Bagaimana kisah meninggal atau wafatnya nabi Isa a.s ?

Wafatnya nabi Isa a.s. memiliki beberapa tafsir diantara beberapa ahli. Bagaimana kisah meninggal atau wafatnya nabi Isa a.s ?

Wafat atau mati akan dialami oleh seluruh manusia, tidak ada yang terkecuali, dalam hal kewafatan, yang paling unik lain dari pada manusia lainnya adalah kewafatan Nabi Isa AS. Awal mula terjadinya kisah kewafatan Nabi Isa AS. adalah ketika Allah SWT. mengutus Isa Putra Maryam untuk meluruskan aqidah kaum Yahudi. Akan tetapi kaum Yahudi iri dan mengingkari terhadap apa yang telah diberikan kepada Nabi Isa AS.

Sebagai Nabi, beliau diberi mukjizat diantaranya, beliau diberi kemampuan oleh Allah dapat menyembuhkan orang buta bawaan, orang yang mengidap penyakit kusta, menghidupkan orang yang sudah meninggal, membuat sejenis burung dan meniupkan ruh padanya sehingga burung tersebut dapat terbang. Namun demikian, Kaum Yahudi tetap tidak mempercayainya sebagai Nabi Allah.

Saat itu kaum Yahudi melepaskan diri dari agama ketuhanan yang Allah turunkan kepada Nabi Musa AS. mereka menambah kepercayaan yang bersifat tahayul serta mengada-ada hukum-hukum, mendukung ketidakadilan, kekejaman dan penipuan. Dijelaskan dalam QS. Ali Imran (3): 50 berikut;

Dan sebagai seorang yang membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan aku menghalalkan bagi kamu sebagian dari yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.

Ada dua pokok tujuan dari seruan Nabi Isa AS. pada kaum Yahudi ketika itu, yaitu membasmi kegilaan mereka terhadap materi sebagai penyebab kelalaian terhadap sang khaliq dan anggapan para Rahib (pendeta) bahwa mereka penghubung antara manusia dan sang khaliq, tanpa mereka maka tidak sempurna hubungan manusia dengan sang khaliq. Karena tantangan Nabi Isa AS. terhadap dua perkara tersebut, maka Nabi Isa AS. menjadi musuh dan sasaran kemarahan, mereka khawatir ajaran Nabi Isa AS. akan menyebar.

Ketakutan mereka, menjadikan mereka berupaya untuk menyakiti Nabi Isa AS. dan ibunya, mereka membuat fitnah terhadap Nabi Isa AS. dan ibunya, selain itu Nabi Isa AS. dan ibunya tidak diberi kesempatan untuk menetap di suatu negeri sehingga Nabi Isa AS. hidupnya berpindah-pindah berkelana ke daerah lainnya, namun hal ini pun belum memuaskan umat Yahudi. Mereka mulai menyusun tipu daya (makar) dengan mengadukan Nabi Isa AS. kepada Pilatus, wali atau gubernur Palestina ketika itu, yang menyembah dewa, dan keyakinan ini disebut Yunan.

Meskipun pada awalnya Pilatus tidak memperdulikan permasalahan tersebut karena baginya ajaran Nabi Isa AS. tidak masuk dalam ranah politik. Namun kaum Yahudi terus berusaha dengan menyampaikan berita bohong kepada Pilatus bahwa di Baitul Maqdis terdapat seorang laki-Iaki anak haram, yang menghasut dan menyesatkan manusia serta merongrong kekuasaan raja melalui rakyatnya, dan memutuskan hubungan orang tua dan anaknya. Akibat tuduhan-tuduhan tersebut dan karena desakan kuat dari imam-imam Yahudi, maka raja pun terpancing amarahnya karena khawatir dengan kedudukannya sebagai penguasa Romawi. Lalu ia mengirim surat pada wakilnya di Baitul Maqdis agar membunuh Nabi Isa AS, menyalibnya serta memakaikan mahkota dari duri di atas kepalanya.

