Bagaimana Inovasi Pengembangan Pisang Abaka?

Pada pengembangan abaka masalah yang penting adalah dalam perbanyakan bibit dan varietas unggul yang tahan terhadap penyakit Fusarium (Teodora et al. , 2012).

1 Like

Inovasi Pengembangan Pisang Abaca

Penggandaan bibit abaka yang sembarangan, penyebab kegagalan yang patal dalam pengembangan. Disamping itu dalam pengelolaan pasca panen diperlukan mesin dekortikasi untuk proses penyeratan batang abaka. Kebutuhan bibit abaka dengan populasi tanaman yang rapat dapat mencapai 1.000 sampai dengan 1.100 tanaman per ha. Model tanamnya bisa berupa single row dengan jarak tanm (3 m x 3 m), atau ( 2,5 m x 2,5m) (Marlito et al., 2012).

Tetapi juga ada yang menggunakan double row (2,75 x 2,75 m) + 5 m. Bidang masalah adalah bagaimana dalam menyediaakan bibit abaka dalam jumlah yang banyak tersebut. Saat ini sudah tersedia teknologi untuk mendukung pengembangan abaka yaitu perbanyakan bibit abaka dengan sistem kultur jaringan.

Keunggulan bibit abaka yang berasal dari kultur jaringan adalah cepat dalam pengadaannya, walaupun dalam jumlah yang banyak; bibit seragam karena diambil dari bagian vegetatif tanaman; dan bebas serangan hama dan penyakit.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah mempunyai klon-klon unggul abaka dari hasil ekplorasi, karakterisasi, uji daya hasil dan plasma nutfah. Pada tahun 2010 telah dilakukan uji multi lokasi klon-klon abaka di beberapa tempat untuk dilepas menjadi varietas baru. Tahun 2016 direncanakan akan dilepas 2-3 varietas baru dari abaka.

Pertanaman abaka yang terserang penyakit Fusarium yang dicirikan dengan kelayuan pada bagian ujung daun, terus menyebar ke seluruh tanaman dan berakhir dengan kematian.

Pada tahun 2007 Litbangtan mempergunakan mutasi radiasi, berhasil memperoleh klon abaka yang toleran terhadap Fusarium. Hasil penelitian Purwati et al., (2007) menujukkan bahwa perlakuan induksi mutasi penggunaan mutagen kimia EMS dan seleksi in vitro dengan 40% fitrat F. oxysporum isolate atau 50 mg/l fusarat menghasilkan klon-klon abaka yang toleran terhadap penyakit Fusarium.

Menurut Lestari (2013) dikemukakan bahwa kendala utama dalam pengembangan tanaman abaka di daerah tropis adalah penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan F. oxysporum . Lebih lanjut dikatakan bahwa serangan jamur F. oxysporum ini mengakibatkan kerusakan sebanyak 5% sampai dengan 65%. Hasil penelitian Sulistyowati et al ., (2009) menyebutkan bahwa untuk memperbaiki sifat genetik abaka adalah melalui transfer gen spesifik dengan vector Agrobacterium tumefaciens , dan berhasil memperoleh 4% kalus transforman yang mengandung Chilinase.

Panen abaka yang diambil berupa batang tanaman, kemudian pelepah yang menempel pada batang, dikelupas satu demi satu untuk diambil seratnya. Hasil pelepah batang abaka tersebut diproses dalam mesin dekortikator. Badan Liitbang Pertanian sudah membuat prototype mesin dekortikator dengan rendemen serat sekitar 4 sampai dengan 4,5% (Gambar 2). Di Philipina mesin dekortikator mempunyai rendemen serat hanya 3 sampai dengan 3,5% (Vijayalakshmi et al., 2014). Mesin giling serat tersebut bisa dipindah-pindah atau portable, mendekati hasil panen batang abaka di lokasi per tanaman, sehingga biaya pasca panen lebih murah.

Berdasarkan kualitas serat kering abaka dibedakan menjadi 4 kelas yaitu:1). Grade excellent (kelas utama) S2, S3, 2). Grade good (kelas baik) I, G,H, 3). Grade fair (Kelas sedang) JK,M1, dan 4). Grade residual (kelas terjelek) Y, OT (PT. Kertas Leces, 2013). Kualitas serat abaka dibentuk sejak ada di pertanaman, mulai dari pemilihan klon unggul abaka, pemeliharaan tanaman abaka, pada saat panen sudah masak, artinya tanaman abaka sudah mengakhiri masa vegetatif dan memasuki masa generatif.

Bilamana tanaman abaka dipanen masih umur muda maka, kualitas serat yang dihasilkan kurang baik, kekuatan seratnya mudah putus. Sebaliknya manakala pada saat panen umur abaka terlalu tua, sudah keluar ontong dan buah kecil-kecil, serat yang dihasilkan juga jelek, rapuh dan warna serat kecoklatan. Oleh karena itu panen abaka harus tepat waktu, agar kualitas serat yang dihasilkan bisa digolongkan kedalam kelas utama atau kelas yang baik.