Bagaimana kebijakan fiskal yang dilakukan pada masa Rasulullah dan para sahabat?

Kebijakan fiskal

Bagaimana kebijakan fiskal yang dilakukan pada masa Rasulullah dan para sahabat ?

Kebijakan Fiskal Pada Masa Rasulullah


Pada awal-awal pemerintahan Rasulullah pendapatan dan pengeluaran hampir tidak ada. Rasulullah sebagai pemimpin melaksanakan tanggung jawab pemerintahan tanpa mendapatkan upah dari negara maupun masyarakat, kecuali hadiah kecil berupa makanan. Sumber pendapatan negara diperoleh dari kontribusi sukarela untuk membiayai pertempuran-pertempuran dan biaya sosial lainnya.

Selanjutnya seiring dengan berjalannya waktu serta melalui petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam wahyu-Nya, negara mulai mendapatkan penghasilan, berupa :

  1. Anfal (rampasan perang). Turunnya surah ini pada waktu antara perang Badar dan pembagian rampasan perang yaitu pada tahun kedua Hijriyah. Khumus (seperlima) dari anfal harus dikhususkan untuk baitul mal (kas negara) dan empatperlima dibagikan kepada yang ikut berperang. Dengan cara ini, khumus menjadi sumber pemasukan negara yang rutin.

    Adapun hukum dasar anfal dinyatakan dalam Al-Qur’an surah Al-anfaal ayat 1 yaitu:

    Terjemahnya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-anfaal ayat 1).

  2. Shadaqah terdiri atas dua macam yaitu zakat fitrah yang wajib hukumnya dan shadaqah yaitu mengeluarkan kebajikan baik dalam bentuk harta maupun perbuatan.

  3. Waqaf, mulai muncul pada zaman Rasulullah berdasarkan kejadian pelanggaran terhadap perjanjian kesepakatan antara Rasulullah dengan Bani Nadir. Akibat pelanggaran tersebut Bani Nadir kemudian meninggalkan Madinah dengan membawa harta yang bisa dibawa. Tanah yang ditinggalkan kemudian menjadi milik Rasulullah menurut ketentuan Al-Qur’an (QS.59-2).

    Terjemahnya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”

    Harta tersebut kemudian dibagikan kepada kaum muslimin yang miskin. Seorang rabi Bani Nadir, Mukhairik, yang masuk Islam memberikan tujuh kebunnya yang kemudian oleh Rasulullah dijadikan tanah sadaqah. Inilah wakaf Islam yang pertama.

  4. Jizyah adalah pajak yang dibayar oleh orang-orang non muslim sebagai pengganti fasilitas sosial ekonomi dan layanan kesejahteraan lainnya serta untuk mendapatkan perlindungan keamanan dari negara Islam. Jizyah dikenakan oleh Nabi Muhammad saw kepada orang-orang Kristen dan Magian sebesar satu dinar per tahun bagi orang dewasa yang mampu membayarnya. Pembayaran tidak harus berupa uang tetapi juga bisa dalam bentuk barang atau jasa.

  5. Usyur (pajak cukai sepersepuluh) yang dikenakan kepada pedagang non muslim atas barang-barang yang lebih dari 200 dirham. Tingkat bea orang-orang yang dilindungi adalah 5% dari keseluruhan hasil daratan yang diairi oleh alat-alat irigasi tiruan seperti sumur-sumur, ember dan lain-lain.

Pendapatan tersebut menjadi pendapatan fiskal utama dalam masa pemerintahan Rasulullah, selain beberapa pendapatan sekunder berupa uang tebusan tawanan perang, khumus, zakat fitrah, amwal fadhila, nawaib, kafarat.

Kebijakan Fiskal Pada Zaman Kekhalifahan Khulafaur Rasyidin


Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq

Abu Bakar As Shidiq diangkat sebagai khalifah pertama sepeninggal Rasulullah. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, beliau harus menghadapi pembangkangan kepada negara diantaranya adalah penolakan untuk membayar zakat kepada negara, bahkan ada salah satu suku yang memungut dan mendistribusikan diantara mereka sendiri tanpa sepengetahuan Abu Bakar. Langkah yang dilakukan pertama kali oleh Khalifah adalah penumpasan pemberontakan tersebut melalui peperangan yang disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Langkah tersebut salah satu kebijakan Abu Bakar untuk melakukan penegakan hukum kepada pihak yang tidak mau membayar pajak atau zakat.

