Bagaimana kekuasaan presiden dengan pengaruh parpol?
Sudah jamak diketahui, pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mengambil kebijakan sering kali lebih mengutamakan pertimbangan politik. Sebagai akibat dari mekanisme yang demikian, tentu kepentingan rakyat tidaklah menjadi prioritas, dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan lebih memberi keuntungan kepada pelaku politik bangsa.
Permasalahan utama dari lembaga kepresidenan Indonesia saat ini adalah presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sering kali dipengaruhi oleh partai politik. Hal ini terjadi karena presiden di Indonesia tidak pernah melepaskan statusnya sebagai kader partai, yang senantiasa harus menjalankan misi partai pengusung.
Semestinya, seorang Presiden harus melepaskan statusnya dari kepengurusan partai politik, atau statusnya sebagai kader partai, sebab ia tidak dipilih oleh partai politik, melainkan dipilih oleh rakyat Indonesia untuk memimpin bangsa Indonesia.
Namun dalam praktiknya, sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa beberapa presiden Indonesia tetap memangku jabatan sebagai pengurus partai saat masih menjabat sebagai presiden. Seperti halnya yang terjadi di kala Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dan Megawati Soekarno Putri, mereka sama-sama memangku jabatan ketua umum partai politik di kala menjabat sebagai presiden. Pada masa pemerintahan Jokowi-JK pun tak jauh berbeda, meski Jokowi bukan merupakan ketua umum partai politik, akan tetapi partai pengusung PDI-P melalui ketua umumnya Megawati Soekarno Putri berkali-kali menyatakan bahwa Jokowi adalah petugas partai. Hal ini tentu memberikan gambaran bahwa partai politik selalu saja dominan terhadap kekuasaan eksekutif.
Hal yang demikian senantiasa melahirkan kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat luas. Seringkali yang diuntungkan dari sebuah kebijakan pemerintah hanyalah kelompok kepentingan yang bernaung dibawah panji-panji partai politik penguasa.
Tidak mengherankan memang hal itu bisa terjadi, sebab selain dominannya pengaruh partai politik di Pemerintahan, juga ada fakta lain yaitu kecenderungan penguasa untuk lebih mempertimbangkan pertimbangan politik dibandingkan kepentingan umum. Dan hal ini sudah jamak terjadi, meski mereka (penguasa) mengatasnamakan rakyat dalam setiap kebijakan, namun nyatanya yang diuntungkan dari sebuah kebijakan itu tetap saja kelompok tertentu.
Presiden dan Pimpinan Partai
Feri Amsari dalam pemaparan makalah yang disampaikan pada Seminar RUU Lembaga Kepresidenan, Kamis, 11 April 2012, di Convention Hall Universitas Andalas menjelaskan :Ketika Presiden SBY dan Megawati memilih untuk mengelola partai sambil memimpin bahtera negara, maka tanpa disadari telah terjadi perubahan sistem pemerintahan. SBY secara tak langsung telah mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi bergaya parlementer. Kondisi yang sama pernah dilakukan Presiden Sukarno yang menata kabinetnya bak sistem pemerintahan campuran (hybrid system) ala Prancis, padahal pembentuk UUD 1945 menginginkan sistem presidensiil.Dalam masa revolusi, pilihan Sukarno untuk mengubah sistem pemerintahan bisa saja dibenarkan. Tapi tindakan SBY mengaburkan sistem pemerintahan tentu jauh dari prinsip konstitusional yang telah diatur dalam perubahan UUD 1945.
Lebih jauh, Feri Amsari memaparkan tentang dua kealpaan yang dilakukan oleh SBY dan Megawati. Pertama, SBY dan Megawati telah mengingkari pilihan konstitusi dalam menjalankan sistem pemerintahan. Para pendiri negara dan pelaku perubahan UUD 1945 menyepakati untuk memilih presidensiil sebagai sistem pemerintahan (baca: naskah BPUPK versi M. Yamin dan AB Kusuma). Sistem presidensiil tidak menghendaki ketua partai politik mayoritas di parlemen memimpin pemerintahan. Pola tersebut diharapkan menciptakan mekanisme pengawasan parlemen (legislatif) terhadap eksekutif. Pilihan SBY dan Megawati memimpin partai tentu menimbulkan kekaburan konstitusionalitas terhadap model sistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan UUD 1945.
Kedua, SBY dan Megawati telah menyebabkan kabinet gamang. Apalagi saat menjabat SBY telah memerintahkan para menteri kabinetnya untuk berkonsentrasi pada kinerja pemerintahan. Sementara pada saat itu Pemilu tahun 2014 sudah semakin dekat. Para menteri tentu saja bimbang karena pemberi komando telah mengingkari perintahnya sendiri. Bagi para menteri yang partainya berbeda dengan SBY, kealpaan ini menjadi kesempatan untuk mengabaikan perintah Presiden.
Menurut beliau dalam konteks sistem pemerintahan presidensial, pilihan Presiden hanya dua. Tetap berkonsentrasi membenahi partai atau fokus mengelola negara. Jika hendak mengelola partai, Presiden harus berani mundur dari jabatannya. Sebab, tidak wajar dalam sistem presidensiil apabila ketua partai juga merangkap mengelola negara. Manuel L Quezon (1878-1944) menyederhanakannya dengan ungkapan: “bahwa pengabdian terhadap partai berakhir ketika pengabdian pada negara dimulai”.
Dari pernyataan tersebut, jelaslah bahwa Presiden tidak diperkenankan mengabaikan negara demi menyelamatkan partai politik meskipun sedang mengalami kegoncangan. Presiden harus menentukan pilihan antara memilih mengabdikan diri kepada negara dengan meninggalkan partai politik, atau menjadi pecundang dengan memilih mengabdikan diri kepada partai politiknya.
Itu baru dalam konteks presiden itu menjadi kader aktif partai politik. Lebih jauh lagi, permasalahan lembaga kepresidenan Indonesia saat ini akan lebih terlihat ketika Presiden menggunakan hak preogratifnya dalam mengangkat dan memberhentikan menteri. Seperti halnya yang terjadi dari dua kali bongkar muat menteri selama pemerintahan Jokowi-JK.
Menteri yang pada awalnya diangkat dengan mempertimbangkan masukan dari beberapa lembaga penegak hukum guna untuk mengetahui rekam jejak calon menteri, kini tidak lagi terjadi di dua kali perombakan kabinet. Yang terjadi adalah pertimbangan politik selalu menjadi acuan oleh Presiden untuk memilih menterinya.
Bahkan tak jarang pula, Presiden dinilai telah melakukan kesalahan dengan memberhentikan menteri yang dinilai memiliki integritas oleh publik dengan yang masih “kabur” kinerjanya, atau memiliki catatan hitam di masa lalu.
https://www.harianhaluan.com/news/detail/62131/kekuasaan-presiden-dan-pengaruh-parpol