Bagaimana Implikasi Unipolaritas Geopolitik Internasional Terhadap Stabilitas Hubungan Internasioal Indonesia?

unipolaritas geopolitik
Adanya perbedaan sumber daya alam yang dimiliki setiap negara dan adanya kebutuhan untuk saling bergantung antara satu negara dan negara lainya menjadikan suatu negara memerlukan kerjasama internasional dengan negara lain demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan nasional negara itu sendiri. Bagaimana Implikasi Unipolaritas Geopolitik Internasional Terhadap Stabilitas Hubungan Internasioal Indonesia ?

Implikasi Unipolaritas Geopolitik Internasional Terhadap Stabilitas Hubungan Internasioal Indonesia

Adanya perbedaan sumber daya alam yang dimiliki setiap negara dan adanya kebutuhan untuk saling bergantung antara satu negara dan negara lainya menjadikan suatu negara memerlukan kerjasama internasional dengan negara lain demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan nasional negara itu sendiri.

Interaksi antarnegara dalam paradigma hubungan internasional banyak ditentukan oleh politik luar negeri negara tersebut. Politik luar negeri tersebut merupakan kebijaksanaan suatu negara untuk mengatur hubungan luar negeri yg merupakan bagian dari kebijaksanaan nasional negara tersebut dan semata-mata dimaksudkan untuk mencapai kebutuhan dalam negeri negara tersebut.

Paska berakhirnya perang dingin, maka tensi pertarungan ideologi dan dominasi dari Amerika Serikat dan Uni Soviet pun menjadi berakhir, dengan kata lain, polarisasi geopolitik internasional menuju kepada satu kutub saja. Adapun Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan kekuasaan dalam sistem internasional. Konsep tersebut muncul dari bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem internasional didominasi oleh konflik antara dua negara adikuasa yang telah dijelaskan diatas. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945 dapat dideskripsikan sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara besar. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai unipolaritas, dengan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa teori hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut. Keseimbangan kekuasaan adalah konsep yang berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan kembali mengemuka selama Perang Dingin. Di sini konsep-konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan untuk menandingi kekuasaan yang lain) dan bandwagoning (berpihak dengan kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori stabilitas hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem internasional, dan teori tersebut berargumen bahwa hegemoni harus dipertahankan karena adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara yang lain dari satu sama lain dalam sistem internasional.

Namun demikian meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya berbagai perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain yang dikarenakan adanya Interdependensi. Dapat dikatakan bahwa sistem internasional sekarang ini dikarakterkan oleh meningkatnya interdepedensi atau kesalingbergantungan, tanggung jawab terhadap satu sama lain dan dependensi terhadap pihak-pihak lain. Hal ini ditunjukan dengan meningkatnya globalisasi, terutama dalam hal interaksi soft politics . Peran institusi-institusi internasional yang berkembang luas terhadap sejumlah prinsip operasional dalam sistem internasional, memperkukuh ide-ide bahwa hubungan-hubungan dikarakterkan oleh interdependensi.

Dikarenakan bahwa perumusan politik luar negeri suatu negara di dasarkan kepada kepentingan nasional negara tersebut, maka suatu negara yang memiliki kekuatan dalam melakukan dominasi secara global tentunya akan berusaha membuat kebijakan luar negeri yang ideal bagi negaranya yang juga bisa jadi bertentangan dengan kepentingan negara-negara lain disekitarnya.

Dalam teori perimbangan kekuasaan seperti yang sudah dijelaskan di beberapa paragraf sebelumnya, masing-masing negara pada dasarnya berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya dan juga bagi negara lain yang kurang memiliki kekuatan berusaha untuk menumbangkan status quo agar negara tersebut dapat mengamankan kedaulatan serta kepentingan nasionalnya.

Perimbangan kekuasaan dan politik sangatlah perlu sebagai faktor yang menyebabkan kestabilan didalam masyarakat bangsa-bangsa yang berdaulat. Di dunia internasional di mana opini umum lemah dan kekuasaan pusat tidak ada, stabilitas masyarakat internasional lebih banyak bergantung pada bekerjanya perimbangan kekuasaan.

Berdasarkan teori tersebut maka dominasi Amerika Serikat paska perang dingin dimana tidak adanya penyeimbang kekuasaan yang setara dengan negara tersebut menjadikan negara-negara lainnya yang berusaha untuk menumbangkan unipolaritas Amerika Serikat dalam pecaturan geopolitik internasional melakukan regionalisasi dan intergrasi. Seperti dalam hal hubungan Amerika Serikat dengan Sekutunya di Eropa yang nyata-nyata adalah satu kutub. Dimana fenomena yang terlihat saat ini dimana Amerika Serikat menjadi sumber dan penjaga institusi demokrasi di dunia. Ia menguasai sistem moneter internasional dengan kucuran akumulasi modal investasi yang lebih besar, dengan kepuasan yang jauh lebih menarik minat investor, serta pasar ekspor asing yang sangat luas., bahkan kebudayaan bangsa Amerika Serikat pun juga menjadi standar di seluruh pelosok dunia.

