sentral hadirnya sosiologi sastra. Hanya saja asumsi dan dasar pemikiran itu sifatnya abstrak. Ada kalanya asumsi dan dasar pemikiran tidak dicantumkan eksplisit, tetapi tetap ada.

Asumsi dan dasar pemikiran akan membangun konsep. Konsep dasar sosiologi sastra masih sering memunculkan diskusi panjang. Dasar pemikiran yang lazim mengitari konsep tersebut, adalah keterkaitan sastra dan masyarakat. Sosiologi sastra tidak pernah final diberi batasan. Banyak hal yang terkait dengan sosiologi sastra. Harus diakui bahwa dari konsep-konsep sosiologi sastra Barat, kita mengadaptasi ke suasana sastra tanah air.

Swingewood termasuk pengonsep sosiologi sastra terkemuka. Maksudnya, konsepsi dia banyak diikuti oleh banyak pihak. Menurut dia, sosiologi sastra itu sebuah penelitian tentang karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, yang mencerminkan suatu zaman.

Konsep tersebut menandai bahwa sosiologi sastra akan meneliti sastra sebagai:

  • Ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai sebuah cermin,
  • Karya sastra memuat aspek sosial dan budaya, yang memiliki fungsi sosial berharga.

Watt mengemukakan bahwa dalam sosiologi sastra yang dipelajari meliputi:

  • Pertama, konteks sosial pengarang

    • Bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencaharian (pengayom, dari masyarakat atau kerja rangkap) misalnya Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri yang bekerja sebagai penyair saja demikian juga Rendra dengan teaternya. Lain halnya dengan Sapardi Djoko Damono dan Umar Kayam yang merupakan seorang dosen.dan sastrawan, Hamsad Rangkuti, Ayu Utami sebagai repoter, Goenawan Mochamad sebagai pemred Tempo, Muatafa Bisri sebagai pengayom masyarakat, Taufik Ismail sebagai dokter hewan, pimpinan DKJ juga pemred Horison,

    • Profesionalisme kepengarangan, misalnya Chairil Anwar, Rendra, Sutardji, Danarto, Putu wijaya yang murni sebagai sastrawan,

    • Masyarakat apa yang dituju: Karya-karya Danarto dan Sutardji Calzoum Bachri ditujukan bagi pembaca yang menyukai sufisme, Rendra ditujukan untuk kalangan masyarakat intelektual, Nh Dini ditujukan untuk kalangan wanita, Iwan Simatupang ditujukan untuk kalangan yang menyukai filsafat.

  • Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat
    Sastra mungkin dapat mencerminkan masyarakat serta enampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat. Misalnya lintah darat, kawin paksa (Siti Nurbaya), kehidupan diplomat (novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini), kehidupan pelacur (puisi Nyanyian Angsa karya Rendra), kehidupan mahasiswa (puisi Seonggok Jagung karya Rendra ), kehidupan ronggeng (novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad tohari), kehidupan kaum gelandangan (novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang) kehidupan dokter (novel Belenggu karya Armijn Pane), kehidupan ilmuwan (novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya), kehidupan guru (novel Para Priyayi karya Umar Kayam).

Patut direnungkan, bahwa konsep sosiologi sastra akan melesap pada setiap genre sastra. Setiap genre memiliki pendukung secara kolektif. Ada sekelompok orang yang gemar macapatan, tetapi tidak suka geguritan, atau sebaliknya. Genre sastra sekaligus menjadi wajah dari sekelompok orang.Genre sastra sering merupakan suatu sikap kelompok tertentu. Novel-novel karya Putu Wijaya yang teatrikal, banyak digemari kelompok tertentu. Karya-karya geguritan St. Iesmaniasita, biasanya dipandang lebih ndesani dan feminis. Karya-karya cerpen Jayus Pete, banyak melukiskan dunia mungkin, sebagai karya absurd. Kadang-kadang sebuah karya akan menampilkan seluruh kondisi masyarakat secara detail. Ada pula karya sastra yang serampangan, hanya mengemukakan hal ihwal yang dangkal.

