Bagaimana kisah tentang nabi Musa dan nabi Khidir?

Kisah Nabi Khidir AS memang sarat dengan pesan dan hikmah bijak. Bukan hanya seputar perjalanannya yang fenomenal dengan Nabi Musa AS, melainkan masih banyak lagi kisah hidup lain dari Nabi Khidir yang bermuatan hikmah agung.

Bagaimana kisah tentang nabi Musa dan nabi Khidir?

Islam adalah agama kebijaksanaan, akal dan hikmah. Dari sejak awal diturunkannya sejak masa Nabi Adam as., Islam telah mepersembahkan ajaran-ajarannya yang dipenuhi cahaya hikmah yang menjadi suluh pelita perjalanan umat manusia. Ya, Islam telah melahirkan pribadi-pribadi terpilih dari rahim suci ajarannya. Sejarah telah mencatat dengan sangat baik betapa banyak sosok-sosok agung nan cemerlang yang menghiasi cakrawala kebijaksanaan yang terlahir, dibimbing dan dibesarkan oleh ajaran Islam yang suci. Bahkan di kitab suci al-Qur’an, hampir sepertiga isinya menceritakan tentang kisah-kisah orang-orang yang terdahulu, baik mereka yang ingkar seperti Fir’aun dan Qarun, maupun mereka yang taat dan menjadi kebanggaan kebijaksanaan seperti para Nabi, alim-ulama dan mereka yang dekat dengannya. Yang mana melalui perantaraan merekalah kita bisa mengambil pelajaran dan mereguk hikmah suci Ilahi ini.

Salah satu kisah yang terkenal yang disebutkan oleh al-Qur’an mengenai kebijaksanaan dan hikmah orang-orang terdahulu ini terekam dalam Surat al-Kahfi: 74 yang artinya,

“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.”

Begitu terkenalnya kisah ini hingga ia sampai diabadikan oleh Allah Swt dalam kalam suci-Nya, yang mana ini menandakan nilai penting kisah ini dan kedalaman hikmahnya. Ini jelas karena mustahil Allah meletakkan dalam al-Qur’an firman-Nya yang tidak mempunyai makna.

Namun ketika sekilas membaca kisah yang diabadikan dalam salah satu ayat al-Qur’an diatas kita seolah-olah melihat sebuah kontradiksi yang sangat keras. Bagaimana tidak? Ayat di atas menyajikan kisah tentang salah seorang Nabi Allah yang dipuji oleh Allah mempunyai ilmu khusus, yaitu Nabi Khidhir as, yang mana sebagai seorang Nabi ia sudah sepatutnya bersikap lembut dan penuh kasih-sayang. Apalagi terhadap seorang anak. Namun pada ayat di atas disebutkan dengan jelas tindakannya yang langsung membunuh seorang anak (ghulam) yang baru saja ditemuinya di suatu desa. Anak yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukankah ini merupakan sebuah keganjilan yang sangat mencolok?

Bagaimana bisa seorang Nabi yang dipuji ilmunya oleh Allah Swt dalam al-Qur’an melakukan hal seperti ini? Bagaimana seorang Nabi bisa dengan mudahnya menumpahkan darah seorang anak yang tak berdosa? Bahkan Nabi Musa as. sendiri yang saat itu sedang mengiringinya pun –yang notabenenya sama-sama Nabi- sampai melanggar janjinya sendiri untuk tidak membuka mulutnya dan memprotesnya dengan keras!

Jika al-Qur’an adalah kita yang penuh hikmah dan tidaklah semua isinya kecuali hikmah dan kebijaksanaan, maka gerangan apa yang dikehendaki Allah dengan mengabadikan kisah ini di al-Qur’an? Bukankah ini seperti menorehkan tinta hitam pada kertas putih bersih semata? Tidakkah Allah Swt malah mencederai Nabi-Nya sendiri dengan kisah ini? Tidakkah Ia malah memaklumatkan ketidaksempurnaan-Nya dengan hal ini? Tentu saja, jawabannya adalah tidak! Justru sebaliknya, jika kita pahami dengan lebih teliti, kita akan menemukan kebijaksanaan dan hikmah yang sangat besar di dalamnya. Mari kita bahas bersama!

  1. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Khidir As adalah hamba Allah Swt yang memliki ilmu dan rahmat khusus Ilahi.

  2. Beberapa ayat dan riwayat yang ada memberi pemahaman bahwa terbunuhnya anak yang baru balig (ghulam) tersebut bukanlah akibat dari tindakan yang dilakukan karena kebencian, hawa nafsu atau amarah.

  3. Kematian anak tersebut di tangan Nabi Khidir As atas perintah dan izin Allah Swt.

  4. Tanpa diawali dialog atau percekcokan antara Nabi Khidir As dengan anak tersebut, Nabi Khidir As sengaja dengan penuh kesadaran membunuh anak tersebut. Jadi pembunuhan ini bukan kebetulan atau kecelakaan (ketidaksengajaan).

  5. Ayah dan ibu dari anak yang dibunuh tersebut adalah orang-orang Mukmin yang mendapat anugerah khusus dari Allah Swt. Nabi Khidir As ketika itu sangat mengkhawatirkan kedua orangtua si anak menjadi kafir dan sesat karena perangai buruk anak tersebut kelak.

  6. Merujuk ayat-ayat terkait peristiwa ini serta riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As, dapat dipahami bahwa Allah Swt hendak mengaruniai seorang anak perempuan kepada sepasang suami istri tersebut sebagai gantinya. Kelak dari rahim anak perempuan ini lahir nabi-nabi. Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, sekitar 70 nabi yang lahir dari keturunan anak perempuan tersebut. Sedangkan anak laki-laki tersebut menjadi penghalang lahirnya nabi-nabi tersebut.

  7. Anak laki-laki yang dibunuh Nabi Khidir tersebut tenggelam dalam kekufuran dan tiada harapan sedikitpun untuk menerima hidayah. Kekufuran serta keingkaran terhadap kebenaran mengakar di dalam hatinya, kendati secara lahiriah tampak seperti seorang suci. Dengan kata lain, kejahatan anak laki-laki tersebut adalah kufur atau murtad secara fitrah dan balasan setimpal bagi orang seperti ini tidak lain adalah hukuman mati.

  8. Kematian anak laki-laki tersebut membawa manfaat yang sangat banyak diantaranya adalah terpeliharanya iman kedua orangtuanya, kedua orangtua anak laki-laki tersebut terhindar dari segala bentuk kesedihan akibat adanya hubungan dan rasa kekeluargaan, merasa gembira karena telah sukses menjalani qada dan qadar Ilahi, memperoleh keberkahan yang melimpah (melalui anak perempuannya), Nabi Musa dapat mengetahui sebagian rahasia, ilmu gaib dan hakikat batin, teraplikasinya aturan-aturan Tuhan melalui Nabi Khidir As, mencegah bertambah beratnya pertanggungjawaban amal jelek anak laki-laki tersebut akibat perbuatan yang kelak akan dilakukannya (diantaranya: menyesatkan serta mengganggu kedua orangtuanya) dan lain sebagainya.

Setelah kita mengetahui fakta-fakta di atas, maka hal penting lain yang harus kita perhatikan adalah bawa diantara sifat kesempurnaan (kamaliyah) Allah Swt adalah sifat Hakim (Mahabijak). Sifat ini termanifestasi baik pada tataran takwini ataupun tasyri’i.