Pada masa itu kebijakan pengelolaan anggaran yang dilakukan Abu Bakar adalah dengan langsung membagi habis harta baitul maal. Kebijakan dimana berapapun pemasukan yang diperoleh negara langsung didistribusikan, termasuk ketika baitul maal menerima uang sebesar 80.000 dirham dari Bahrain. Sistem pendistribusian seperti ini melanjutkan apa yang dilakukan pada masa Rasulullah, sehingga pada saat beliau wafat hanya ada satu dirham yang tersisa dalam perbendaharaan keuangan. Oleh karena itu Abu Bakar sebelum wafatnya berpesan supaya semua fasilitas yang pernah diterimanya dialihkan kepada penggantinya, yaitu khalifah Umar.

Selama Abu Bakar memerintah sebagai khalifah, kebutuhan beliau beserta keluarga dipenuhi oleh harta dari Baitul Maal. Meskipun pada awalnya beliau menolak fasilitas itu dengan cara masih berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya82.
Untuk mencukupi kebutuhan beliau karena keterbatasan penghasilan Abu Bakar sebagaimana dikatakan Siti Aisyah :

“Umatku telah mengetahui yang sebenarnya bahwa hasil perdagangan saya tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi sekarang saya dipekerjakan untuk mengurusi kaum muslimin”.

Oleh karena itu menurut beberapa keterangan, beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga per empat dirham setiap hari dari baitul maal dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan lain 6000 dirham per tahun.

Khalifah Umar Bin Khattab

Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini memerlukan perhatian khusus mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif dan efisisen.

Pada saat kekhalifahan Umar bin Khatab, Umar mengambil kebijakan yang berbeda dengan yang sebelumnya dalam mengelola baitul maal. Kebijakan yang diambil adalah tidak menghabiskan seluruh pendapatan negara secara sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, sebagian diantaranya digunakan untuk dana cadangan.

Pada tahun 16 H Abu Harairah, Amil Bahrain, mengunjungi kota Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj. Jumlah ini merupakan jumlah yang besar sehingga kemudian khalifah mengadakan pertemuan dengan majelis syura untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari hasil pertemuan tersebut kemudian diputuskan bahwa dana tersebut tidak akan didistribusikan melainkan disimpan untuk cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan kebutuhan umat yang lain.

Untuk mengelola dana tersebut Umar membangun baitul maal dan mengembangkannya sehingga menjadi lembaga yang permanen, serta mendirikan cabang-cabang baitul maal di tiap provinsi. Baitul maal berada dibawah seorang bendahara yang wewenangnya diluar otoritas eksekutif.

Baitul maal secara tidak langsung menjadi pelaksana kebijakan fiskal negara Islam, dan khalifah yang berkuasa penuh atas dana tersebut, tetapi khalifah tidak boleh menggunakan harta baitul maal untuk keperluan pribadi.

Adapun kebijakan pendapatan pada masa Khalifah Umar yaitu :

  • Umar melakukan sistemisasi dalam pemberlakuan pungutan jizyah kepada ahlu dzimmah (penduduk suatu negara yang memiliki perjanjian damai dengan negara Islam) dalam tiga tingkatan sesuai kemampuan membayar yaitu :

    1. 12 dirham setiap tahun bagi pekerja manual dan orang miskin;

    2. 24 dirham atas kelompok berpenghasilan menengah;

    3. 48 dirham atas orang kaya, seperti pemilik kebun, pedagang dsb.

  • Melakukan restrukturisasi sumber dan sistem ekonomi baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti memungut pajak di pos-pos perbatasan. Yaitu pajak bagi para pedagang dari wilayah harbi yang tidak memiliki perjanjian damai dengan negara Islam, dan wilayah dzimmah yang memiliki perjanjian damai dengan negara Islam, saat mereka melewati negara Islam.

  • Memungut zakat atas kuda, yang pada saat itu sudah diternakkan dan diperdagangkan dalam jumlah besar.

  • Melakukan kebijakan terhadap tanah wilayah penaklukan dengan jalan damai yang mencakup wilayah yang besar dari kerajaan Roma dan Sassanid, Umar menjadikannya sebagai fai. Atas tanah tersebut Umar menetapkan beberapa peraturan berikut :

    1. Wilayah yang ditaklukan dengan kekuatan menjadi milik muslim, sedangkan yang melalui perjanjian damai tetap menjadi milik pemilik asal.

    2. Tanah yang tidak ditempati atau yang diklaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh kaum Muslim diperlakukan sebagai tanah Ushr.

    3. Di Sawad, Kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley, dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air, sementara terhadap rempah dan perkebunan kharajnya lebih tinggi.

    4. Di Mesir menurut perjanjian Amar, dibebankan dua dinar untuk setiap minyak, cuka dan madu yang telah disetujui khalifah.

