Bagaimana konsep mengenai hakikat sastra?

Kata “sastra” sering dipakai dalam berbagai konteks yang berbeda. Hal itu mengisyaratkan bahwa sastra bukanlah suatu istilah yang dapat digunakan untuk menyebut fenomena yang sederhana melainkan sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas dan meliputi kegiatan yang berbeda-beda (Rahmanto, 1988:10). Menurut Aristoteles (dalam Budianta dkk., 2003), sastra merupakan suatu karya untuk menyampaikan pengetahuan yang memberikan kenikmatan unik dan memperkaya wawasan seseorang tentang kehidupan.

Teeuw (1988), menyatakan bahwa kesusastraan berasal dari kata “sastra” dan mendapat awalan “su”. Sastra itu sendiri terdiri atas kata “sas” yang berarti ’mengarahkan, pengajaran’, dan ”tra” menunjukkan ’alat atau sarana’. Oleh karena itu, sastra berarti ’alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instansi atau pengajaran’. Adapun awalan “su” itu berarti baik atau indah. Dengan demikian, susastra adalah alat untuk mengajar yang bersifat baik atau indah.

Sastra, bagi Sudjiman (1990), adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti orisinalitas, nilai artistik, dan estetika dalam isi dan pengungkapannya. Meminjam istilah Sumardjo (1982), kesusastraan adalah penggambaran yang memberikan pengalaman subjektif. Khususnya dalam novel, dalam penggambaran-penggambaran itu berupa rentetan peristiwa. Sejalan dengan itu, Rampan (1984) mengemukakan bahwa dari kata dasar “sastra” tersebut kemudian mendapat awalan “su” yang mengemban makna baik atau indah. Dari pendekatan ini dapat disarikan bahwa kesusastraan adalah tulisan atau karangan yang baik atau indah yang mampu berfungsi memberikan petunjuk, ajaran atau arahan.

Karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk menuangkan dan mengungkapkan ide-ide hasil perenungan tentang makna dan hakikat hidup yang dialami, dirasakan dan disaksikan. Seorang pengarang sebagai salah satu anggota masyarakat yang kreatif dan selektif ingin mengungkapkan pengalamannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kepada para penikmatnya (Tarigan, 1984).

Luxemburg (dalam Hartoko, 1984) membuat klasifikasi bahwa suatu karya cipta disebut sastra apabila ia memiliki sifat rekaan, yakni yang tidak secara langsung menyatakan sesuatu mengenai realitas, bahasa, serta pengolahan bahannya mampu membuka batin kita bagi pengalaman baru. Karya sastra mengemban suatu nilai serta ia merupakan wacana untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam masyarakat.

Menurut Wellek & Warren (1995), sastra merupakan suatu karya seni, karya kreatif manusia yang mengandung nilai estetik. Sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunia tersendiri yang merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Hal itu sejalan dengan pendapat Esten (1991) bahwa sebuah cipta sastra bersumber dari kenyataan hidup dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas ilmiah yang ditangkap indra sastrawan hanyalah sumber pengambilan ilham yang bersifat alamiah atau mentah kemudian diolah melalui daya imajinasi sastrawan yang membuahkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung. Dengan kata lain, sastra merupakan refleksi kehidupan sosial yang diungkapkan oleh sastrawan dengan ketajaman perasaan dan daya pikir yang mendalam sehingga dapat menangkap nilai-nilai agung dan pemikiran-pemikiran yang lebih jauh jangkauannya dibanding pandangan awam umumnya.

Bagi Teeuw (2003), istilah sastra itu paling tepat apabila diterapkan dalam seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif yang berisi ungkapan spontan dari perasaan manusia yang mendalam. Lebih lanjut Teeuw (2003) menjelaskan bahwa sastra itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi seni. Sebagai seni bahasa, sastra dapat didekati melalui aspek kebahasaan dan pertentangannya dengan pemakaian bahasa dalam bentuk lain, sedangkan sebagai suatu karya seni, sastra dapat didekati melalui aspek keseniannya.

Tolstoy (1971), menyatakan bahwa seni itu merupakan ekspresi dari suatu emosi. Meskipun tidak semua penjelmaan emosi itu merupakan sebuah seni, setiap seni akan memberikan kesan yang artistik. Selain itu, seni juga mempunyai karakter mempersatukan orang dan menyebabkan orang merasakan pancaran perasaan dari senimannya.

Danziger & Johnson (dalam Budianta dkk., 2003), menyampaikan bahwa sebagai “seni bahasa”, sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Dalam hal itu Teeuw (2003), berpandangan bahwa bahasa tulis ataupun bahasa lisan tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam membatasi dan membedakan apakah sesuatu itu termasuk dalam sastra atau bukan sastra.

Sebagai karya seni bermediumkan, sastra berisi ekspresi pikiran spontan dari perasaan mendalam penciptanya. Ekspresi tersebut berisi ide, pandangan, perasaan, dan semua kegiatan mental manusia, yang diungkapkan dalam bentuk keindahan. Sementara itu, bila ditinjau dari potensinya, sastra disusun melalui refleksi pengalaman, yang memiliki berbagai macam bentuk representasi kehidupan. Sebab itu, sastra merupakan sumber pemahaman tentang manusia, peristiwa, dan kehidupan manusia yang beragam.

