Bagaimana Kebijakan Politik Pintu Terbuka Bagi Pedagang dan Pendatang Tionghoa yang dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen?

Jan Pieterszoon Coen

Bagaimana Kebijakan Politik Pintu Terbuka Bagi Pedagang dan Pendatang Tionghoa yang dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen?

Pada awal abad ke-17, sebelum kolonialis Belanda datang ke Nusantara, bangsa Indonesia dengan Cina telah terlibat dalam hubungan perdagangan yang dimulai saat dinasti Han (206SM-220M). Pada masa ini, Tiongkok telah membuka jalur perdagangan dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, Jawa dan Sumatera termasuk dalam jalur pelayaran tersebut. Lambat laun, banyak penduduk Cina yang bermigrasi ke kepulauan Nusantara, karena daerah Nusantara sangat subur dibandingkan dengan negeri Tiongkok yang tandus dan kerap terjadi peperangan dan bencana alam.

Sebagian besar imigran Cina adalah laki-laki dan mereka tidak membawa istri dari negeri asalnya, maka mereka pun menikah dengan wanita setempat. Imigran Cina ini kemudian bermukim sampai beberapa generasi dan tidak pernah kembali ke negeri asal mereka. Oleh karena itu, munculah etnis Tionghoa peranakan yang kemudian merasa menjadi orang Indonesia, sebab mereka lahir, besar, bekerja dan meninggal di bumi Nusantara, bahkan sebagian besar mereka tidak bisa berbahasa Cina, serta mengganggap Nusantara sebagai tanah airnya sendiri.

Hubungan antara kedua bangsa semakin erat semenjak adanya kunjungan Panglima Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15. Pada saat itu Cheng Ho menegmban misi dari Kaisar Cheng Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan bangsa-bangsa asing, termasuk Nusantara. Pada saat kedatangan Panglima Cheng Ho yang pertama, sudah banyak terdapat warga etnis Cina di Pulau jawa, Sumatra, dan kaliamnatan. Pada akhir masa diansti Ming (1368-1644) dan awal dinasti Ch’ing (1644-1911) jumlah imigran Cina yang datang ke Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap dinasti Ming, sehingga banayak penduduk Cina yang bermigrasi menghindari peperangan (Wijayakusuma, 2005:8).

Imigrasi orang Cina pertama secara alami berasal dari Hokkien Provinsi Hukien di Cina Selatan dan mendarat di Jawa dari Pelabuahan kota Amoy. Para imigran berbicara dialek Hokien dan bahasanya, tata cara serta tradisi budaya yang lama kelamaan menyatu dengan tradisi penduduk lokal. Pengaruh budaya Hokkien terdapat pada budaya Betawi yang diidentifikasikan dalam “Bahasa Betawi” (bahasa ibu dari oarang-orang Jakarta) terutama dalam hal kata-kata yang berhubungan dengan makanan dan peralatan makan lokal. Aspek dari budaya Hokkien untuk beberapa tingkatan bisa dikenali dalam budaya peranakan di Jawa (Leo, 1973: 33).

Pemukiman Cina secara resmi berada di Batavia, dan terletak di timur sungai Ciliwung dan secara administrasi dipimpin oleh seorang Kapiten yaitu Nahkoda Watting. Pada bualan Januari 1611 perjanjian dibuat anatara Jacques l’Hermite dengan Pangeran Ariawijaya Krama pembelian mengenai lahan yang mana berdekatan dengan pemukiman Cina di Jakarta. Harga disepakati 3000 Gulden, setelah VOC mulai membangun loji di muara sungai Ciliwung. Dari masa inilah dimulai penetrasi VOC dan dominasi yang menjadi tidak bisa dihindari bagian dari sejarah Indonesia dan kota Batavia. Sebelum pendaratan pertama di Banten pada bulan Juni 1596, Cina telah memiliki posisi dominan dalam perdagangan lada dan bermain dalam pada aturan besar jaringan perdagangan pasar Asia yang sedang berkembang di wilayah ini.

Pengalaman dalam VOC sejak dia berusia 22 tahun, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen merencanakan membangun kekuatan penuh kekuatan VOC di wilayah timur seperti Portugis yang telah melakukannya di Goa, Malaka, dan Makau. Coen, pria berwawasan dan memiliki pandangan ke depan yang tajam, melihat bahwa, tetangganya yaitu pelabuhan Banten berkembang. Pengalamannya yang luas di Timur, meyakinkanya bahwa kemakmuran kota merupakan bagian dari tata niaga dan industri yang dilakukan orang-orang Cina. Lagipula, ide Coen untuk membangun di timur tidak disetujui oleh Heeren , dari surat-suratnya yang permintaanya tidak pernah dibalas. Coen Mengatakan bahwa “daer is geen volck die onsbeter dan Chinesesen dienen” (Tidak ada orang lain yang bisa melayani lebih baik dibanding orang-orang Cina) (Haan, 1922:10).