Kejatuhan Afghanistan mendorong Amerika menancapkan kuku militernya di Asia Tengah seperti Qirgistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan. Semua itu menjadikan tokoh-tokoh dalam pemerintahan kian memiliki nilai tawar yang tinggi dalam memperlakukan pihak lain. Kemenangan semu atas Afghanistan diumumkan untuk memanaskan atmosfir perpolitikan Amerika Serikat terhadap negara lain termasuk Indonesia sebagai negara berkembang.

Nilai tawar kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat semakin kuat dominasi di Afghanistan sehingga meremehkan peran sekutu mereka di Eropa. Kemudian Amerika Serikat mempersiapkan diri memasuki dunia dengan satu kutub, yaitu Amerika Serikat sendiri. Lalu bagaimana Amerika membentuk unipolaritas dan bagaimana sikapnya terhadap sekutunya, Eropa serta implikasinya terhadap negara lain seperti Indonesia?

Politik luar negeri Amerika paska perang dunia dan juga runtuhnya Afghanistan ditangan Amerika Serikat tampak tanpa tandingan. Amerika Serikat memandang rendah sekutu-sekutunya di Eropa, sebagaimana yang dilakukan kepada Arab, Iran dan Mesir. Selain itu, Iran dianggap sebagai penyokong dan sarang pelarian Al Qaedah dan Hizbullah, sedangkan Mesir berikut anteknya dimiskinkan dengan derita ekonomi serta gejolak politik dalam negeri yang tiada kunjung usai.

Amerika selalu membawa konsep anticipatory self-defense demi menghindari kecaman masyarakat dunia. Amerika berdalih bahwa invasi Amerika ke Irak merupakan langkah yang tepat untuk ”mematikan” segala jenis tindak tanduk teroris karena menurut Amerika, Saddam Hussen (Presiden Irak pada masa itu) memiliki hubungan dengan pemimpin jaringan teroris Al- Qaeda (Osama bin Laden), selain itu menurut Amerika Serikat, Irak pada waktu itu sedang mengembangkan senjata pemusnah massal yang dapat mengancam dunia internasional.

Amerika Serikat meyakini Irak sebagai axis of evil. Saddam dilihat sebagai tokoh yang berbahaya bagi Amerika Serikat. Bahkan pada tanggal 12 September Bush memerintahkan Richard Clarke (Bush’s Chief Counterterrorism Adviser) untuk melihat segala kemungkinan dari keterlibatan Saddam. Invasi juga dilakukan Amerika Serikat ke Irak atas adanya kepentingan nasional mereka, dalam hal ini adalah kepentingan untuk menguasai ladang minyak di Irak. Ketergantungan Amerika Serikat terhadap minyak sangat tinggi. Ini membuat pergerakan balance of power ke arah oil producer. Kondisi ini membuat Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya dalam posisi rentan terhadap oil shock yang dapat berakibat fatal. Irak merupakan solusi dari masalah ini, karena Irak memiliki minyak terbesar kedua di dunia dan biaya produksi yang murah. Namun, selama dalam masa pemerintahan Saddam, minyak Irak ini tidak dapat digunakan bagi keuntungan Amerika Serikat. Serangan Amerika Serikat ini juga diharapkan dapat ‘memperlihatkan’ kepada negara timur tengah yang membangkang terhadap Amerika Serikat, bahwa mereka memiliki kekuatan militer yang kuat dan dapat dengan mudah menghancurkan negara seperti Irak. Ini juga diharapkan dapat mengakibatkan efek domino pada negar timur tengah. Inilah alasan kenapa Amerika Serikat begitu menggebu-gebu untuk menggulingkan pemerintahan Saddam dengan menginvasi Irak, hingga Amerika Serikat pun berani melangkahi keputusan PBB yang dalam hal ini merupakan badan yang memiliki legalitas tinggi untuk menyelesaikan segala bentuk aksi yang dapat mengancam perdamaian dunia. Dalam salah satu dinner bersama Kofi Annan (Sekretaris Jendral PBB pada masa itu), Bush berkata “Kofi, you’ve got to do what you’ve got to do, and I’ve got to do what I’ve got to do”.Hal ini semakin membuktikan bahwa Amerika Serikat sudah tidak menghiraukan adanya asas-asas perdamaian seperti yang telah mereka (negara-negara anggota PBB) telah sepakti bersama.

Sikap politik yang arogan dan memandang sebelah mata negara lain akibat dari tidak adanya penyeimbang kekuatan yang benar-benar setara. Bahkan, Amerika Serikat menganggap sudah tidak membutuhkan keterlibatan sekutunya.

Dengan demikian jelas, akibat dari unipolaritas gepolitik internasional, Amerika Serikat mengubah pandangannya mengenai hubungan dengan negara lain, termasuk sekutunya setelah terlebih ketika telah membukukan kemenangan besarnya di Asia Tengah. PBB tidak perlu dijadikan rujukan dalam segala tindakan dan agresinya, bahkan tidak juga pada NATO. Seperti dalam perang Afghanistan, Amerika tidak perlu menggubris masukan dari manapun.

Sumber:

http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzdjYWE3NDVjOWY2MTFmOWVlMDcwYjk2ZjNiNmViMGY2NGRhNzg3OA==.pdf