Wakil Raja (Gubernur) yang berada di Baitul Maqdis menerima surat dari raja yang berisikan perintah untuk membunuh Nabi Isa AS., maka gubernur Baitul Maqdis segera menjalankan perintah raja. Ia beserta sekelompok orang Yahudi pergi ke rumah di mana Nabi Isa AS. berada. Nabi Isa AS. ketika itu tengah berada bersama sahabatnya yang berjumlah 12 orang. Mereka mengepung Nabi Isa AS, dan ketika itu adalah hari Jum’at sore menjelang malam Sabtu.

Itulah kisah awal mula Nabi Isa AS. mulai dicari oleh kaum Yahudi yang mengingkarinya dan merencanakan pembunuhan serta penyalibannya. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai kewafatan Nabi Isa AS. terdapat dalam QS. Ali ‘Imran (3): 55, menggunakan kata tawaffa (mutawaffika) dan menggunakan kata rafa’a (rafi’uka) sekaligus. QS. al-Nisa’ (4): 157-158 menggunakan kata rafa’a (rafa’ahu), sedang dalam QS. al-Ma’idah (5): 117 menggunakan tawaffa (tawaffaitani).

Kata tawaffa dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 39 kali dalam empat bentuk, yaitu :

  • Dalam bentuk fi’il madi sebanyak empal kali. Ketika kata ini dalam bentuk madi, memiliki makna wafat dan pelakunya selalu sesuatu yang gaib (Allah atau malaikat), baik yang diwafatkan itu hamba Allah yang baik maupun yang durhaka.

  • Dalam bentuk fi’il Mudari’ kata tawaffa disebut sebanyak 31 kali. Meskipun dalam hal ini pelakunya juga yang ghaib yaitu Allah dan malaikat, namun tidak selalu diartikan dengan wafat. Dari 31 kali kemunculannya dalam al-Qur’an, tercatat 30 kali memiliki makna yang berkaitan dengan kematian (wafat, mencabut nyawa, menemui ajal dan memegang) dan satu kali mengandung makna menidurkan.

  • Dalam bentuk fi’il ‘amr sebanyak tiga kali dalam bentuk do’a yaitu pelaku memohon diwafatkan dalam kebaikan.

  • Dalam bentuk ism fi’il satu kali yaitu dalam QS. Ali ‘Imran (3): 55

Untuk pemaknaan kata rafa’a dalam konteks kisah Nabi Isa AS., maka Hamka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan wafatnya Nabi Isa AS. sebagai berikut:

Firman Allah dalam QS. Ali Imran (3): 55

(Ingatlah) tatkala Allah berkata: Wahai Isa sesungguhnya Aku akan mewafatkan engkau dan mengangkat engkau kepada-Ku dan membersihkan engkau dari pada orang-orang yang kafir. Dan akan menjadikan orang-orang yang mengikut engkau lebih atas orang-orang yang kafir itu sampai hari kiamat. Maka kepada Aku-lah tempat kamu kembali. Maka akan Aku putuskan nanti antara kamu, dari hal apa-apa yang telah kamu perselisihkan padanya itu.

Sebagaimana yang telah menjadi metode penafsirannya, setelah mencantumkan ayat, Hamka menterjemahkan ayat secara global, kemudian memberikan uraian secara terperinci Kalaupun ada penjelasan kata (arti mufrodad) jarang dijumpai. Hamka lebih banyak menekankan kepada pemahaman ayat secara menyeluruh oleh karena itu yang banyak dikutip oleh Hamka adalah pendapat para mufasir terdahulu.

Hamka secara terperinci menafsirkan, bahwa arti yang benar dari ayat tersebut ialah bahwa maksud orang-orang kafir itu hendak menjadikan Nabi Isa AS. mati dihukum bunuh, seperti yang dikenal yaitu dipalangkan dengan kayu, tidaklah akan berhasil. Tetapi Nabi Isa AS. akan wafat dengan sewajarnya dan sesudah beliau wafat, beliau akan diangkat Tuhan ketempat yang mulia disisi-Nya, dan selamatlah beliau dari gangguan orang-orang kafir.