Hugh (dalam Aminuddin, 1987) menyatakan bahwa karya sastra yang berbobot literer harus memenuhi dua kriteria utama, yakni :

  • relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity)

  • daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).

Berdasarkan batasan-batasan yang telah disampaikan dalam uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa setidaknya dalam sastra terdapat dua unsur utama, yaitu:

  • Isi
    Sesuatu yang merupakan gagasan/pikiran, perasaan, pengalaman, ide, semangat, dan tanggapan pengarang terhadap lingkungan kehidupan sosial yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca;

  • Bentuk
    Media ekspresi yang berbentuk seni sastra, yang pada umumnya bermediumkan bahasa beserta unsur-unsur yang mendukung totalitas makna yang terkandung di dalamnya.

Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem dasar kehidupan manusia, meliputi: maut, cinta, tragedi, harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, serta hal- hal yang transedental dalam kehidupan manusia. Problem kehidupan itu oleh sastrawan dikonkretisasikan ke dalam gubahan bahasa baik dalam bentuk prosa, puisi, maupun lakon (drama).

Jadi membaca karya sastra berarti membaca pantulan problem kehidupan dalam wujud gubahan seni berbahasa (Santosa, 1993).

Dengan demikian, karya sastra adalah suatu hasil karya seni baik lisan maupun tertulis yang lazimnya menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memberikan gambaran tentang kehidupan dengan segala kompleksitas, problema, dan keunikannya baik tentang cita-cita, keinginan dan harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, perjuangan, eksistensi dan ambisi manusia, juga cinta, benci dan iri hati, tragedi dan kematian, serta hal-hal yang bersifat transedental dalam kehidupan manusia. Jadi, karya sastra mengungkapkan gagasan pengarang yang berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai kehidupan, serta eksistensi manusia yang meliputi dimensi kemanusiaan, sosial, kultural, moral, politik, gender, pendidikan maupun ketuhanan atau religiusitas.

Sebagai karya seni yang mengedepankan nilai estetis (keindahan), karya sastra tidak hanya mengandung hikmah atau pelajaran berharga tentang kehidupan yang mahaluas tetapi juga memberikan hiburan sekaligus kenikmatan bagi pembacanya yang sulit ditemukan dalam karya lain. Dengan demikian, karya sastra yang berbobot literer dapat berfungsi untuk memperjelas, memperdalam, dan memperluas wawasan serta penghayatan manusia tentang hakikat kehidupan. Pendek kata, ** karya sastra yang baik mampu memperkaya khasanah batin pembacanya, bukan hanya memberikan hiburan dan kenikmatan semata yang terkadang bersifat profan** .

Sejalan dengan teori pendekatan dalam analisis model Abrams (1979), dapat dipahami pula bahwa dalam konsep karya sastra terdapat empat komponen yang saling berhubungan dengan perannya masing-masing. Empat komponen itu adalah:

  • Pengarang yang berperan sebagai pencipta

  • Karya sastra yang berperan sebagai sarana komunikasi antara pengarang dengan pembacanya

  • Realitas kehidupan sebagai sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi pengarang

  • Masyarakat pembaca yang berperan sebagai penikmat dan sasaran khalayak yang dituju oleh pengarang,

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra dapat dipandang sebagai sarana atau media pengungkapan dunia pengarang beserta ideologinya yang kompleks dan menyeluruh melalui medium bahasa. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, keyakinan, ide, dan semangat dalam bentuk karya seni yang dapat membangkitkan rasa keindahan melalui bahasa.

Karya sastra merupakan karya seni yang mengungkapkan eksistensi kemanusiaan dengan segala variasi dan liku-likunya secara imajinatif dan kreatif dengan menggunakan bahasa estetik sebagai mediumnya. Baik genre puisi, fiksi, maupun drama, karya sastra merupakan hasil refleksi sastrawan terhadap lingkungan sosialnya yang kemudian diekspresikan melalui bahasa yang indah dengan daya kreasi dan imajinatifnya. Dengan segenap daya cipta, rasa, dan karsanya, sastrawan mengungkapkan gagasan mengenai hakikat kehidupan yang dirasakan, dihayati, dialami, dan dipikirkan melalui karya sastra sebagai media ekpresinya yang imajinatif.

Dapat dikemukakan pula bahwa setiap karya sastra pada dasarnya memiliki dua bagian besar yang satu dengan lainnya merupakan sebuah jalinan yang saling menunjang. Dua bagian besar itu pertama adalah struktur luar (surface structure) yang menjadi media ekspresi dengan segala daya estetiknya yang dimanfaatkan sastrawan untuk mengungkapkan struktur dalam. Adapun bagian yang kedua adalah struktur dalam (deep structure) yang terdiri atas gagasan mengenai hakikat kehidupan dengan segala kompleksitas dan variasinya. Wajarlah jika struktur dalam yang sama dapat diungkapkan dengan struktur luar yang berbeda baik oleh sastrawan yang bersangkutan maupun oleh sastrawan lainnya. Itulah sebabnya, mengapa tema atau masalah yang sama dapat diolah dan diekspresikan menjadi berbagai genre karya sastra -puisi, fiksi, dan lakon/drama- yang berbeda-beda oleh para sastrawan. Hal itu bergantung pada daya kreasi dan daya imajinasi sastrawan yang dipengaruhi oleh wawasan estetik masing-masing dalam menangkap, menggauli, menghayati, memahami, dan menanggapi realitas kehidupan di lingkungan sosialnya.