Bagaimana Inflation Targeting di Perekonomian Terbuka?

Inflation Targeting

Bagaimana Inflation Targeting di Perekonomian Terbuka?

Ada sejumlah besar studi teoritis dan empirik yang telah dilakukan untuk menginvestivigasi kerangka penetapan sasaran inflasi (IT) sebagai suatui rejim kebijakan moneter. Sebagian terbesar membahas berbagai isu tentang inflation targeting (IT) di negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Sebagian lainnya membahas isu IT di negara-negara berkembang, terutama dalam kaitannya dengan apa kondisi yang diperlukan agar IT dapat berhasil diadopsi, mengapa semakin banyak negara berkembang yang beralih mengadopsi IT dan sampai sejauh manakah kondisi-kondisi yang diperlukan agar IT dapat benar-benar dapat diadopsi tersebut dapat dipenuhi oleh negara-negara berkembang. Studi lainnya mengevaluasi kelayakan IT sebagai suatu strategi kebijakan moneter di negara-negara tertentu dengan menggunakan model-model empirik.

Pada awal tahun 1990an, kepustakaan tentang IT difokuskan pada studi tentang implementasi rejim atau Inflation Targeting Framework (ITF) di negaranegara maju. Pengadopsian kombinasi antara rejim nilai tukar fleksibel dan ITF di negara-negara berkembang telah memunculkan beberapa pertanyaan baru tentang apa yang dimaksudkan dengan nilai tukar fleksibel dan IT (ITF), bagaimana agar ITF dapat diimplementasikan, dan terutama hubungan antara nilai tukar fleksibel dan ITF.

Krueger (2006) menganalisis manfaat dari lingkungan inflasi-rendah yang melingkupi dunia dewasa ini. Penulis memulai tulisannya dengan meninjau biaya-biaya utama inflasi—yaitu, bagaimana inflasi mendistorsi kalkulus tingkat keuntungan, merangsang proyek-proyek jangka pendek dengan biaya investasi jangka lebih panjang dan menurunkan nilai sinyal-sinyal harga relatif. Ia kemudian meninjau kemajuan yang dicapai sebagian besar negara dalam menurunkan inflasi baru-baru ini. Lingkungan inflasi-rendah telah membawa manfaat yang nyata — pertumbuhan global yang lebih cepat, kenaikan stabilitas, dan penurunan vulnerabilitas. Peran IMF dalam membantu mempercepat terciptanya lingkungan inflasi-rendah juga dibahas dengan cara menyorot dukungan penting IMF pada reformasi kebijakan di negara-negara anggota IMF. Kruger menyimpulkan bahwa tantangan masa depan yang dihadapi oleh para ekonom dan para pembuat kebijakan adalah: terus memanfaatkan inflasi rendah, mengidentifikasi seberapa jauh kebijakan-kebijakan harus diarahkan ke penurunan inflasi lebih lanjut, dan mengekspansi knowledge frontiers tentang transisi kearah pengadopsian inflasi.

Bagaimana persistensi output mempengaruhi bobot optimal tingkat harga dan IT, dan apa yang ditunjukkan oleh data di tingkat antar-daerah (negara) tentang seberapa dekat target dengan price level targeting ? Apa manfaat yang telah diperoleh dari IT dari sampel dunia tentang IT dalam konteks kinerja ekonomi makro dan dan efisiensi kebijakan moneter, baik antar waktu dan dalam perbandingannya diantara negara-negara yang memakai IT? Apa bukti passthrough dari devaluasi nilai tukar ke inflasi dan peranan nilai tukar dalam ketentuan kebijakan ( policy rules ) dalam IT? Apakah ekspektasi inflasi merupakan jangkar yang lebih baik di negaranegara yang mengadopsi inflation-targeting dibandingkan dengan di AS?

Apakah IT telah dapat meningkatkan penggunaan jangkar inflasi dan ekspektasi inflasi dan menurunkan volatility di negara-negara emerging economies —apakah hasilnya sensitif terhadap suatu negara yang telah memenuhi preconditions sejak awal menerapkan IT? Seberapa pentingkah rigiditas nominal dan riil dalam menjelaskan kebijakan moneter dan dinamika ekonomi makro di Chile, dan bobot yang menempel pada hubungan antara inflasi dan output menurun sejak adopsi fullfledged inflation targeting di lakukan pada tahun 1999? Akhirnya, apakah Chile mengalami perubahan rigiditas harga, indeksasi harga, devaluation-inflation passthrough , dan ketentuan kebijakan sejak melaksanakan full-fledged inflation targeting dan stationary inflation ?