Hamka menyatakan bahwa kata mutawaffîka terambil dari kata yang bermakna “mematikan” sehingga wafat adalah mati, dan mewafatkan berarti mematikan, apalagi bertambah kuat arti wafat adalah mati, mewafatkan ialah mematikan, banyak dijumpai dalam al-Qur’an ayat-ayat yang di sana disebutkan tawaffa, tawaffahumu al-malaikatu, yang semuanya itu bukan menurut arti asal yaitu mengambil sempurna atau ambil, melainkan berarti mati. Dari itu arti yang lebih tepat yaitu ; “wahai Isa, Aku akan mematikan engkau dan mengangkat engkau kepada-Ku dan membersihkan engkau daripada tipu daya orang yang kafir”.

Dengan demikian Nabi Isa akan diangkat oleh Allah ke ‛sisi-Nya‛ sebagaimana Nabi Idris yang diangkat Allah derajatnya ke tempat yang tinggi., sebagaimana di sebutkan dalam surat Maryam (19): 57, Sebagaimana juga seperti orang yang mati syahid di dalam QS. Ali ‘Imran:169

Hamka sepakat dengan pendapatnya Al-Alusi di dalam tafsirnya Ruh al- Ma’ani, menyatakan bahwa mutawaffika artinya telah mematikan engkau, yaitu menyempurnakan ajal engkau (mustaufi ajalika) dan mematikan engkau menurut jalan biasa, tidak sampai dikuasai oleh musuh yang hendak membunuh engkau.

Hamka juga mengambil pendapatnya Rasyid Rida ketika beliau ditanya orang Tunisia, bunyi pertanyaannya,‛Bagaimana keadaan Nabi Isa sekarang? Di mana tubuh dan nyawanya? Bagaimana pendapat tuan tentang ayat inni mutawaffika wa rafi’uka? Kalau memang dia sekarang masih hidup, sebagaimana di dunia ini, dari mana dia mendapat makanan yang amat diperlukan bagi tubuh jasmani itu? Sebagaimana yang menjadi sunnatullah atas makhluknya?‛ jawab beliau setelah menguraikan pendapat-pendapat ahli tafsir mengenai ayat yang ditanyakan, tidaklah ada nas yang sarih (tegas) di dalam al- Qur’an bahwa Nabi Isa telah diangkat dengan tubuh dan nyawanya ke langit, dan hidup di sana seperti di dunia ini, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang makan dan minum beliau sehari-hari. Dan tidak ada nas yang sarih beliau akan turun dari langit, itu hanyalah aqidah orang Nasrani, sedang mereka itu telah berusaha menyebarkan kepercayaan ini dikalangan kaum muslimin.‛

Hamka dalam hal ini berbeda pendapat dengan jumhur ulama yang menyatakan bahwa Nabi Isa diangkat jasad dan nyawanya, sehingga beliau sekarang hidup dengan tubuh dan nyawanya. Jumhur ulama mengartikan kata tawaffa berarti tidur, Allah mengangkat Isa yaitu dengan menidurkannya terlebih dahulu baru kemudian diangkat ke langit ke tempat para malaikat.

Sebagaimana riwayat dari Muhammad ibn Ishaq dari Wahab ibn Munabih bahwa Nabi Isa ditidurkan terlebih dahulu selama 3 jam, kemudian baru diangkat kesisi-Nya. Riwayat dari Ibn Jarir al-Tabari dari Ibn Abi Hatim dari Rabi’ bahwa makna lafazh innî mutawaffika adalah mengangkatnya dalam keadaan tidur, dan berdasarkan riwayat dari Hasan, Rasulullah pernah berkata kepada kaum Yahudi bahwa Nabi Isa AS. belum wafat dan akan datang sebelum hari kiamat.

Argumen tersebut diperkuat dengan QS. al- An’am (6): 60,

"dan Dia-lah yang menidurkan kalian di malam hari‛.

Diperkuat kembali dengan QS. al-Zumar (39): 42

Allah yang memegang nyawa ketika matinya dan nyawa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi kaum yang berfikir.

Al-Tabari mengemukakan beberapa pendapat ulama bahwa makna lafaz tawaffa adalah al-qabdu yaitu menggenggam, mengambil, atau memegang. Sehingga lafaz inni mutawaffîka ilayya adalah menggenggam atau mengambil Nabi Isa dari bumi ke sisi-Nya tanpa melalui kematian, lalu mengangkatnya dari kumpulan-kumpulan orang-orang musyrik dan kafir yang mencarinya untuk dibunuh dan disalib.

