Bagaimana Implikasi Penerapan ITF terhadap Exchange Rate Pass-Through?

Implikasi Penerapan ITF terhadap Exchange Rate Pass-Through

Bagaimana Implikasi Penerapan ITF terhadap Exchange Rate Pass-Through?

Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation). Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable growth). Penyebabnya karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Saat inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat sehingga masyarakat tidak merasa pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang.

Akibatnya suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi resiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit dan minat investasi pun turun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi aset keuangan jangka pendek daripada investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

Negara-negara yang telah menerapakan inflation targeting secara penuh pada umumnya telah meninggalkan sistem nilai tukar tetap dan beralih pada sistem nilai tukar yang lebih fleksibel. Ini merupakan konsekuensi logis dari keputusan menggunakan target inflasi sebagai ‘nominal anchor’ dalam kebijakan moneternya. Alasan lain dalam pemilihan sistem nilai tukar tersebut adalah munculnya imposible trinity dimana setiap negara harus melepaskan satu dari tiga tujuan yaitu : fixed exchange rate, monetary independent, dan free capital mobility. Dengan fakta bahwa pasar keuangan semakin terintegrasi secara internasional, maka pilihannya hanya dua yaitu : melepaskan exchange rate stability (floating exchange rate) atau melepaskan monetary independent (fixed exchange rate). Dengan pilihan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa negara-negara yang menggunakan kebijakan inflation targeting pasti akan melepaskan exchange rate stability dalam rangka memenuhi salah satu syarat berhasilnya kebijakan inflation targeting yaitu kebijakan moneter yang independen (Rakhmat, 2005).

Dengan kenyataan yang ada, variabilitas nilai tukar merupakan salah satu tantangan bagi otoritas moneter dalam mencapai target inflasi yang telah ditentukan. Hal ini didasari oleh argumentasi bahwa perubahan nilai tukar akan berdampak pada tingkat inflasi yang disebut sebagai exchange rate pass-through. Dengan kata lain pass-through effect didefinisikan sebagai bagian dari depresiasi yang diwujudkan dalam inflasi pada periode tertentu. Jika dalam suatu periode terjadi shock di pasar financial yang berdampak pada semakin besarnya passthrough effect, maka besarnya shock yang terjadi baik langsung maupun tidak, akan membahayakan target inflasi yang telah ditentukan. Untuk itu bank sentral dapat menetralisir perubahan nilai tukar dengan melakukan intervensi baik langsung maupun tidak. Dalam literatur disebutkan bentuk intervensi yang dilakukan ada dalam sistem fear of floating / dirty floating.

Dari beberapa teori dan studi empiris yang ada tentang dampak volatilitas nilai tukar terhadap inflasi (pass-through effect into inflation) diperoleh hasil bahwa efek perubahan nilai tukar terhadap tingkat inflasi terus mengalami penurunan, meskipun beberapa pendapat mengatakan efek penurunan tersebut hanya bersifat sementara. Untuk menjelaskan hubungan antara sistem nilai tukar bebas (free floating rate), inflation targeting dan penurunan pass-through effect (lower pass-through effect) berikut ini akan diilustrasikan dalam bentuk framework small open economy (Reyes, 2003). Jika bank sentral mengimplementasikan kebijakan inflation targeting maka tingkat harga umum ditentukan oleh :

Pt = P0 + at

Dimana:

  • P0 adalah tingkat harga pada kondisi awal
  • a merupakan notasi yang menunjukkan tingkat harga yang ingin dicapai (target inflasi), dan
  • t menunjukkan waktu.

Ketika terjadi exogenous shock yang menyebabkan naiknya nilai tukar nominal, maka bank sentral dengan terpaksa mengendalikan nilai tukar tersebut agar sesuai dengan tingkat inflasi yang ditargetkan. Intervensi yang dilakukan oleh bank sentral dibutuhkan untuk mengimbangi kenaikan harga pada non trade, di mana kombinasi antara tingkat depresiasi dan kenaikan harga barang non trade berakumulasi pada pencapaian target inflasi.