    5. Perjanjian Damaskus (Syria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib tanah.

Dalam melaksanakan anggaran pengeluaran negara, khalifah Umar menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta baitul maal. Dana pada baitul maal adalah milik kaum muslim sehingga menjadi tanggung jawab negara menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pada saat itu negara mulai menjalankan fungsinya sebagai penjamin kesejahteraan rakyat khususnya bagi orang miskin dengan program jaminan sosial.

Kontribusi Umar yang paling besar dalam menjalankan roda pemerintahan adalah membentuk perangkat administrasi yang baik. Untuk mendistribusikan harta baitul maal, Umar membuat beberapa departemen yaitu:

  • Departemen Pelayanan Militer, yang berfungsi untuk menyalurkan dana bantuan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam peperangan.

  • Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang bertanggung jawab akan pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.

  • Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang bertugas untuk mendistribusikan dana kepada penyebar dan pengembang agama Islam.

  • Departemen Jaminan Sosial, berfungsi untuk menyalurkan dana bagi kaum fakir miskin dan orang-orang yang menderita.

Sedangkan alokasi pendapatan Negara dibagi menjadi empat bagian yaitu :

  • Pendapatan zakat dan usyur (pajak tanah) didistribusikan dalam tingkat lokal jika ada kelebihan maka akan disimpan di baitul maal dan akan dibagikan kepada delapan asnaf.

  • Pendapatan khumus dan sedekah, didistribusikan kepada kaum miskin tanpa diskriminasi apakan dia muslim atau non muslim.

  • Pendapatan kharaj, fai, jizyah, usyur (pajak perdagangan) dan sewa tanah digunakan untuk membayar dana pensiun, dana bantuan, serta menutupi biaya administrasi, kebutuhan militer dan lain sebagainya.

  • Pendapatan lain-lain untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar dan dana sosial lainnya.

Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Disini Umar melakukan ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak selamanya melekat pada diri seseorang. Pada situasi tertentu, memang dipandang perlu untuk menjinakkan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan. Namun apabila ia telah diberi kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik, maka sebaiknya tunjangan itu dicabut kembali dan dinerikan kepada yang lebih memerlukan.

Dan juga pada masa beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis. Namun ada pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau perang. Hal ini merupakan terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab.

Khalifah Usman Bin Affan

Pada masa pemerintahan Usman Bin Affan, kondisi yang sama juga berlaku seperti masa Umar Bin Khattab. Selama 12 tahun pemerintahnnya, khalifah Usman berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan.

Pada enam tahun masa pemerintahannya, Khalifah Usman Ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Khattab. Khalifah Usman tidak mengambil upah dari kantornya. Sebalikanya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.

Khalifah Utsman ibn Affan tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, ia memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam pendistribusian harta baitul maal, Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya Khalifah Umar ibn Khattab.

Kebijakan ini menimbulkan kericuhan dalam enam tahun terakhir masa kekhalifahannya. Tentu saja walaupun begitu kebijakan tersebut masih tidak sebanding dengan kemuliaan yang dilakukan khalifah Usman selama menjadi khalifah.

Adapun pengelolaan zakat pada periode Usman Ibn Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangkan oleh Umar. Pada masa Utsman kondisi ekonomi umat sangat makmur. Harta zakat pada periode Utsman mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa sebelumnya. Usman melantik Zaid Bin Tsabit untuk mengelola dana zakat. Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Utsman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan masjid Nabawi.

Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah setelah Usman. Ali berkuasa selama lima tahun. Setelah pengangkatan dirinya, Ali kemudian melaksanakan kebijakan untuk mengganti pejabat-pejabat yang korup yang ditunjuk Usman, membuka kembali tanah-tanah perkebunan yang diberikan kepada orang-orang kesayangan Usman, serta mendistribusikan pendapatan sesuai dengan yang diatur Umar.

Ali hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalam melaksanakan keuangan Negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian harta Baitul Maal. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan majelis syura yang menetapkan bahwa sebagian dari harta baitul maal dijadikan cadangan, tidak sejalan dengan pendapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat menjadi Khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Maal yang ada di Madinah, Kufah dan Busra.

Secara umum beberapa perubahan kebijakan yang dilakukan pada masa Ali adalah :

  • Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitul maal sama dengan kebijakan yang dilakukan pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Berbeda dengan kebijakan Umar yang menyisihkan untuk cadangan.

  • Pengeluaran angkatan laut dihilangkan, karena daerah pesisir pantai dibawah penguasaan Muawiyah. Namun pengeuaran atau anggaran untuk polisi tetap dipertahankan yang bertujuan untuk menjaga keamanan negara.

  • Adanya kebijakan pengetatan anggaran negara.

Ringkasan
  • Adiwarman Aswar Karim, Islamic Microeconomic, (Jakarta: Muamalat Institue, 2001)
  • Amalia Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2007).