Hamka bertolak belakang dengan pendapat jumhur ulama, karena Hamka menilai hadis-hadis tersebut tidaklah sampai kepada derajat mutawatir yang wajib diterima sebagai aqidah. Sebab aqidah tidaklah wajib melainkan dengan nas al-Qur’an dan hadis-hadis yang mutawatir. Oleh karena itu, tidaklah wajib bagi seorang muslim ber’itikad bahwa sekarang Nabi Isa masih hidup dengan tubuh dan nyawanya, dan orang yang menjalani aqidah itu tidak-lah kafir dari syariat Islam.

Hamka mengambil pendapatnya Muhammad Syalthut, tentang hadis- hadis bahwa Nabi Isa akan turun. Pendapat tersebut yaitu riwayat-riwayat itu adalah kacau-balau, berlain-lain lafaznya dan maknanya tidak dapat dipertemukan. kekacau-balauan ini dijelaskan benar-benar oleh ulama hadis, dan di atas dari itu semua, yang membawa riwayat ini adalah Wahab bin Munabbih dan Ka’ab al-Ahbar, keduanya itu ahlul kitab yang kemudian memeluk Islam, dan sudahlah dikenal derajat keduanya dalam penilaian ahli-ahli jarh dan ta’dil.

Ada pula hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Isa akan turun, akan tetapi hadis tersebut ahad. Menurut ijma’ ulama hadis ahad tidak berfaedah untuk dijadikan dasar aqidah dan tidak sah dipegang dalam urusan- urusan yang ghaib.

Muhammad Syalthut menyimpulkan:

  1. Tidak ada dalam al-Qur’an yang mulia dan tidak pula dalam Sunnah yang suci suatu alasan yang jitu, yang baik untuk dijadikan dasar aqidah, yang dapat menimbulkan ketentraman dalam hati bahwasannya Isa diangkat ke langit dengan tubuhnya, dan sampai sekarang masih hidup di langit dan bahwa dia akan turun ke bumi di akhir zaman.

  2. Kesimpulan yang didapat dari ayat yang berkenaan dengan soal ini adalah Allah menjanjikan kepada Isa bahwa Allah akan mewafatkannya menurut ajalnya, dan mengangkatnya kepada-Nya, dan memelihara dari tipu daya orang kafir, dan janji Allah itu memang telah terjadi, maka tidaklah dia mati dibunuh oleh musuh-musuhnya, dan tidaklah dia disalib, tetapi disempurnakan Allah ajalnya dan diangkat derajatnya.

  3. Barangsiapa yang tidak percaya Nabi Isa telah diangkat dengan tubuhnya ke langit dan bahwa dia mengingkari dalil yang qat’i (jelas dan nyata), maka tidaklah dia keluar dari Islam dan iman dan tidaklah boleh dia dihukum murtad, bahkan dia muslim dan mu’min, disembahyankan sebagaimana menyembahyangkan orang beriman yang lain, dikuburkan di pekuburan orang mu’min, dan tidak rusak imannya di sisi Allah. Dan Allah terhadap hambanya Maha Tahu lagi Maha Memandang.

Hamka mengatakan bahwa pendapat tersebut sama dengan keyakinan ayahnya (Abdulkarim Amrullah) di dalam bukunya al-Qaulush Shahih, yang menjelaskan bahwa Nabi Isa meninggal dunia menurut ajalnya dan diangkat derajat beliau di sisi Allah, jadi bukan tubuhnya yang diangkat ke langit, melainkan mengangkat derajatnya.

Meskipun Hamka dan ayahnya beserta ulama-ulama yang berpendapat Nabi Isa meninggal dunia menurut ajalnya dan bukanlah diangkat ke langit beserta tubuhnya, ditegaskan bahwa mereka bukanlah orang-orang Ahmadiyah yang meyakini demikian juga. Keyakinan Ahmadiyah bahwa Nabi Isa telah meninggal dan tidak diangkat tubuh dan nyawanya ke langit, hal ini hanyalah untuk memperkuat pendapat mereka bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, dan dialah Nabi Isa yang dijanjikan akan turun di akhir zaman nanti.

