Bagaimana karakteristik ideologi politik Islam Modern?

Ideologi politik Islam Modern

Ideologi dipandang sebagai seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tingkah laku ( an action-oriented set of belief ). Sistem pemikiran yang didasarkan atas ideologi, akan menghasilkan perbuatan. Hal ini memunculkan sebuah logika yaitu, bahwa dengan mengamati perbuatan seseorang, maka dapat diketahui apa ideologinya.

Menurut Akhmad Fauzie Hawaim, ideologi politik yang menjadikan Islam sebagai azas partai, melalui serangkaian data yang diperoleh, memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Menjadikan ajaran Islam sebagai dasar pembenar segala pemikiran dan tindakan politik.

  • Ada keyakinan yang kuat bahwa mereka telah melaksanakan Islam secara menyeluruh atau kaffah .

  • Memandang rendah segala bentuk pemikiran yang memisahkan antara ajaran agama dengan tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

  • Adanya kecenderungan pandangan yang kuat bahwa figur atau sosok pemimpin yang ideal, adalah mereka yang berasal dari kelompok Islam Modern.

  • Dalam politik empiris, upaya politik mereka menuju pada penerapan syariah Islam dan menolak segala yang bersifat sekulerisme.

Politik Islam Modern (Sebuah Perspektif)

Dalam esainya yang berjudul “Islam as a Moral and Political Ideal”, Iqbal justru membela demokrasi sebagai aspek terpenting Islam, dipandang sebagai suatu cita-cita politik. Tetapi Iqbal mengamati bahwa demokrasi dalam Islam hanyalah bertahan selama 30 tahun, sepanjang pemerintahan khulafa’ al-rasyidun, kemudian menghilang bersama dengan ekspansi politik kaum Muslimin.

Dalam teori politiknya, ada dua prinsip yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

  1. Hukum Allah adalah yang paling tinggi. Otoritas, kecuali sebagai penafsir hukum, tidak punya tempat dalam struktuk sosial Islam. Islam tidak menyukai otoritas perorangan.
  2. Persamaan mutlak antara seluruh anggota komunitas dengan prinsip persamaan antara seluruh orang beriman.

Berdasarkan gagasan-gagasan tersebut, menurut Iqbal, tidak ada alasan umat Islam untuk menolak demokrasi, asalkan kelemahan-kelemahannya dihilangkan. Baginya prinsip persamaan merupakan salah satu manifestasi tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam kehidupan sosial politik umat Islam. Agar dapat mengaktualisasikan prinsip-prinsip ideal ini ke dalam kekuatan ruang dan waktu, Iqbal menghimbau umat Islam untuk secara sadar dan kreatif membangun kembali tatanan sosial politik mereka, untuk menciptakan apa yang ia sebut dengan demokrasi spiritual.

Kekurangan aspek spiritual inilah yang mengundang kritik keras Iqbal terhadap demokrasi Barat. Tetapi Iqbal tidak merinci lebih lanjut apa yang ia maksud dengan demokrasi spiritual, dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan berpolitik. Agaknya Iqbal mengisyaratkan kepada generasi penerus Muslim untuk memikirkan lebih dalam apa yang ia maksud.

Pandangan politik Sayyid Quthb dapat diketahui melalui bukunya al-‘Adalah al Ijtima’iyahn fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam). Ada tiga pokok pikiran yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb tentang politik islam modern, yaitu:

  1. Pemerintahan Supra Nasional
    Menurut Quthb, negara atau pemerintahan Islam itu supra nasional yang meliputi wilayah seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, yang dikelola atas prinsip persamaan sesama umat Islam di seluruh penjuru dunia Islam, tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan. Wilayah-wilayah di luar pusat pemerintahan tidak diperlakukan sebagai daerah-daerah jajahan, dan tidak pula dieksploitasi untuk kepentingan pusat saja. Setiap wilayah merupakan bagian dari keseluruhan dunia Islam dan semua warganya memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara yang berada di pusat pemerintahan. Dari sini, dapat diketahui bahwa pemerintahan Islam bercorak manusiawi, terutama dengan konsepnya tentang kesatuan manusia serta tujuannya yang menghendaki agar seluruh umat manusia bersatu dalam persaudaraan dan persamaan.
  2. Persamaan Hak Antara Para Pemeluk Berbagai Agama
    Negara Islam menjamin hak-hak bagi orang-orang dzimmi dan kaum Musyrikin yang terikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin berdasarkan asas kemanusiaan. Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemeluk agama lain , dan memberikan persamaan yang mutlak dan sempurna kepada masyarakat, dan bertujuan merealisasikan kesatuan kemanusiaan dalam bidang peribadatan dan sistem kemasyarakatan.
  3. Tiga Asas Politik Pemerintah Islam
    Menurut Quthb, politik pemerintahan Islam didasarkan atas tiga asas, yakni
    • keadilan penguasa;
    • ketaatan rakyat;
    • musyawarah antara penguasa dan rakyat.

Dalam hubungan ini, Quthb mengemukakan bahwa seorang penguasa Islam sama sekali tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang diterimanya dari langit. Dia menjadi penguasa semata-mata karena dipilih oleh kaum Muslimin berdasarkan kebebasan dan hak mereka yang mutlak. Dalam hal bentuk pemerintahan, Quthb menyatakan pemerintahan dapat menganut sistem apa saja, asalkan melaksanakan syariat Islam.

Sedangkan al-Maududi, pokok-pokok pikirannya tentang kenegaraan dituliskannya dalam beberapa risalah dan satu buku yang berjudul Pemerintah Islam. Konsep-konsep kenegaraan Islam yang dianutnya terdiri atas tiga keyakinan yang melandasi konsep-konsep tersebut. Tiga keyakinan tersebut adalah seperti berikut:

  1. Islam adalah agama yang sempurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Oleh karena itu umat Islam haruslah merujuk kepada pola politik khulafa’ rasyidin sebagai model sistem kenegaraan Islam.
  2. Kedaulatan tertinggi adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Dengan demikian maka tidak dibenarkan gagasan kedaulatan rakyat.
  3. Sistem politik Islam adalah sistem politik universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
    Dari ketiga keyakinan tersebut, maka al-Maududi membuat formula-formula politiknya, termasuk di antaranya gagasan tentang teodemokrasi, yang menisbikan kedaulatan rakyat yang terbatas tersebut.
Referensi

Esposito, John L. 1984. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press.

Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Lee, Robert D. 2000. Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun. Terjemahan dari Overcoming Tradition and Modernity: the Search for Islamic Authenticity. Bandung: Mizan.