Bagaimana Konsep dan Penerapan Inflation Targeting?

Bagaimana Konsep dan Penerapan Inflation Targeting?

Ketidakpuasan terhadap model kebijakan moneter yang lama dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, serta ditemukannya bukti-bukti baru tentang peranan uang dalam perekonomian, merupakan titik awal dari berkembangnya inflation targeting. Namun karena masih relatif baru, implementasi inflation targeting masih banyak mengalami hambatan. Umumnya, negara yang mengadopsi model ini masih berada pada taraf "melaksanakan sambil belajar”. Untuk itu, sebelum melangkah lebih jauh, pada bagian pertama ini penulis ingin memaparkan konsep dasar dari inflation targeting beserta konsekuensi yang harus diterima bila mengadopsi model ini, serta pengalaman di negara berkembang dalam menerapkan inflation targeting.

Karakteristik utama dari inflation targeting adalah dijadikannya target inflasi sebagai tujuan pokok dari kebijakan moneter. Sasaran yang harus dicapai adalah tingkat inflasi yang rendah dan stabil (Masson et al., 1998). Meskipun begitu, tingkat inflasi yang rendah itu sendiri sebenarnya masih menjadi kontroversi, dan besarnya inflasi setiap negara sulit untuk dikatakan sama (Mishkin & Schmidt-Hebel, 2003). Disamping itu, inflation targeting juga berbeda dengan model kebijakan moneter lainnya seperti monetary targeting, interest targeting dan exchange-rate targeting (Genberg, 2002; Seyfried & Bremmer, 2003). Dalam inflation targeting, yang diungkapkan adalah sasaran akhir (yaitu inflasi), sedangkan pada tiga model yang disebut belakangan, yang ditonjolkan adalah sasaran antara, yaitu, secara berturut-turut, jumlah uang beredar, tingkat bunga dan nilai tukar .

Ciri utama dari model inflation targeting seperti itu harus dibedakan dengan kondisi dimana Bank Sentral mengumumkan prediksi tingkat inflasi yang ingin dicapai. Kasus yang terakhir ini tidak bisa dikategorikan sebagai inflation targeting (Debelle, 2001) karena tidak ada kewajiban bagi Bank Sentral untuk mewujudkan estimasi inflasi pada saatnya nanti. Besarnya estimasi inflasi yang diumumkan hanya bersifat indikatif dan tarafnya masih pada tingkat yang ”diharapkan” dan bukan pada tingkat yang ”harus diwujudkan”, sehingga tidak bisa disamakan dengan target yang harus dicapai seperti dalam inflation targeting.

Meskipun demikian, pengertian tujuan pokok dalam inflation targeting tidak harus ditafsirkan secara absolut. Maksudnya, tujuan pokok inflasi tidak harus diartikan sebagai hilangnya tujuan-tujuan lain seperti pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja (Debelle, 2001). Namun perlu disadari bahwa target inflasi tetap menjadi target utama, sedangkan tujuan-tujuan lain menjadi tujuan sampingan (subordinate) yang tidak boleh mengganggu terwujudnya tujuan utama. Dalam model inflation targeting yang ketat sekalipun, pertumbuhan ekonomi masih menjadi pertimbangan penting karena peranannya yang sangat besar dalam menentukan besarnya tingkat inflasi di masa datang . Hanya saja, sejauh mana pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja dipertimbangkan dalam kerangka inflation targeting, semuanya tergantung dari fleksibilitas model yang diadopsi dan, dalam kenyataannya, kerangka tersebut tidak bisa disamaratakan untuk seluruh negara (Masson et al., 1998).

Berkembangnya inflation targeting tidak bisa dilepaskan dari kontroversi yang panjang diantara pakar-pakar di bidang moneter. Meskipun kontroversi itu belum berakhir, dan tampaknya tidak akan pernah berakhir, setidak-tidaknya ada empat hal yang sudah disepakati (Masson et al., 1997), yang kemudian menjadi premis dasar dari model inflation targeting (Masson et al., 1998). Empat premis dasar tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, uang bersifat netral dalam jangka panjang. Maksudnya, dalam jangka panjang, perubahan jumlah uang beredar hanya berpengaruh terhadap variabel nominal (misalnya inflasi), tetapi tidak berdampak sama sekali terhadap variabel riil (seperti pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja). Dalam literatur moneter, persoalan ini sebenarnya terkait dengan debat panjang antara dua kubu pemikiran. Yaitu antara, satu sisi, kelompok implicit mainstream view yang menekankan fungsi uang sebagai alat tukar dan berkesimpulan bahwa uang bersifat netral dan, sisi lain, kelompok money as social relation atau credit approach yang berkeyakinan bahwa uang bersifat tidak netral (Smithin, 2003). Namun sebagian besar studi yang dilakukan semenjak tahun 1970-an mendukung kenetralan uang terhadap sektor riil dalam jangka panjang (Taylor, 1996).

Kedua, tingkat inflasi yang tinggi dan sekaligus berfluktuasi memiliki biaya yang sangat mahal dalam perekonomian. Ada banyak studi yang membuktikan kuatnya hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, terutama bagi negara yang memiliki tingkat inflasi di atas negara maju (Bruno & Easterly, 1996). Disamping itu, inflasi juga berdampak negatif terhadap distribusi pendapatan melalui perubahan nilai kekayaan yang tidak proporsional (Ismail et al., 2005), dan sekaligus menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, uang bersifat tidak netral dalam jangka pendek. Tetapi, yang menjadi persoalan adalah, meskipun kebijakan moneter memiliki dampak positif terhadap output dalam jangka pendek, namun pemahaman para ekonom mengenai dampak kebijakan tersebut masih belum jelas. Ketidakjelasan itu meliputi: berapa besarnya dampak, kapan dampak itu akan muncul, dan bagaimana kebijakan moneter itu ditransformasikan ke seluruh sektor ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja, sebenarnya menghadapi ketidakpastian yang sangat tinggi (Dodge, 2005).

Keempat, adanya lag yang panjang antara saat diterapkannya suatu kebijakan moneter dan saat munculnya inflasi. Meskipun dampak kebijakan moneter terhadap inflasi benar adanya, tetapi kapan dan seberapa besar pengaruhnya, tidak bisa diketahui dengan segera dalam jangka pendek. Sebagai konsekuensinya, rumusan kebijakan moneter yang ditujukan untuk menciptakan stabilitas harga,perlu dirumuskan dalam kerangka jangka menengah dan panjang.

Dengan demikian, fokus pada sasaran tunggal inflasi justru akan mempermudah tercapainya sasaran kebijakan makro lain seperti pertumbuhan dan kesempatan kerja. Dalam kenyataannya, kebijakan moneter yang sejak awal dimaksudkan untuk mencapai tiga sasaran sekaligus (inflasi, pertumbuhan dan kesempatan kerja), justru mempersulit Bank Sentral, karena tidak semua sasaran tersebut bisa dikendalikan dengan baik oleh instrumen moneter. Akibatnya, ketiga sasaran tersebut sulit diwujudkan dalam waktu yang sama.