Setelah menjelaskan bahwa Nabi Isa wafat menurut ajalnya dan diangkat derajatnya di sisi Allah, kemudian Hamka menegaskan bahwa wafatnya Nabi Isa tidaklah di salib, sebagaimana dalam tafsirnya QS. al-Nisa’ (4): 157-158,

Dan kata-kata mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh al- Masih, Isa anak Maryam, Rasul Allah” Padahal tidaklah mereka membunuh akan dia dan tidaklah mereka menyalib akan dia tetapi disamarkan bagi mereka. Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih faham tentang itu,adalah dalam keadaan ragu dari padanya. Tidaklah ada pada mereka pengetahuan tentang hal itu, kecuali menurut sangka-sangka saja. Dan tidaklah mereka membunuh dia dengan yakin. Bahkan dia telah diangkat Allah kepada-Nya. Dan adalah Allah itu Maha Gagah lagi Bijaksana.

" Dan kata-kata mereka:‛ Sesungguhnya kami telah membunuh Isa anak Maryam.‛‛

Ayat ini menunjukkan bahwa orang Yahudi bangga mereka telah membunuh Nabi Isa anak Maryam (dengan cara disalib), yaitu Rasul Allah yang telah diutus Tuhan untuk mengembalikan mereka kepada isi Taurat yang sejati, akan tetapi kebanggaan mereka telah dibantah oleh Allah, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya:

padahal tidaklah mereka membunuhnya dan tidaklah mereka menyalibnya, tetapi disamarkan bagi mereka.”

Peristiwa penyaliban yang direncanakan oleh orang-orang Yahudi terhadap Nabi Isa AS. menyebabkan para mufassir berusaha memahami ayat tersebut di atas. Hamka misalnya, menafsirkan ayat mengenai rencana penyaliban Nabi Isa AS. yang direncanakan oleh kaum Yahudi dengan mengemukakan riwayat-riwayat yang mendukung penafsirannya agar sampai pada pemahaman yang jelas mengenai kejadian itu.

Gambaran umum mengenai penyaliban adalah memakukan orang yang divonis bersalah dengan cara membentangkan kedua tangannya pada kayu yang bersilang (kayu salib yang horizontal), sedangkan kedua kakinya diikat atau dipakukan pada kayu salib yang vertikal secara menyatu hingga mati. Dalam literatur Kristen dijelaskan bahwa penyaliban yang sebenarnya adalah sebagaimana yang berlaku pada Zaman kolonial Romawi yaitu tangan dan kaki yang dihukum tersebut diikat sekaligus dipakukan akan tetapi leher korban tidak dipakukan, maka si korban tidak Iangsung mati. Selama penyaliban, korban akan selalu dibasahi hujan dan panas matanari, lalu luka di tangan dan kaki korban akan meradang (tetanus) dan menyebabkan korban demam, lemas lalu meninggal setelah dua atau tiga hari. Penyaliban akan sempurna setelah korban benar-bcnar telah mati.

Dalam hal penyaliban ini, al-Qur’an membantah bahwa Nabi Isa AS. disalib sebagaimana ilustrasi penyaliban tersebut, akan tetapi Allah dengan kuasanya menyerupakan wajah seseorang dengan Nabi Isa AS. Sebagaimana dalam tafsirnya Hamka menyatakan ‚subbiha‛ artinya disamarkan, yaitu diadakan orang lain, lalu ditimbulkan sangka dalam hati orang yang hendak membunuhnya itu bahwa orang lain itulah Isa AS.

Maka yang mereka banggakan bahwa yang mereka bunuh ialah kebanggaan yang tidak mengena dengan kejadian yang sebenarnya. ‚dan sesungguhnya orang-orang yang telah berselisih tentang itu, adalah dalam keadaan ragu dari padanya. Artinya bahwa orang-orang yang berselisih faham tentang siapa yang mati terbunuh dan tersalib itu, yaitu ahli-ahli kitab, sebenarnya ragu atau bimbang tentang keadaan yang sebenarnya, pastikah yang disalib itu Isa atau orang lain? Tidak ada pengetahuan mereka yang pasti, dan suatu fakta yang dapat ditunjukkan sebagai bukti.