Sastra yang menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, kadang-kadang gagal. Sastra yang demikian, sering kurang menarik dari aspek estetika. Merahnya Merah menceritakan kehidupan gelandangan: rumah, cara kerja mereka, bercinta, kehidupan sehari-hari: mandi, makan, tidur, ke belakang, dan seterusnya, dianggap terlalu lugas. Mustinya sastra adalah dunia sosial pilihan, bukan asal-asalan. Novel Dokter Wulandari karya Yunani, hanya melukiskan sebagaian hidup Wulandari saja, yang penuh duka lara. Kecermatan novelis penting, namun tidak harus melukiskan semua hal.

Watt (1964) menyatakan fungsi sosial sastra sepertinya merupakan efek karya sastra pada dataran penikmat. Pembaca, termasuk golongan yang menjadi sasaran karya sastra. Pembaca yang mampu memanfaatkan karya sastra, tentu memiliki makna tersendiri. Idaman setiap zaman pun berbeda-beda dalam menikmati sastra. Watt jug amenyatakan bahwa setiap masyarakat memiliki idola terhadap karya sastra. Idola berkaitan fungsi karya sastra. Ada masyarakat yang memiliki idola karya sastra:

  • Buku-buku sastra yang memuat kebijaksanaan hidup,
  • Karya sastra epic, kepahlawanan, petualangan,
  • Sastra himne, yang membuat senandung tertentu.

Masyarakat jelas memiliki keyakinan, ilmu pengetahuan, dan aspirasi tertentu terhadap sebuah karya sastra. Jadi idealisme kolektif sering mempengaruhi keberadaan karya sastra. Karya-karya seperti Serat Wulang Reh, Serat Wedhatama, dan Serat Kalatidha, seakan menjadi favorit setiap kelompok. Banyak sinden wayang dan ketoprak yang sampai tergilagila pada karya tersebut.

Karya sastra yang menjadi perhatian publik, tentu menyimpan kelebihan khusus. Karya yang memiliki energi khusus, akan disimpan, dibaca berkali-kali, dan digunakan pada situasi tertentu guna menenteramkan jiwa dan keadaan sosial. Karya-karya sastra yang sukses akan mampu memberikan:

  • Efikasi terhadap penikmatnya,
  • Memberikan obat yang mujarap bagi pembaca,
    *Mengubah tindakan masyarakat, dan
  • Mempengaruhi sikap hidup pembacanya. Masyarakat pembaca akan menginternalisasi karya sastra atas dasar kemampuannya. Kehadiran nilai moral dan nilai sosial akan diserap oleh pembaca, hingga dijadikan pedoman hidup.

Bagi Wordworth, karya sastra dapat mengubah suasana hidup. Karya sastra dapat menciptakan suasana buruk dan sebaliknya juga mampu membuat suasana dunia menjadi lebih baik. Watt menawarkan pemikiran bahwa karya sastra memiliki fungsi:

  1. memberikan kesenangan,
  2. menyemaikan hiburan,
  3. menawarkan kesempurnaan hidup.

Ide dan doktrin karya sastra sering diikuti oleh pembaca. Karya sastra seringkali juga menampilkan tindakan anti sosial. Konsekuensinya, karya sastra tidak jarang yang mempengaruhi pembacanya.

Karya sastra yang baik, menurut Watt (1964) akan memberikan fungsi sebagai:

  1. pleasing, yaitu kenikmatan hiburan. Karya sastra dipandang sebagai pengatur irama hidup, hingga menyeimbangkan rasa.

  2. instructing, artinya memberikan ajaran tertentu, yang menggugah semangat hidup.

Karya sastra diharapkan mencerminkan aspek didaktik. Sejak zaman Goethe, Tolstoy, dan Shakespeare, karya sastra telah menawarkan ajaran moral. Kesadaran moral dalam sastra akan menjadi unsur penting dalam karya sastra. Kenikmatan dan ajaran selalu dibungkus dengan moralitas oleh sastrawan yang hebat. Sastrawan yang mampu berolah imajinasi, akan menyadarkan moral sosial secara bijak. Kalau demikian, berarti fungsi sastra tidak harus ditawar-tawar lagi, melainkan inherent dalam karya sastra.