Didorong oleh perhatian untuk membangun Batavia, dimana beberapa tahun kemudian adalah kejayaan diketahui sebagai Koningin van het oosten (Ratu dari Timur), Coen mengajak orang-orang Cina dari Banten dan penduduk pinggir pantai seperti Cirebon dan Jepara untuk pindah ke Batavia. Bahkan itu menandakan bahwa dia memerintahkan tentaranya untuk menangkap orang-orang Cina. Awalnya upaya penculikan di Tiongkok berkedok perdagangan. Oleh karena upaya perdagangan tidak berhasil, maka dilakukanlah upaya penculikan penduduk di tahun 1622 untuk dijadikan budak. Dibawah perintah Komandan Cornelis Reyerz, VOC mulai melakukan penculikan di berbagai kepulauan Tiongkok, salah satunya di Pulau Peng Hu. Kurang lebih penduduk Peng Hu diculik untuk dipekerjakan sebagai budak di batavia dan nusantara lainnya. Mereka sering mendapat perlakuan yang sangat menyedihkan dan tidak berperikemanusiaan, sehingga mengakibatkan lebih dari setengah jumlah mereka meninggal dunia dan hanya tersisa 571 orang. Dalam perjalanan menuju Batavia, 473 orang meninggal dunia dan hanya sedikit saja yang sampai ke Batavia dan pada akhirnya hanya tersisa 33 orang (Vermeulen, 1938:9).

Melihat maraknya perdagangan di Batvia, VOC kemudian berencana untuk membangunnya hingga menjadi sentra perdagangan dan pemukiman bagi para pejabat VOC. Untuk merealisasikan hal itu, VOC banyak memerlukan budak. Sebagian besar budak diambil dari Bengali, arrakan, Malabar, Koromandel, bahkan Tiongkok. Para budak ini, umumnya memiliki keterampilan seperti koki, tukang kayu, tukang batu, penjahit, tukang kode, dan lainnya. Kehidupan mereka sangat memprihatinkan karena mereka kerap dianiaya. Oleh karena itu, banyak budak yang melarikan diri ke hutan (Hardi, 1987:77-78).

Saat kota mengalami pertumbuhan, orang-orang Cina ikut membangun Batavia seperti tukang kebun, petani beras, penjual ikan, dam juga menjadi pemahat, tukang ledeng, tukang kayu, pemotong kayu, pemilik toko. Dan mereka juga bekerja di konstruksi bangunan dan kantor-kantor VOC, membangun kanal-kanal (grachten) dan membuat kapal-kapal.

Beberapa dari mereka menyelidiki daerah pedalaman disekitarnya, Ommelanden, dan mengolah tanah untuk perkebunan gula serta penyulingan arak. Imigran Cina ada sekitar 300 sampai 400 jiwa di Batavia pada bulan Oktober 1619. Pada bulan Juli 1620, pertumbuhan penduduk imigran Cina meningkat menjadi 800 jiwa. Di tahun 1621 jumlah mereka 2100 jiwa dan tahun 1627 sebanyak 3500 jiwa, tapi tahun 1629 mereka mengalami penurunan menjadi 2000 jiwa (Lohanda, 1996:8).

Warga imigran Cina mulai mengusahakan pendirian pabrik-pabrik penggilingan tebu untuk pembuatan gula. Banyaknya pabrik penggilingan tebu yang berdiri di sepanjang daerah Batavia telah memberikan keuntungan, bukan hanya untuk warga imigran Cina tetapi untuk VOC. Kemajuan usaha ini membuat VOC menghentikan impor gula dari Cina Daratan yang saat itu dianggap memilki harga yang lebih tinggi. Pada tahap awal jumlah pekerja rata-rata di setiap pabrik gula mencapai 112 orang tenaga kerja, 40% adalah waraga imigran Cina yang bertanggung jawab memasak gula dan 60% adalah tenaga kerja dari warga pribumi, yang bertanggung jawab menanam, menebang, dan menggiling tebu, serta mengangkut bahan dan barang jadi. Melihat maju pesatnya usaha perkebunan tebu dan penggilingan tebu yang dimiliki warga imigran Cina, maka tindakan monopoli VOC semakin meningkat.

Pemerintah VOC mengharuskan pemilik pabrik penggilingan tebu untuk menjual gulanya kepada VOC dengan harga relatif rendah. Selain itu, pungutan bea dan pajak kepala terhadap mereka terus dinaikkan, tanpa mengenal perikemanusiaan. Dapat dikatakan bahwa saat itu masa kejayaan ekonomi warga imigran Cina. Pada waktu itu tingkat permintaan gula di pasaran Eropa sangat tinggi. Hal ini ditunjang pula oleh adanya perjanjian perdamaian dengan Banten tahun 1683, sehingga mendukung sekali pengembangan usaha gula. Oleh karena itu, komisaris VOC, meningkatkan pembelian kepada warga imigran Cina yang menjadi pengusaha gula. Banyaknya pabrik gula membutuhkan banyak pekerja sehingga memicu meningkatnya arus migrasi penduduk Cina.

Para imigran ini adalah pekerja ilegal. Situasi ini memaksa pemilik usaha penggilangan gula (Chinese Potchias) kerap harus bermurah hati kepada mereka untuk dipekerjakan di penggilingan gula miliknya. Dari sekian banyak imigran Cina yang ilegal tidak sedikit yang menjadi budak. Banyaknya imigran Cina yang datang ke Batavia, membuat VOC menerapkan peraturan bea masuk yang lebih tinggi terhadap mereka. Meningkatnya tekanan peraturan terhadap warga imigran Cina oleh pemerintah pusat tersebut, membuat pejabat-pejabat VOC bertindak korup. Akibatnya, segala sesuatu yang dipandang hanyalah materi semata. Untuk mendapatkannya tak segan mereka melakukan pemerasan (Wijayakusuma, 2005:76)