Kata syak menunjukkan arti ragu-ragu atau bimbang dalam menghadapi di antara dua soal, antara ada dengan tidaknya, tidak dapat memastikan kemana beratnya, kepada ada atau tidak ada. Menurut pemakaian bahasa Arab sama artinya dengan jahil, mengetahui sama sekali atau tidak terbayang di dalam zin (otak) atas adanya.

Tidaklah ada pada mereka pengetahuan tentang hal itu, kecuali menurut sangka-sangka.

Disimpulakan pengetahuan pasti mereka tidak ada, yang ada hanya semata sangka-sangka (zann).

Ahli mantiq mengatakan bahwa apabila dalam menimbang di antara dua hal, telah berat fikiran kepada adanya sesuatu, maka lawannya yaitu kemana ringannya fikiran bernama waham. Maka dalam ayat ini dijelaskan bahwasannya pendirian mereka mengatakan bahwa yang mati disalib itu ialah Nabi Isa, hanyalah semata-mata sangka-sangka.

Ditegaskan oleh Allah, ‚dan tidaklah mereka membunuh dia dengan yakin, sebab mereka tidak mengetahui dengan pasti bahwa yang terbunuh itu adalah Nabi Isa, memang ada yang terbunuh tetapi bukan pasti dia. Bukti bahwa mereka tidak mengetahui dengan pasti bahwa yang terbunuh itu Nabi Isa atau bukan yaitu Injil yang empat menyatakan, bahwa yang menyerahkan kepada imam-imam Yahudi itu adalah Yahuda (Yudas) Iskariot. Ketika mengajak menangkap itu si Yudas memberikan alamat, kalau nanti bertemu lalu si Yudas mencium tangan orang itu, maka itulah Isa.

Hal ini menjadi bukti bahwa tentara-tentara yang hendak menangkap itu tidak tahu pasti yang mana Nabi Isa AS.

Suatu riwayat yang dinukil dari Ibn Jarir menyatakan bahwa rupa Nabi Isa AS. disamarkan kepada Yahuda Iskariot, sehingga ialah yang ditangkap dan disalib. Riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas mengatakan ada murid Nabi Isa AS. yang bersedia mengorbankan diri menggantikan tempat Nabi Isa. Ketika serdadu Romawi datang beserta pemuka-pemuka Yahudi hari telah senja, sehingga muka manusia sudah tidak jelas, pemuda itulah yang memberikan dirinya.

Riwayat hadis shahih yang dinukil dari Ibn Abi Hatim dari Ibn Abbas, bahwa ketika Allah hendak mengangkat Nabi Isa AS. ke langit, pada saat itu di rumah terdapat 12 orang laki-laki Hawariyyin, kemudian Nabi Isa AS. keluar menemui para sahabatnya tersebut,. Beliau keluar dari sebuah mata air di rumah tersebut dan kepalanya meneteskan air. Lalu Nabi Isa AS. berkata:

‛Sesungguhnya di antara kalian ada orang yang kufur sebanyak 12 kali setelah beriman kepadaku.‛ Nabi Isa AS. bertanya,‛ Siapakah di antara kalian yang mau diserupakan denganku dan menggantikan tempatku untuk dibunuh dan nanti ia akan bersamaku dalam derajatku?‛ Maka berdirilah orang yang paling muda usianya di antara mereka, akan tetapi Nabi Isa AS. berkata, ‚Duduklah!‛ Begitu seterusnya Nabi Isa mengulang pertanyaannya hingga tiga kali dan selalu laki- laki itu yang berdiri, hingga akhirnya ia berkata,‛Engkaulah orang itu.‛ Lalu pemuda tersebut diserupakan dengan Nabi Isa AS. Sedangkan Nabi Isa AS. diangkat oleh Allah melalui ventilasi rumah tersebut menuju langit. Kemudian datanglah Kaum Yahudi (yang hendak membunuh Nabi Isa AS.) dan menangkap pemuda tersebut lalu membunuh dan menyalibnya.

Masih berkaitan dengan kewafatan Nabi Isa, kata lain dari mutawaffika (tawaffa) yaitu tawaffaitani disebutkan dalam QS. al-Ma’idah (5): 117 sebagai berikut.