W.B. Yeats meletakkan dasar pemahaman sosiologi sastra, khususnya fungsi sastra. Menurut dia, seni dan sastra adalah refleksi tindakan sosial manusia. Itulah sebabnya,membaca sastra sama halnya orang sedang memetik ajaran penting dari kehidupan. Keterkaitan sastra dan masyarakat sudah tidak dapat ditawar lagi. Sastra menjadi potret keadaan sosial. Yang menjadi tugas peneliti sosiologi sastra adalah menemukan fungsi ajaran dan hiburan karya sastra dalam hidup bermasyarakat. Tidak hanya fungsi sastra sebagai kebutuhan pribadi, melainkan juga berhubungan dengan aspek sosial. Mungikin sekali karya akan mempererat persaudaraan, kerukunan, dan peran serta manusia sebagai anggota masyarakat.

Konsep sosiologi sastra tetap akan mempertimbangkan aspek estetika. Aspek fungsi sosial sastra memang menjadi penekanan wajib, namun tidak berarti harus meninggalkan unsur estetika. Harry Levin (Junus, 1986:7) menyatakan bahwa melihat karya sastra bukan merefleksikan realita, tetapi membiaskan (to refract), bahkan mungkin merubah sehingga terjadi bentuk yang berlainan. Untuk mengembalikan ke bentuk asli, diperlukan interpretasi. Interpretasi sosiologi sastra, jelas mengaitkan estetika dengan fungsi-fungsi sosial sastra. Interpretasi merupakan jalur konseptik sosial, yang selalu dikaitkan dengan kaidah estetis. Kebohongan apa pun yang hendak ditampilkan dalam sastra, jelas perlu ditafsirkan menuju realitas sastra.

Fungsi sosial sastra, cukup banyak ragamnya. Fungsi menyangkut aspek pragmatika sastra. Bagi kaum romantik, fungsi sastra antara lain:

  • Sastra sama derajatnya dengan karya nabi, misalnya sastra keagamaan, Mahabarata, sastra suluk, dan sejenisnya yang bernilai profetik,

  • Sastra bertugas menghibur belaka (karya populer), untuk memberikan entertainment, mengajak gelak tawa, dan menyodorkan selingan indah,

  • Sastra mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Sastra memberikan sebuah fatwa bagi masyarakat, agar lebih bersikap manusiawi. Seperti filsafat dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang, sufistis dalam cerpen Berhala karya Danarto. Yang perlu ditekankan, ajaran dalam sastra bukanlah doktrin, melainkan disampaikan secara lembut. Sastra selalu tidak memaksa pembacanya. Sebaliknya, pembaca sendiri yang sering terpesona.

Ada sejumlah penelitian yang mencoba menelusuri asal-usul sosial jenisjenis sastra secara kongkret. Beberapa orang peneliti mengemukakan berbagai konsep sebagaimana diuraikan oleh Wellek dan Warren (1993).

Pertama Bucher yang telah membuat konsep yang agak berat sebelah, menurutnya puisi lahir dari irama kerja para pekerja kasar. Ahli-ahli anropologi meneliti fungsi magis seni primitif. George Thomson mencoba mengaitkan tragedi Yunani dengan kepercayaan dan ritual dan dengan revolusi sosial demokratis pada zaman Aeschylus. Christopher Cauldwell dengan agak naif mencoba menelusuri asalusul puisi pada emosi suku-suku primitif dan pada ilusi kaur.l borjuis tentang kebebasan individu.

Berdasarkan berbagai penelitian di atas Wellek dan Warren (1993) mengatakan bahwa efektif tidaknya sikap sosial memperkaya suatu karya sastra bergantung pada faktor penentu sosial dan bentuk-bentuk sastra yang sudah dikemukan. Sifat sosial bukan merupakan inti konsep sastra, kecuali kalau kita beranggapan bahwa sastra pada dasarnya adalah tiruan hidup dan kehidupan sosial. Tetapi sastra jelas bukan pengganti sosiologi atau politik. Sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri.