Masson, Savastano and Sharma (1997) mendasarkan fondasi analisis IT di emerging economies dengan melihat seberapa baik perekonomian tersebut berkesesuaian dengan karaktersitik yang diinginkan. Kesimpulan mereka adalah bahwa sebagian besar persyaratan IT tidak dapat dipenuhi oleh emerging economies , baik karena ketergantungan yang tinggi pada penerimaan pemerintah dari seigniorage atau karena tidak ada komitmen yang kuat untuk mencapai laju inflasi yang rendah sebagai tujuan terpenting bank sentral. Mereka juga menyebutkan bahwa IT di negara-negara maju diadopsi di bawah kondisi yang jarang ditemukan di emerging economies , yaitu laju inflasi yang rendah, nilai tukar yang cukup fleksibel, dan bank sentral yang independen.

Mishkin dan Savastano (2001), dan Agenor (2000) menyimpulkan bahwa beberapa emerging economies yang memiliki pendapatan tingkat menengah dan tinggi lebih mungkin dapat menerapkan IT, yaitu emerging markets yang, setelah beberapa tahun, telah dapat mencapai laju inflasi yang relatif rendah, independensi bank sentral yang nyata, dan dapat menghentikan penggunaan implicit exchange rate targeting.

Makalah Orphanides dan Williams (2006) menguji ulang peranan unsur-unsur penting dari kerangka IT dalam konteks suatu perekonomian dengan with imperfect knowledge . Dalam model mereka, pelaku ekonomi swasta berupaya untuk menyimpulkan tujuan dan reaksi bank sentral melalui tindakan-tindakan sebelumnya. Kelebihan pendekatan tersebut adalah bahwa ekspektasi inflasi dapat secara endogen di- drift away dari tujuan inflasi bank sentral. Dengan menggunakan suatu hasil estimasi model perekonomian AS, Orphanides dan Williams menunjukkan bahwa ketentuan kebijakan moneter yang akan berperan baik di bawah asumsi ekspektasi rasional tidak dapat bekerja dengan baik ketika menghadapi imperfect knowledge . Menguji kinerja dari suatu ketentuan kebijakan yang diimplementasikan dengan memasukkan tiga fitur utama IT yaitu, transparansi, komitmen terhadap stabilitas harga, dan monitoring ekspektasi— dan menemukan bahwa ketiga fitur tersebur berperan penting dalam menentukan keberhasilan. Analisis mereka menyarankan bahwa ketentuan-ketentuan sederhana yang berbeda excel at tethering ekspektasi inflasi dekat dengan target bank sentral dan, dalam melakukan hal tersebut, mencapai stabilisasi inflasi dan kegiatan ekonomi yang superior dalam suatu lingkungan yang tidak sempurna.

Mishkin and Schmidt-Hebbel (2007) meninjau ulang masalah apakah IT berkaitan dengan suatu peningkatan seluruh kinerja perekonomian. Mereka memperluas literature empiric sebelumnya tentang perdebatan ini dengan memfokuskan pada suatu data panel yang berisi populasi negara-negara yang menerapkan IT dan suatu kelompok kontrol yang terdiri atas perekonomian industri yang tidak menggunakan IT. Kedua penulis ini menemukan bahwa IT telah membantu negara-negara IT menurunkan tingkat inflasi jangka-panjang, menurunkan inflasi sebagai respon atas goncangan harga-bbm dan nilai tukar, memperkuat independensi kebijakan moneter, meningkatkan efisiensi kebijakan moneter, dan menurunkan deviasi outcomes inflasi dari tujuan-tujuan akhir inflasi. Banyak dari manfaat tersebut dicapai segera setelah negara-negara pengadopsi IT mencapai tingkat target yang stationary . Selain peningkatan yang diperoleh oleh negara-negara pengadopsi IT dibandingkan dengan kinerjanya di masa lalu, bukti-bukti secara umum menolak notion bahwa negara-negara IT berkinerja lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol negara-negara non IT. Mishkin and Schmidt-Hebbel menunjukkan, bahwa IT membantu semua negara bergerak kearah kinerja kelompok-kontrol—dan kinerja negara-negara industri berada pada tingkat kelompok-kontrol.

Edwards (2006) menganalisis masalah utama tentang hubungan antara nilai tukar dan rejim inflation-targeting . Ia menggunakan data dari dua negara maju dan lima negara sedang berkembang yang menerapkan IT untuk secara empirik meneliti tiga masalah:

  • Hubungan antara relation between devaluation-inflation pass-through dan efektivitas nilai tukar nominal sebagai suatu shock absorber (yaitu, seberapa luas devaluasi nominal mempengaruhi depresiasi laju nilai tukar riil);
  • Pengaruh IT terhadap volatilitas nilai tukar; dan
  • Peranan nilai tukar dalam monetary policy rules .

Edwards menemukan bahwa negara-negara yang telah mengadopsi IT telah mengalami suatu penurunan pass-through dari nilai tukar ke inflasi dan tidak adanya bukti-bukti tentang perubahan derajat tindakan nilai tukar nominal sebagai suatu shock absorber . Adopsi IT tidak mendorong volatitas nilai tukar nominal dan nilai tukar riil, meskipun adopsi nilai tukar mengambang telah meningkatkan volatilitas di tiga dari lima negara.