Tidak ada yang aku katakana kepada mereka, kecuali apa yang engkau perintahkan dianya kepadaku (yaitu) bahwa hendaklah kamu beribadah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu. Dan adalah aku menjadi penyaksi atas mereka itu, selama aku ada pada mereka. Namun tatkala telah engkau wafatkan daku, adalah engkau menjadi penilik atas mereka, sedang engkau atas tiap-tiap sesuatu adalah Penyaksinya.

Ayat ini tidak lagi menceritakan kematian Nabi `Îsa, akan tetapi dalam ayat ini terdapat lafadz tawaffaitani yang terkait dengan kematian Nabi Isa. lafadz tawaffaitani merupakan bentuk lain dari lafazh tawaffa, yang dalam hal ini diperdebatkan oleh sebagian ulama bahwa kata tersebut diartikan sebagai
‚kematian‛, namun dalam konteks Nabi Isa AS. sebagian ulama yang lain memaknai dengan “tidur”.

Ragib al-Asfahani misalnya, dalam Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an memaknai kata tawaffa dalam kontek ayat ini dengan pengangkatan, bukan kematian. Begitu juga Ibn Kas|ir, menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang benar adalah Allah menanggalkan rencana kaum Yahudi untuk membunuh dan menyalib Nabi Isa AS. yaitu dengan menyerupakan wajah Nabi Isa dengan orang lain, lalu menyelamatkannya dengan cara menidurkannya kemudian mengangkat (rafa’a) Nabi Isa AS. ke sisi-Nya.

Penafsiran ayat dengan Hadis tidak digunakan karena menurut beliau hadis mengenai wafat Nabi Isa AS. seluruhnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah berkaitan dengan aqidah, alasannya yaitu:

  1. Hadis-hadis yang dijadikan hujjah jumhur ulama adalah hadis-hadis yang derajatnya tidak sampai kepada derajat mutawatir yang wajib diterima sebagai aqidah. Sebab hanya nas al-Qur’an dan hadis-hadis mutawatir yang wajib untuk dijadikan aqidah.

  2. Riwayat-riwayat tentang Nabi Isa akan turun ke dunia kelak di akhir zaman adalah kacau balau, berlainan lafaznya dan maknanya tidak dapat dipertemukan. Hal ini telah dijelaskan oleh ulama-ulama hadis.

  3. Riwayat-riwayat tersebut bersumber dari Wahab bin Munabbih dan Ka’ab al-Ah{bar, yang keduanya ahlu kitab yang kemudian memeluk Islam. Dalam penilaian jarh dan ta’dil keduanya derajatnya telah dikenal makdub

    Sementara ulama meragukan loyalitas atau paling tidak kedua tokoh tersebut tanpa sadar terpengaruh oleh kepercayaan orang Kristen yang meyakini bahwa Nabi Isa AS. hidup di langit dan kelak akan turun ke bumi.

  4. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi isa akan turun , adalah hadis ahad. Menurut ijma’ ulama hadis-hadis ahad tidak berfaedah dijadikan dasar aqidah dan tidak sah dipegang dalam urusan-urusan yang gaib.

Referensi:

  • Al-lmad al-Din abi al-Fida’ lsma’il ibn ‘Umar ibn Kasir al-Qurasyi al-Dimasqi, Tafsîr al-Qur’an al-`Azim (Kairo: Maktabah li al-Turas, 2000).
  • Harun Yahya, Menguak Tabir Nabi Isa dan Peristiwa Akhir Zaman. terj. Nurwahyudi, (Jakarta: Kaysa Media, 2008).
  • Ahmad Salabi, Perbandingan Agama Bagian Agama Masehi (Jakarta: Masa Nasional, 1964).
  • Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta:Pustaka Panjimas,1982).
  • M. Quraish Shihab, Tafsîr al Misbâh (Pesan,Kesan, dan Keserasian dalam al-Qur’an), (Jakarta: Lentera Hati, 2010).
  • Abu ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Galib al-Tabari al-Amuli, Tafsir Jami’ al-Bayan fî Tafsir al-Qur’an, juz V.