Wellek dan Warren kemudian mencoba merumuskan hubungan antara sastra dan masyarakat yang dapat diteliti dengan berbagai cara: faktor-faktor di luar teks, dan (b) hubungan antara teks sastra dan masyarakat. Faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks sastra; sedangkan teks sastra itu sendiri tidak ditinjau. Misalnya kita dapat meneliti kedudukan pengarang di dalam masyarakat, sidang pembaca, dunia penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak mempergunakan pendekatan ilmu sastra. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra memang diberi patokan dengan jelas, tetapi diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ia ingin meneliti persepsi para pembaca.

Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakat. Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam sastra? Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat. Peneliti tidak hanya menentukan bagaimana pengarang menampilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.

Adapun secara singkat Grebstein mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu: Karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk teknik penulisannya. Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu prestasi.

Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah: (a) sebagai faktor material istimewa, (b) sebagai tradisi. Dari gagasan itu, sekaligus menyajikan pilihan pada peneliti. Peneliti bebas menekankan fokus, apakah akan membahas masalah sastra sebagai ungkapan budaya atau yang lain. Namun, seluruh hal yang dibahas memang layak dikaitkan dengan kondisi pengarang. Keistimewaan karya sastra tidak semata-mata sebagai imajinasi, melainkan juga kemampuan melukiskan realitas sosial.

Penelitian sosiologi sastra fokus pada masalah manusia, karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pandangan ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.

Dalam perjuangan panjang tersebut, menurut Goldmann (1970), memiliki tiga ciri dasar, yaitu :

  1. kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, sehingga ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan,

  2. kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan

  3. dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.

Perspektif sosiologi sastra yang lain dan patut diperhatikan adalah pernyataan Levin (Elizabeth dan Burns, 1973:31)

literature is not only the effect of social causes but also of social effect ”.

Sugesti ini memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat mengarah pada hubungan timbal balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu pada gilirannya menarik perhatian peneliti. Sehingga seringkali karya sastra tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.

Hippolyte Taine (Laurenson dan Swingewood, 1971:31) adalah peletak dasar sosiologi sastra modern. Ia merumuskan bahwa sosiologi sastra adalah ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti. Namun demikian, karena karya sastra adalah multiinterpretable, tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting, penelitian sosiologi sastra hendaknya mampu mengungkap tiga hal yaitu ras [ etnis ], saat [ momen ], dan lingkungan [ milieu ]. Dengan demikian peneliti akan mampu memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya.

Menurut Taine, faktor-faktor tersebut di atas yang akan menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan ke dalam karya sastra dan seni. Faktor ras merupakan unsur yang mewarisi manusia dalam jiwa dan raga. Saat ialah situsi sosial politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan dan kondisi alam, iklim dan sosial. Hal ini berarti bahwa Taine telah menganggap hal-hal yang berhubungan dengan ilham yang bersifat misteri−dalam hal ini penulis menghubungkan dengan unsur skeptis naturalisme−dapat dijelaskan melalui lingkungan sosial yang mengitari misteri tersebut (Laurenson dan Swingewood, 1971 : 30-33).

Senada dengan Taine, Hender (melalui Saraswati, 2003:24) juga menyampaikan teorinya bahwa sastra di tempat tertentu dapat berkembang dan di lain tempat tidak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh iklim politik, ras, landscape , dan adat-istiadat. Maka sosiologi sastra perlu menemukan refleksi pengaruh tersebut. Hegemoni salah satu aspek pengaruh, sangat mungkin yang akan terkategorikan menjadi “jiwa zaman” Itulah sebabnya melalui penelitian sosiologi sastra, akan terungkap sejarah.

Referensi :

  • Goldmann, Lucian. 1970. The Sociology of Literature : Status and Problems of Method. The Netherlands: Mouton & Co. N.V Publ.
  • Elizabeth, and Tom Burns. 1973. Sociology of Literature & Drama. Australia : Penguin Books Inc.
  • Laurenson, Diana, and Alan Swingewood. 1972. The Sociology of Literature. London : Granada Publishing Ltd.
  • Saraswati Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra : Sebuah Pemahaman Awal. Malang : Bayu Media dan UMM.